Oleh: Nurul Istifaiyah*
Dalam hitungan bulan, era Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) akan segera dimulai. Tahun 2015 adalah awal dari sebuah era pasar bebas dalam berbagai bidang ekonomi, meliputi barang, jasa, modal, investasi, dan ketenagakerjaan di seluruh kawasan Asia Tenggara. Disadari atau tidak, arus liberalisasi ini telah menyebabkan suatu negara untuk tunduk dan patuh pada kekuasanaan pasar yang makin digdaya.
Logika pasar bebas tersebut pada akhirnya menimbulkan terjadinya industrialisasi dalam berbagai bidang, salah satunya adalah bidang pendidikan. Liberalisasi seakan telah menghilangkan visi pendidikan sebagaimana tertera dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 bahwa tujuan negara adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Proses pendidikan tidak lagi menciptakan pribadi yang merdeka dalam berpikir, melainkan mencetak ‘robot’ yang siap bekerja untuk memenuhi kebutuhan pasar oleh para kapitalis. Ironis.
Sistem pendidikan menjadi lebih pragmatis. Di berbagai sudut jalan tidak jarang kita jumpai jumpai baliho promosi Perguruan Tinggi (PT) yang memakai jargon “lulus langsung kerja”. Fenomena ini telah menunjukkan adanya pergeseran paradigma pendidikan. Pendidikan tidak lagi menjadi sarana untuk memerdekakan dan membebaskan pikiran manusia untuk berkembang, melainkan disesain untuk memenuhi kebutuhan pasar. Dalam konteks ini, pendidikan tidak lagi berbicara bagaimana menciptakan manusia dengan tingkat budi pekerti yang baik (akhlakul karimah), melainkan berbicara dalam ranah kapitalis.
Freire dalam bukunya Pendidikan Kaum Tertindas menganoligakan hal tersebut sebagai kosep pendidikan “bank” (banking concept of education) di mana anak didik dibekali dengan beragam ilmu pengetahuan agar kelak mereka dapat mendatangkan hasil yang berlipat ganda. Anak didik tidak lain hanya sebagai komoditi yang potensial untuk dijual ke pasar. Jika demikian, anak didik hanya dididik menjadi manusia penonton dan peniru, bukan pencipta berbekal kreativitas.
Proses tersebut tidak ada bedanya dengan sistem tanam buah. Selama ini pendidikan hanya menanam buah yang sudah jadi. Artinya, seorang siswa selalu disuguhi barang yang sudah jadi, akhirnya, representasi seorang murid akan sama persis dengan gurunya. Harusnya, pendidikan harus menggunakan sistem tanam benih. Benih adalah awal dari segala sesuatu. Proses pembelajaran adalah proses menyemai benih hingga akhirnya nanti benih tersebut tumbuh menjadi pohon yang bisa berbuah dan dapat dirasakan oleh orang banyak. Jika tidak demikian, yang terjadi adalah proses pembodohan belaka.
Proses pembodohan tersebut, salah satunya, dapat dilihat dari ketiadaan ruang berpikir dan ruang dialog bagi anak didik untuk mengembangkan bakat, minat dan kreativitasnya secara mandiri. Kini, setiap anak didik diwajibkan menguasai seluruh mata pelajaran dengan sistem belajar full day. Anak didik pun akhirnya tidak mempunyai waktu untuk bermain dan bersosialisasi dengan masyarakat sekitarnya karena waktunya habis di sekolahan dan mengerjakan pekerjaan rumah (PR). Selain itu, model pembelajaran ceramah pun masih kerap terjadi di beberapa sekolah dan instansi pendidikan lainnya.
Benny Susetyo (2005) mengatakan bahwa sejatinya, pendidikan tidak saja mencerminkan sejauh mana proses transformasi sosial telah berhasil dalam sebuah negara, melainkan juga menunjukkan baik buruk tampang penguasa. Secara sederhana, ungkapan ini menggambarkan bahwa wajah pendidikan adalah wajah penguasa.
Adapun penguasa dalam hal ini dapat dimaknai dua hal, yaitu penguasa dalam arti pasar dan pemerintah. Tidak dimungkiri lagi bahwa keduanya mempunyai pengaruh yang besar pada orientasi pendidikan di negeri ini. Jika pemerintah takluk pada dominasi pasar, maka proses pendidikan di Indonesia nanti tidak ain seperti pabrik yang menciptakan para buruh siap kerja.
Kini, wajah pendidikan bergantung pada pemerintahan baru, Jokowi- JK, mau di bawa arah pendidikan kita. Pendidikan bisa menjadi sebuah alat untuk menumbuhkembangkan kesadaran dan moral antaraumat dalam suatu bangsa dengan melakukan transformasi dari kegelapan menuju pencerahan. Namun jika penguasa, dalam hal ini pemerintah, menghilangkan hakikat dari pendidikan itu sendiri, maka tujuan negara untuk mencerdaskan kehidupan bangsa tidak akan terlaksana. Pendidikan hanya akan menjadi alat pembodohan dan pabrik buruh yang merubah wajah-wajah terang para anak bangsa menuju pada kegelapan.
Beragam PR besar pendidikan sudah menanti pemerintahan baru, Kurikulum 2013 (K13) adalah salah satunya. Beragam evaluasi atas K13 perlu dilakukan demi memperbaiki sistem pendidikan di Indonesia. Meski isi dari K13 dinilai bagus, hingga kini masih lemah pada implementasinya. Tidak hanya itu, minimnya partisipasi anak difabel dalam pendidikan juga perlu diperhatikan. Pasalnya, hingga kini keberadaan SLB maupun sekolah inklusi belum menjangkau di tingkat desa-desa dan masih berada di pusat kota saja.
Pembinaan mutu pendidikan dalam bentuk akreditasi dan sertifikasi juga harus terus digarap dengan serius. Indeks pendidikan salah satu komponen penting guna mengukur sejauh mana kualitas pendidikan yang sudah berlangsung.
Akhirnya, pendidikan adalah proses pembebasan yang tidak lain untuk menciptakan manusia-manusia yang merdeka dalam berpikir, matang dan bertanggung jawab dalam bertindak, serta peka terhadap realitas sosial berbekal nilai-nilai budi pekerti yang luhur.[]
*) Mahasiswi Program Pascasarjana (S2) UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.