Oleh : Mohammad Irsyad
Menurut Mien Ahmad Rifai dalam buku Manusia Madura terbitan 2007, mengatakan Madura berada di pojok timur laut pulau jawa, bertengger sebuah pulau sempit memanjang yang secara sepintas berbentuk seperti sebilah belati. Madura mempuyai empat kabupaten yaitu Bangkalan, Sampang, Pamekasan dan yang paling ujung timur kabupaten Sumenep.
Seperti kita ketahui, penduduk Madura mayoritas memeluk agama Islam. Penduduk madura sangat memegang teguh ajaran agamanya. Kenyataan ini kemudian menempatkan tokoh agama (kiai) pada posisi yang sangat penting dan sentral di tengah masyarakat Madura. Bahkan, bagi masyarakat Madura, kiai dipandang tidak hanya sebagai subyek yang mengajarkan ilmu-ilmu agama, tetapi juga sebagai subyek yang mempunyai kekuatan mistik. Itu sebabnya, ia juga berperan sebagai tabib, yang dimintai mantra atau jimat dalam segala urusan dan tempat belajar ilmu,yang orang awam belum memahami hal itu.
Kiai membangun relasi kuasa melalui proses kultural, yaitu melakukan islamisasi. Beragam media kultural mereka ciptakan untuk membangun kesadaran keagamaan umat, misalnya, membangun langgar, pondok pesantren, dan sekolah agama. Di sini awalnya peran kiai sedang melakukan transfer pengetahuan keagamaan, tetapi pada ujungnya menjadikan dirinya sebagai kekuatan diri dalam mengonstruksi bangunan kuantitas dan kualitas diriterhadap masyarakat.
Dengan seiring waktu peran kiai di Madura berubah yang biasnyajadi pemimpin agama sekarang malah mencoba dan ada yang telah terjundalam dunia politik. Hal ini tidak dapat dielakkan lagi karena kiai memiliki massa yang besar dan dengan sangat mudah menggerakkan massa (ummat) tersebut untuk kepentingan politik. Sementara mayoritas massa tersebut adalah santri atau keluarga santri, atau mereka yang memiliki hubungan secara emosional keagamaan dengan kiai. Dari kekuatan tersebut kiai mudah memiliki peran yang kuat dan berbeda dibandingkan masyarakat pada umumnya.
Agama dan Politik Kiai Sebagai Sentral
Pemimpin kegamaan di Madura terdiri dari tiga kelompok, yaitusantri, kiai dan haji. Murid yang menuntut ilmu disebut santri, guru agama yang mengajari santri disebut kiai, dan mereka yang sudah menunaikan ibadah haji ke Mekkah disebut haji. Ketiga kelompok tersebut berperan sebagai pemimpin keagamaan di Masjid, Musholla, acara ritual keagamaan dan acara lainnya, dimana mereka berperan sebagai pemimpinnya. Diantara ketiganya, kiai merupakan tokoh yang paling berpengaruh. Pengetahuan yang mendalam tentang Islam menjadikan mereka paling terdidik di lingkungan sekitarnya. Kiai selain menyampaikan keahliannya mengenai agama, juga dapat meramalkan nasib, menyembuhkan orang sakit dan mengajarkan tentang kebatinan.
Peran kiai memang dekat dengan masyarakat dimana ada kiai pasti ada masyarakat disituyang terpencar dalam kelompok-kelompok kecil. Untuk mempersatukan desa-desa yang terpencar itu, perlu ada jenis organisasi sosial lain yang mampu membangunkan solidaritas. Di sinilah letak pentingnya agama dan kiai di Madura khususnya di daerah pedesaan.
Desa merupakan salah satu elemen penting di Madura sehingga perlu dipersatukan dalam suasana keagamaan. Demikian juga, karena terpencar, perlu ada pengikat yang menjembatani pemecahan desa. Dalam hal ini agama menjadi organizing principle bagi orang Madura. Pertama, agama memberikan collective sentiment melalui upacara-upacara ibadah dan ritual serta simbol yang satu. Misalnya, di Madura orang juga terpaksa membangun Masjid desa untuk melaksanakan ibadah jum’at secara bersama, karena dalam ketentuan syariat, tidaklah sah shalat jum’at yang tidak dihadiri 40 orang jamaah. Keharusan agamalah yang menjadikan masyarakat Madura menjadi masyarakat dengan membentuk organisasi sosial, yang didasarkan pada agama dan pada otoritas kiai. Posisi kiai sebagai pemimpin keagamaan dalam masyarakat Madura menjadi sangat kuat. Kekuasaan sosial terpusat pada tokoh-tokoh yang secara tradisional keberadaannya sangat dibutuhkan untuk mempersatukan mereka, bukan karena dipaksakan maupun keinginan para tokohnya. Dalam konteks inilah pada awalnya peran kiai hanya menyempit dalam area keagamaan kemudian melebar ke kawasan sosial dan bahkan politik.Selain itu, pandangan hidup orang Madura antara lain tercermin dalam ungkapan bhuppa’ bhabbu’ ghuru rato. Pandangan ini menyangkut filosofi kepatuhan orang Madura pada bapak, ibu, guru dan raja (pemimpin formal), yang mereka sebut sebagai figur-figur utama. Dalam kehidupan sosial budaya orang Madura terdapat standart referensi kepatuhan terhadap figur-figur utama secara hirarkikal. Sebagai aturan normatif yang mengikat kepada semua orang Madura, maka palanggaran atau paling tidak melalaikan aturan ituakan mendapat sanksi sosial secara kultural.
Akan tetapi fenomena yang terjadi sekarang sudah berbeda dengan jaman dahulu. Secara garis besar, sosok Kiai telah banyak memanfaatkan kekuatan kepercayaan dan pandangan masyarakat terhadap dirinya sehingga seorang kiai merasa selalu benar dan selalu jujur. Hal itulah yang melatar belakangi banyak kiai-kiai Madura terjun ke dunia politik yang tidak seharusnya mereka lakukan. Seharusnya mereka berada di mushola dan masjid bukan di gedung parlemen maupun di gedung pemerintahan. Dari sisi inilah kita renungkan bersama khususnya masyarakat Madura untuk bercermin apakah sosok kiai telah benar melakukan hal itu atau malah sebaliknya.