Oleh : Abrari Alzael*
Bill Gates, orang terkaya di dunia, percaya bahwa kemiskinan dapat dihapus dari muka bumi. Salah satu caranya, orang-orang yang memiliki akses dan kekuatan modal, menambah kepedulian untuk membantu kaum miskin di mana pun, termasuk Indonesia. Model lainnya untuk meminimalisasi kemiskinan, antara lain mengurangi konflik. Sejauh pertentangan tetap subur, sepanjang itu pula, kemiskininan akan menua di sana. Selain itu, manakala program pengentasan kemiskinan dijadikan sebagai proyek yang justru dilakukan orang-orang kaya, maka kemiskinan akan terus berantai.
Contoh kemiskinan yang terus terurai, terjadi di Kongo. Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita di negara ini hanya $ 348. Kongo negara miskin dengan konflik dan perang yang berkecamuk. Perang di Kongo pada akhirnya menghancurkan negara itu sendiri. Pada tahun 2008 Kongo, kembali mengalami perang dan menewaskan 5,4 juta jiwa. Begitu pula Liberia, dengan PDB per kapita $ 456. Negara di Afrika ini belum pernah dijajah Eropa. Tetapi pada 1980, presiden Liberia digulingkan oleh ketidakstabilan dan tentu saja, perang sipil.
Kemudian, Burundi dengan PDB per kapita setara $ 615. Negara ini dikenal dengan konflik, perang suku dan sipil. Burundi merupakan negara yang hampir tidak pernah memiliki masa damai. Selain miskin lantaran perang antarsuku, Burundi miskin lantaran hukum yang buruk. Meski negara ini dikenal sebagai produsen kopi terbaik di Afrika, semua ini tidak berarti pada saat sesuatu yang baik berada dalam hukum yang lelet dan konflik tanpa henti.
Dilihat dari tanda-tandanya, negeri ini sebenarnya termasuk negara miskin. Itu apabila indikator kemiskinan di tiga negara miskin tersebut merujuk pada konflik dan hukum yang tidak tegak. Tanda-tanda lainnya, kemiskinan republik ini dipicu oleh utang yang tinggi (285 Miliar Dollar AS). Tren utang tanah ini dari tahun ke tahun angkanya terus naik.
Apabila jumlah penduduk Indonesia sat ini mencapai 252 juta jiwa disandingkan dengan jumlah utang negara, maka setiap jiwa memiliki utang setara 1.331 Dolar AS. Jika kurs Dolar Amerika sepadan dengan Rp. 12.200, maka utang setiap jiwa saat ini sudah mencapai Rp. 13.800.000. Namun demikian, pada utang yang membengkak ini, pemerintah mengumumkan negeri ini sebagai negeri yang maju, berkembang, dan keren. Padahal, secara de facto masyarakatnya mengalami sesuatu yang berbeda. Kalau Indonesia ini sebagai perahu besar, mau dibawa berlabuh ke mana? Bila nakodanya baik tetapi ABK-nya sengkarut, oleng akan terjadi pada kapal. Ini belum termasuk bagaimana kapal menaklukkan gelombang dan angin di laut lepas.
Sepertinya, tidak perlu lagi bernyanyi bahwa negerini subur makmur jika kesuburan dan kemakmuran dibawa kabur. Untuk apa berpidato angka-angka pertumbuhan bila kenyataannya runtuh. Negeri ini butuh sesuatu yang nyata, yang tidak sekedar pengumuman dalam angka-angka, yang tidak cuma menang dalam berkoalisi dengan menyapu bersih kekuasaan. Tetapi apa guna kuasa bila rakyat dibuat tidak berdaya?
Negeri ini seperti terlalu banyak melakukan basa-basi dan alpa substansi. Dari sisi istilah miskin saja begitu beragam mulai dari sangat miskin, miskin, rentan miskin, ditengara miskin, diduga mirip miskin dan hampir miskin. Padahal dalam kenyataan dan yang terlihat di lapangan, hanyalah miskin. Ini umumnya terjadi karena natural, kultural, dan struktural. Pada sebab pertama dan kedua, di negeri ini terbantahkan. Sedangkan pada penyebab kemiskinan terakhir, Indonesia sangat dominan, negeri yang saleh berada di tangan yang salah. (*)
*) Budayawan Madura