Oleh : Abrari Alzael
Kuasa dan harta, dari dulu selalu menjadi musabab terjadinya disharmoni bagi siapapun yang tidak bisa mengalahkan ego. Perang Baratayuda antara Pandawa dan Korawa, juga disebabkan tiga hal itu. Ini juga yang terjadi di abad modern. Pandawa bisa tiba-tiba sesak dada ketika seseorang yang dianggapnya Korawa lolos merebut tahta. Ada sakit hati di situ karena ambisi tak terpatri.
Ketika Pandawa mencalonkan diri menuju tahta , dan kalah, ketidakpatutan melampaui kepantasan. Padahal, mayoritas saja belum cukup dalam mozaik demokrasi ketika idealisme menjadi lacur di sana, dan rakyat terabaikan. Dalam konsep demokrasi, tak ada kapling yang secara spesifik bahwa singgasana milik Pandawa. Kaum Korawa sepanjang mendapat legitimasi pemilik kedaulatan, bisa melenggang meraih tahta, dan inilah yang terjadi hari ini, di Astinapura.
Kemudian, lelah menyapa malam ketika senja bertahta sepi. Ada yang sendiri, dan terlihat gerombolan orang berlari dengan suara bernada tinggi pada urat leher yang bergigi. Mereka berebut kuasa di graha digdaya manakala Pandawa khawatir kehilangan taji. Sebagai rakyat jelata, sedih terasa menyaksikan orang berdasi yang mau menerkam sesama sejak siang hingga pagi lagi. Sang Hyang Widi sembunyi dari jejaring malaikat yang menggeleng, tak mengerti prilaku Pandawa yang terpilih, dipilih, atau pilihan?
Sebagai yang terpilih, ia pasti bukan Rahwana. Bila dipilih, ia juga bukan Dasamuka. Tetapi jika pilihan, siapun berhak bertanya siapa dia, ada apa, mengapa Ksatria seperti itu? Dalam sidang umum, orang terpilih tidak harus seperti. Jika ia seperti itu, di manakah umumnya sidang orang yang dipilih? Tetapi jika orang pilihan, pantaslah seperti itu; mereka bak kucing yang mengiaw berebut daging sebab ada bau amis di sana.
Atau, inikah Kalabendu itu sebagaimana tersurat dalam Serat Kalatida, kehancuran. Tanah ini serasa dikelilingi besi, kuda tiba-tiba gemar mengonsumsi sambal. Sebuah masa menyenangkan, zaman kenikmatan dunia, dan era yang sebenarnya hancur berantakan. Seorang ayah lupa anaknya, anak berani melawan orangtua, sesama saudara saling berkelahi, berebut kuasa dan tahta. Lalu, hujan datang lebih pagi, dan manusia merendahkan derajatnya sendiri. Dari perspektif goro-goro, kehancuran itu semakin nyata, di tanah ini.
Di paruh Juli tahun 90-an, di Massachusetts, Amerika Serikat, seorang tokoh merasa prihatin, waktu itu. Disebutkan, perkembangan generasi dari tahun ke tahun, menunjukkan suatu peningkatan grafik jumlah anak yang bermasalah dibanding yang berhasil. Penjara dipenuhi remaja antara usia 14 – 25 tahun. Sumber dari semua masalah ini ada pada harmonisasi hubungan keluarga dan sistem pendidikan. Sebagian besar anak yang bermasalah memiliki orang tua yang bermasalah dan berantakan, mulai dari rumah, luar rumah, lembaga pendidikan dan politik.
Berdasar penelitian terhadap sejarah bangsa-bangsa yang mengalami kehancuran, terdapat beberapa indikator yang menjerembabkan bangsa. Diantaranya, meningkatnya kekerasan dan generasi yang cenderung memburuk. Selain itu, pengaruh sekutu dan seteru, berlangsungnya prilaku amoral dan meningkatnya egoisme pribadi, menurunya rasa bangga, dan erosi cinta bangsa dan tanah air. Rendahnya rasa hormat pada orang lain, ketidak jujuran, dan berkembangbiaknya rasa saling curiga, membenci dan memusuhi satu sama lain. Itu semua, sebagai goro-goro, terlihat dengan nyata, di depan mata. Kalabendu itu sudah tiba dan secara kolosal banyak orang memposisikan diri sebagai Malin Kundang, anak durhaka kontekstual. (*)
*) Budayawan Madura