BANGKALAN – Sebanyak 179 kepala desa di Kabupaten Bangkalan hingga saat ini tak kunjung definitif. Persoalan ini akan menambah daftar pekerjaan berat bagi Badan Pemberdayaan Masyarakat (Bapemas) setempat. Pemilihan kepala desa (Pilkades) merupakan permasalahan klasik yang tak kunjung terselesaikan. Terlebih peraturan daerah (Perda) tentang Pilkades bertentangan dengan undang-undang yang baru. Tentunya hal itu dapat mengganggu struktur pemerintahan di desa. Apalagi ditambah dengan program baru pemerintah yang bakal digelontorkan kepada desa.
Dalam Perda nomor 7 tahun 2006 tentang Tata Cara Pemilihan, Pengangkatan, dan Pelantikan Kepala Desa menyebutkan pelaksana tugas (plt) tidak diwajibkan dari pegawai negeri sipil (PNS), namun kepala desa yang sudah habis masa jabatannya diperkenankan menjabat sebagai pejabat sementara (Pjs). Sehingga, banyak terjadi roda pemerintahan desa dikendalikan oleh Pjs hingga puluhan tahun. Hal ini menjadi pemicu tak kunjung digelarnya Pilkades.
Namun, dalam Undang-undang nomor 6 tahun 2014 tentang Desa, yang baru ini mewajibkan Pjs dari kalangan PNS, yang ditunjuk oleh kepala daerah. Dengan demikian, antara Perda dan Undang-undang terjadi kontradiksi, karena ketentuan yang ada tidak sealur dalam penentuan Pjs agar tidak terjadi kekosongan pemimpin. Dengan demikian perlu adanya revisi Perda untuk menyesuaikan dengan Undang-undang Desa.
“Kalau untuk Perda yang sebagian poin-poinnya tidak sama dengan Undang-undang yang baru, ya sebenarnya tidak ada masalah, kami tetap mengacu pada Undang-undang Desa,” jelas Kepala Bapemas Bangkalan, Ismed Effendi.
Mantan kepala Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disosnakertrans) itu mengaku, sampai saat ini dari 273 desa di kabupaten tercatat memang masih terdapat 94 desa yang memiliki kepala desa definitif. Sedangkan, sebanyak 179 masih dijabat oleh PJs. Kendati demikian, pihaknya akan terus berupaya untuk melakukan proses Pilkades seperti yang selama ini diharapkan.
Sedikitnya ada 8 desa yang siap menggelar pilkades, karena SK kepanitiaannya sudah turun. Delapan desa yang dimaksud, Desa Durjan Kecamatan Kokop, Desa Poter , Desa Pamorah, Desa Buddan Kecamatan Tanah Merah, Desa Kolla Kecamatan Modung dan Desa BatoBelle Kecamatan Geger. Selain itu, SK yang sudah turun sejak tahun 2012, tetapi belum juga dilakukan pilkades yakni desa Janteh kecamatan Kwanyar dan Larangan Glintong kecamatan Klampis.
“Awal tahun 2015 semua Pjs yang dipegang kepala desa lama, akan diganti dengan Pjs yang ditunjuk langsung oleh Bupati, dan pastinya dari kalangan PNS di lingkungan pemerintah kabupaten (Pemkab),” ujarnya.
Menurutnya, kedepan Pilkades akan digelar secara serentak namun bertahap. Ia berharap pada akhir 2015 nanti, semua desa sudah dipimpin kades definitif. Hal tersebut sesuai dengan Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa dan Peraturan Pemerintah (PP) nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014.
“Semoga semua dapat dijalankan sesuai dengan rencana. Tentunya apa yang kita jalankan nanti selalu berdasarkan dengan ketentuan yang berlaku,” tandasnya.
Selain itu, Wakil Bupati Bangkalan, Mondir Rofii sempat menyinggung peraturan yang telah diamanatkan oleh kementrian dalam negeri melalui peraturan pemerintah, menghasilkan rumusan program pemberdayaan desa dengan pemberian bantuan desa maksimal sebesar Rp 1,4 pertahun kepada desa. Oleh karena itu perlunya, status kepala desa yang definitif dalam menjalankan program tersebut.
“Kalau masih PJS tentunya tidak akan berjalan. Kades harus definitif, sebagai orang yang bertanggung jawab terhadap program itu,” terang Mondir.
Melalui Ketua Bidang Advokasi Masyarakat Leksdam, Ahmad Jakfar memaparkan setidaknya lebih dari 50 persen kekosongan jabatan kepala desa diisi oleh PJS, sehingga hal itu berpengaruh terhadap struktur pemerintahan dan politik di desa. Apalagi pemilihan ulang belum juga dilakukan. Sebanyak 140 desa belum dilakukan pilkades, sehingga seluruhnya masih dipimpin oleh PJS.
“Pilkades harus secepatnya dilakukan agar demokrasi terkecil di tingkat desa bisa segera ditegakkan. Sebab, sangat besar dampak politik yang terjadi jika itu terus dibiarkan,” ucapnya.
Dia menilai dengan dijabatnya fungsi dan tugas kades oleh PJS menyebabkan struktur pemerintah desa menjadi tak berdaya. Apalagi, dampaknya berpengaruh terhadap kondisi masyarakat langsung, karena tidak ada pemimpin yang definitif. Belum lagi, program pemberdayaan masyarakat desa ke depan yang langsung mengarah pada tatanan masyarakat desa, dengan diberikannya anggaran langsung pada desa.
“Bagaimana anggaran 1 miliar untuk desa bisa terealisasi, ketika tidak ada kades definitif. Kalau pun anggaran itu diberikan kepada yang telah definitif, nyatanya masih banyak desa dipimpin oleh PJS. Itu merugikan masyarakat desa yang bersangkutan,” paparnya.
Pihaknya menyarankan agar segera menuntaskan persoalan pemilihan kepala desa (Pilkades) di wilayah kabupaten setempat pada tahun 2015 mendatang. Pasalnya, selama ini mengalami penundaan akibat dilaksanakannya pemilihan legislatif (Pileg) dan pemilihan presiden (Pilpres). Apalagi, sesuai dengan Surat Edaran (SE) Kementrian Dalam Negeri (Kemendagri), semua tahapan Pilkades harus segera dirampungkan. (MOH RIDWAN/RAH)