Oleh : Ach Taufiqil Aziz*
Baiknya memang, kita sebagai orang Islam, untuk bisa berkorban. Sebagai bentuk untuk meneladani terhadap Nabi Ibrahim, yang digantikan oleh Tuhan untuk menyembelih Ismail, dengan hewan kurban. Itupun, bagi anda yang mempu untuk melaksanakannya. Jika, tidak, masih banyak hal yang bisa dilakukan.
Salah satunya, anda bisa melakukan ritual korban dengan “domba dan kambing”. Hal ini diharapkan agar tidak ada lagi adu domba, dan kambing hitam. Untuk tidak menjadi pelaku adu domba dan selalu mengkambing hitamkan orang lain. Berkat adu domba, penjajah menguasai kita lebih dari dua abad lamanya. Berkat kambing hitam itu, kita terus tarik ulur, saling menyalahkan antar sesama bangsa. Sehingga sampai sekarang kadang, saling menyalahkan sistem demokrasi atau islam, dan atau hingga kepada demokrasi yang diartikan langsung dari rakyat atau diwakili oleh perwakilannya di parlemen.
Saya belum tahu, asal muasal domba dan kambing, menjadi salah satu pribahasa yang disematkan untuk tindakan, mengadu dengan memprovokasi orang lain, dan kambing hitam, di identikkan dengan menimpakan setiap kesalahan kepada orang lain. Kiranya hal ini, menjadi konstruksi dalam berbudaya. Kalau agama, kiranya tidak mungkin. Domba dan kambing, itu halal dimakan. Berbeda dengan anjing dan babi. Sudah najis, tidak boleh juga dimakan. Kalau ini, bangunan bahasa yang didukung oleh agama, bisa jadi, yang muncul, adu anjing atau babi hitam, kalau pun ada yang hitam. Yang terjadi, itu malah adu domba dengan kambing yang hitam. Padahal kenyataannya, jarang sekali, konteks sekarang, ada aduan domba. Yang terjadi, malah aduan sapi, dalam karapan sapi. Kalau kambing hitam, memang masih ada hingga sekarang. Tapi, untuk disematkan kambing hitam sebagai bentuk, menimpakan semua kesalahan orang lain, kiranya, kambing yang warnanya hitam, tidak mempunyai tingkah polah seburuk itu. Itu tingkah polah manusia yang lebih buruk dari kambing.
Idul Adha, menjadi penting untuk mengorbankan kambing hitam dan domba yang selalu di adu. Momen ini kiranya, menjadi titik awal penting, agar tidak ada lagi kambing hitam antar sesama manusia, dan melakukan adu domba antar manusia juga.
Masalahnya, bagi saya, dengan alasan apapun, pengorbanan Ibrahim, dengan simbol menyembelih anaknya, yang diganti dengan hewan kurban itu, senyatanya, adalah simbol, bagaimana manusia mengorbankan sesuatu yang penting bagi dirinya, dipersembahkan kepada Allah swt. Sehingga, hari ini, tradisi menyembelih kambing atau sapi, hanya sekadar simbol saja. Substansi yang lebih penting, adalah pengorbanan kepada Tuhan yang maha esa
Tidak ada penguasa yang bisa disembah, kecuali Tuhan yang maha Esa. Tidak ada yang bisa menyekutukannya, atau menukarnya dengan berhala apapun. Tidak dengan harta, wanita, atau hingga tahta. Semua itu, penting untuk dikorbankan, demi jalan untuk menghamba kepada Allah swt
Realitas yang sangat profan ini, sudah menjauhkan manusia terhadap nilai-nilai spritual. Politisi lebih senang mengejar jabatan, dengan jalan curang, daripada melakukannya dengan nilai-nilai kebenaran yang telah diwahyukan oleh Tuhan. Banyak pengusaha yang lebih bisa untuk melakukan berbagai cara, agar dirinya bisa sejahtera, walaupun dilakukan dengan menghalalkan segala cara. Dan masih banyak orang lainnya dengan lintas profesi, yang telah menggadaikan nuraninya, serta kebenaran dari langit, untuk bisa mendapatkan berbagai keinginannya di Bumi.
Sisi yang berbeda, dinamika kebangsaan ini, juga mempunyai cerita lainnya. Beberapa kali kita menyaksikan orang, dan beberapa kelompok, yang mengaku paling benar, dan orang yang berbeda dengan dirinya dianggap sebagai pihak yang bersalah. Klaim kebenaran ini, mengakibatkan terjadinya kambing hitam, setiap persoalan. Beberapa waktu lalu, kita melihat, kelompok ISIS menjadi salah satu kelompok yang dengan keyakinan atas kebenaran dirinya, melalukan berbagai cara, termasuk kekerasan dan hingga bisa membunuh orang. Saya kadang dalam diam berpikir, orang yang ada dalam kelompok ISIS, ternyata juga melakukan ritual korban. Korbannya adalah sesama manusia.
Tidak lupa juga, ternyata, ada lagi yang berkorban. Yakni wakil rakyat di Senayan. Pasca RUU ditetapkan, agar pemilihan kepala daerah, diserahkan kepada DPRD, kiranya anggota DPR di Senayan, telah berhasil mengorbankan rakyat banyak. Rakyat telah disembelih haknya untuk bersuara dalam pemilihan, digantikan dengan wakilnya di parlemen. Padalah kiranya, tidak bisa disamakan antara pilihan langsung dari rakyat, dengan wakilnya. Kalau pilkada dari DPRD, maka kedaulatan rakyat, telah digantikan dengan kedaulatan partai. Seadainya, pilihan presiden kemarin, juga diwakili oleh wakil rakyat, mungkin, hari ini, kita tidak bisa melihat Jokowi menjadi presiden. Pemimpin yang memang berasal dari rakyat. DPR RI telah mampu melakukan korban, tepat sebelum Idul Adha.
Sampai disini, saya terkadang, merasa miris dan menyedihkan bercerita banyak tentang realitas hari ini. Terlalu runyam dan masalah yang terjadi di sekitar kita. Walau tentu, kita tidak boleh menyerah dengan keadaan. Maka dengan Idul Adha ini, mari jadikan sebagai momen penting untuk mengorbankan banyak hal. Tidak hanya hewan ternak, namun juga egoisme, keserakahan, kemunafikan, dan hingga perasaan paling benar. Tentu dengan harapan, setelah Idul Adha juga, tidak ada lagi, kambing hitam dan domba berkeliaran. Selamat merayakan Idul Adha.
*) Wisudawan Instika, Oktober 2014