Oleh; Mushafi Miftah*
Pada pertengahan malam, tepatnya sekitar jam 02.00 dini hari, tanggal 26 September 2014, Priyo Budi Santoso pimpinan sidang paripurna penetapan Rancangan Undang-Undang Pilkada (RUU) kala itu mengetok palunya bukti disahkannya RUU tersebut menjadi undang-undang (UU) Pilkada. Dengan ditetapkannya UU tersebut, protes pun bermunculan dari setiap penjuru. Pasalnya, pemerintah dianggap telah mengebiri hak-hak politik rakyat dalam memilih pemimpinnya. Sebagaimana diketahui dalam Undang-Undang pilkada yang baru saja ditetapkan tersebut dijelaskan bahwa Gubernur, Bupati/Walikota dipilih oleh DPRD setempat.
Selanjutnya, juga diatur juga, meski Pilkada dikembalikan ke DPRD, pemilihan tetap akan berlangsung secara bebas, rahasia, terbuka, jujur, dan adil, meski tidak dipilih secara langsung oleh rakyat. Secara yuridis, Undang-undang tersebut tidak bertentangan dengan hukum dasar yakni konstitusi negara Indonesia. Sebagaimana dalam pasal 18 ayat 4 UUD 1945 menyatakan, Gubernur, Walikota dan Bupati dipilih secara demokratis. Secara eksplisit, pasal ini Tidak menyebut harus dipilih langsung, seperti pemilihan presiden dan wakil presiden. Pemilihan secara demokratis, bisa berarti dipilih langsung oleh rakyat, bisa juga lewat DPRD. Dengan begitu, maka dua-duanya adalah sistem demokratis.
Alasan kuat dari upaya pengembalian Pilkada pada DPRD adalah terkait efisiensi dan penghematan biaya. Selama ini, pelaksaan pilkada dibiayai oleh pemerintah daerah dan dana hibah dari pemerintah pusat. Anggarannya sangat besar, apalagi jika terjadi dua putaran. Para calon kepala daerah mengeluarkan uang cukup, sehingga mendorong kepala daerah terpilih untuk mengembalikan uang ia keluarkan. Ini tidak membawa manfaat. Menurut Yusril Izah Mahendra pakar Hukum Tata Negara Alasan tersebut cukup realistis. Anggaran akan lebih hemat dan proses pemilihan berlangsung lebih efektif jika dilakukan oleh DPRD. Namun, poin dari semua itu bukan terletak pada penghematan biaya, adalah pada pentingnya mencegahan terjadinya korupsi. Pendapat Guru Besar Universitas Indonesia ini bisa diterima akal. Sebab, mengawasi anggota DPRD, mengawasi pimpinan partai, jauh lebih mudah dari pada mengawasi masyarakat di setiap kabupaten/kota.
Selain itu, UU Pilkada tersebut juga membahas terkait dengan dinasti politik kepala daerah.Pemerintah telah mengidentifikasi sebanyak 57 kepala daerah membangun dinasti politik lokal.Dan sejauh ini sebagian besar kandidat yang kerabat petahana terpilih kembali. Namun, menurut Ganjar Pranowo anggota Komis II DPR menyatakan bahwa bukanlah dinasti politik yangmenjadi masalah tetapi lebih maslah pada kompetensi dari calon tersebut. Sehingga menurut Ganjar yang penting dari pencolanan adalah kompetensi dari calon itu sendiri. Dalam konteks ini, seluruh rakyat indonesia akan mengapresiasi dan menyetujuinya. Akibat genemoni politik dinasti, banyak orang-orang yang tidak punya kapasitas, kapabilitas dan kualitas menjadi kepala daerah.
Masa Depan Demokrasi Indonesia
Diskursus demokrasi di Indonesia tak dapat dipungkiri, telah melewati perjalanan sejarah yang demikian panjangnya. Berbagai ide dan cara telah coba dilontarkan dan dilakukan guna memnuhi tuntutan demokratisasi di Negara kepulauan ini. Usaha untuk memenuhi tuntutan mewujudkan pemerintahan yang demokratis tersebut misalnya dapat dilihat dari hadirnya rumusan model demokrasi Indonesia di dua zaman pemerintahan Indonesia, yakni Orde Lama dan orde Baru. Setelah tumbangnya rezim Soeharto pada tahun 1998 lewat perjuangan yang panjang oleh mahasiswa, rakyat, dan politisi, kondisi politik yang dihasilkan tidak mengarah ke perbaikan yang signifikan. Amandemen UUD 1945 yang banyak merubah system politik saat ini, penghapusan dwi fungsi ABRI, demokratisasi hampir di semua bidang, dan banyak hal positif lainnya.
Namun begitu, perubahan – perubahan itu tidak banyak membawa perbaikan kondisi ekonomi dan sosial dan hukum di tingkat masyarakat. Perubahan politik di Indonesia, hanya menghasilkan kembali kekuatan Orde Baru yang berhasil berkonsolidasi dalam waktu singkat, dan munculnya kekuatan politik baru yang pragmatis. Hal ini bisa dibuktikan dengan hadirnya Undang-Undang Pilkada tentang Pemilihan Kepala Daerah melalui DPRD. Infiltrasi sikap yang terjadi pada kekuatan baru adalah karena mereka terpengaruh system yang memang diciptakan untuk dapat terjadinya korupsi dengan mudah. Padahal, secara konseptual dan praktis, demokrasi adalah sebuah nilai yang memberikan kebebasan dan partisipasi masyarakat. Dengan demokrasi, para warga Negara dapat dilibatkan dalam proses pembuatan kebijakan. Idealismenya, setiap individu berhak menentukan segala hal yang dapat mempengaruhi kehidupannya, baik dalam personal maupun sosial. Demokrasi juga adalah cara yang efektif untuk mengontrol kekuasaan agar tidak menghasilkan penyalahgunaan wewenang.
Dalam konteks disahkannya UU Pilkada tersebut, saya tidak mau masuk pada pada wilayah setuju atau tidak setuju, dan pro atau kontra, tapi ingin mengajak merefleksikan subtansi dan esensi pengembalian Pilkada pada DPRD. Dulu, spirit gerakan aktifis 1998 menggulingkan kekuasaan rezim Orde Baru yang hegemonik, penuh penindasan terhadap rakyat kecil dan orang-orang yang tidak sejalan dengan politik pemerintah adalah untuk mengembalikan subtansi demokrasi dan nilai-nilanya. Dalam sistem demokrasi, hak-hak rakyat, termasuk hak memilih sangat dijunjung tinggi. Rakyat dilibatkan dalam proses pembangunan dan pengambilan kebijakan. Langkah ini sebagai upaya agar kebijakan pemerintah tepat sasaran sesuatu situasi dan kebutuhan rakyat secara umum.
Akhirnya, dapat disimpulkan bahwa kehadiran UU Pilkada itu telah merampas hak rakyat. Setelah kedaulatan itu sudah di tangan rakyat, kepentingan politik dan kelompok kembali menjadi dasar untuk merampasnya. Undang-undang tersebut secara tidak langsung telah membatasi partisipasi politik rakyat. Karenya, hemat saya sistem demokrasi yang dibangun elit politik dewasa ini sandiwara politik dan sama sekali tidak upaya dan keinginan mengedepankan kedaulatan rakyat. Mereka merasa enjoy terhadap jabatan, kekuasaan yang dimiliki, sehingga menutup ruang-ruang partisipasi rakyat. Demokrasi yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kerakyatan dan transparansi politik saat ini mengalami kemunduran. Setelah disahkannya UU Pilkada tersebut, maka demokrasi di Indonesia tidak punya prospek yang jelas, karena hakikatnya demokrasi itu dibangun mulai dari daerah. Nah, jika UU Pilkada tersebut sudah digulirkan dan reaksi dari rakyat tidak ada, maka bukan tidak mungkin pemilihan Presiden suatu saat juga akan dikembalikan ke DPR. Karenanya, perlu keterlibatan semua pihak, rakyat Indonesia untuk terlibat aktif mengawal sistem yang telah kita rebut dari rezim Soeharto. Sehingga kedaulatan rakyat tetap terjamin. Wallahu A’lam
*) Peneliti dan Pengamat Hukum dan Kebijakan Publik di BEDUG Institute Jawa Timur, tinggal di Kota Probolinggo