Oleh : Ahmad Riyadi*
Hasil pemilihan umum presiden dan wakil presiden kemarin, ternyata tidak berbuah hasil menggembirakan dalam perjalanan demokratisasi di Indonesia. Sebelum pelantikan presiden dan wakil presiden, kebuntuan politik terjadi kembali. Kebuntuan ini terjadi karena adanya usulan pemilihan kepala daerah yakni Gubernur, Bupati, dan Walikota dipilih oleh DPRD yang pada akhirnya disahkan melalui proses voting dalam sidang Paripurna.
Adalah komplotan partai politik yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih (KMP) yang memprakarsai pemilihan kepala daerah dipilih oleh DPRD. KMP merupakan koalisi yang terdiri dari partai Gerindra, Golkar, PPP, PAN dan Partai Demokrat yang dalam proses pemilihan presiden dan wakil presiden mendukung Prabowo-Hatta.
Banyak opini perlawanan yang berhamburan datang dari masyarakat, terutama yang pro terhadap demokrasi dalam rangka menolak hasil sidang Paripurna kemarin. Seharusnya dengan banyaknya penolakan tersebut, UU Pilkada tidak diberlakukan. Penolakan tersebut akhirnya berbuah hasil manis, yakni Susilo Bambang Yudhoyono mengeluarkan dua peratuturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu).
Pertama, Perppu No 1/2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota. Perppu ini mencabut UU No 22/2014 yang mengatur pemilihan kepala daerah dipilih oleh DPRD. Kedua, Perppu No 2/2014 tentang perubahan atas UU No 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah. Perppu kedua ini menghapus tugas dan wewenang DPRD memilih kepala daerah oleh DPRD (Kompas,4/9/2014).
Dua Perppu yang dikeluarkan presiden SBY setidaknya membuat masyarakat bernapas lega. Tapi bukan berarti, tindak politik yang dicerminkan oleh SBY dinilai secara positif belaka. Melainkan, juga patut dikritisi.
Balas Dendam
Pertanyaan kritis yang patut dilontarkan di sini adalah, apakah benar SBY ingin menyelamatkan demokrasi di Indonesia dengan dua Perppu yang diterbitkan kemarin? Atau jangan-jangan ada unsur lain dibalik semua itu?
Dua pertanyaan tersebut berawal dari sikap Partai Demokrat yang melakukan aksi walk-out saat sidang Paripurna berlangsung. Dan juga tidak ada alasan yang kuat dari aksi walk out-nya Fraksi Partai Demokrat, mengingat sepuluh syarat yang diajukan Fraksi Partai Demokrat diterima oleh Fraksi Partai Nasdem, PDI-P, PKB dan Hanura. Apalagi ada perkataan dari salah satu anggota Fraksi Partai Demokrat yang memojokkan Fraksi PDI-P, yang kurang lebih bunyinya demikian, “bukankah Fraksi PDI-P juga sering melakukan aksi walk-out di sidang-sidang Paripurna sebelumnya?”
Menjadi sangat jelas, bahwa ada unsur balas dendam dari Partai Demokrat terhadap PDI-P yang kini menjadi partai yang memenangi pemilihan umum presiden dan wakil presiden. Aksi politik yang dilakukan oleh Partai Demokrat mencerminkan sikap yang jauh dari harapan masyarakat luas. Partai politik yang seharusnya menjadi pilar demokrasi yang paling utama, justru dijadikan wadah balas dendam belaka.
Fenomena politik yang demikian menjadi tidak baik dalam perkembangan demokrasi di Indonesia. Politik yang hanya berlandaskan balas dendam hanya akan membicarakan untung-rugi dari masing-masing kelompok. Dan sudah menjadi konsekuensi logis, kepentingan masyarakat luas dikesampingkan.
Tidak hanya sikap dari Fraksi Partai Demokrat yang menuai kekecewaan publik, melainkan juga sikap Megawati Soekarnoputri yang hanya ‘mengutus’ Jokowi, Jusuf Kalla dan lainnya untuk menemui Susilo Bambang Yudhoyono. Padahal, sudah sangat jelas bahwa SBY hanya ingin bertemu dengan Megawati Soekarnoputri.
Andai saja, jika sikap Megawati dan SBY tidak mendahulukan egoisme politik masing-masing, politik bangsa Indonesia tidak akan mengalami kebuntuan yang cukup akut seperti sekarang ini. Keadaan inilah yang patut kita sayangkan sebagai masyarakat. Bukan mendahulukan kepentingan masyarakat secara luas, malah justru sebaliknya, lebih mendahulukan egoisme politik masing-masing.
Kepentingan Partai Demokrat
Selain unsur balas dendam, ada unsur lain yang diagendakan oleh Partai Demokrat ke depan. Hal ini menyangkut kepentingan Partai Demokrat itu sendiri, yakni merebut posisi ketua MPR. Kok bisa?
Tidak dapat dimungkiri, kebuntuan politik yang sekarang ini terjadi adalah kesempatan besar bagi Partai Demokrat untuk memainkan peranan penting di dalamnya. Sampai sekarang ini, Partai Demokrat masih mempunyai kekuatan yang kuat karena posisi politiknya ‘netral’.
Aksi walk-out dari sidang Paripurna yang membahas tentang RUU Pilkada kemarin adalah salah satu agenda penting untuk menaikkan posisi Partai Demokrat dalam kancah politik selanjutnya. Koalisi Merah Putih tentu saja merasa berhutang budi terhadap aksi walk out yang dilakukan oleh Fraksi Partai Demokrat. Karena dengan walk out-nya Fraksi Partai Demokrat itulah tujuan Koalisi Merah Putih untuk memilih pemimpin daerah dipilih oleh DPRD dapat tercapai.
Di sisi yang lain, PDI-P, Nasdem, PKB, dan Hanura juga membutuhkan keberpihakan Partai Demokrat dalam rangka menyelamatkan masa pemerintahan Jokowi-JK selama lima tahun ke depan. Maka dengan demikian, peluang Partai Demokrat untuk merebut posisi ketua di MPR sangat terbuka lebar.
*) Peneliti Sosial-Politik The Indonesian View (TIV), Mahasiswa Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora UIN Sunan Kalijaga