Perempuan
begini katamu;
setelah musim kemarau masak
aku mesti menyerap getah daun jati yang ranggas
menyimpannya di lembar almanak
dengan jejak air mata
begini kataku;
musimku sudah luruh
bersama bau anyir tubuhmu
yang dibalut kembang dalam ritus sunyi
Purwokerto, Agustus 2014
Obor
Entah yang keberapa kalinya kau melesat. hilang entah kemana. sedangkan ranting-ranting bambu tidak pernah mendesau, menangis, atau pun berteriak: memanggil namamu. dan aku harus menjelma bulan, agar bisa menyalakan malam yang demikian menyayat nadiku: dengan ilalang yang menusuk malam. dan angin yang menjelma petir. mengoyak jantungku; sampai berebut nyawa dengan Izrail.
Aku harus menyusuri jalanan sunyi, yang dihiasi nyala pucat, seperti di tepi gerbang rumahmu.
Purwokerto, Mei 2014
Bolabola Air
tidak ada yang lebih niscaya daripada bolabola air. setiap gelembungnya menjelma replika bianglala, lalu kau mengaca kepadanya.
Setelah kau tiupkan rahim bolabola air, udara di dalamnya menyimpan seribu kenangan. berserak di pelataran batinmu. memoar sebelas tahun silam.
Lalu seekor kupukupu terbang menyusuri musim rahasia di hatimu, mengisap rindu kepada satu. metamorfosa: kau meninggalkan euforia. dan bertapa menyusun jelaga pada tubuhmu.
Aih, sebaiknya jangan kau lakukan itu, sayang. Bolabola air masih terbang ke pangkuanmu yang menghampar. Ikuti angin di matamu, angan di batinmu. Menghempaskannya di tubuh hawa, bukan berarti kau ikut mati di pusaran waktu.
Masih ada rahim yang bakal lahirkan bolabola air. Katamu, ia bersama angan yang nisbi.
Purwokerto, Oktober 2014
Doa
Sebelum purnama luruh di saat subuh
aku memotongnya dengan ilalang yang kembang
separuh kukunyah menjadi sarapan pagi
dan separuh kukantongi
agar tubuhku menjelma cahaya
Purwokerto, Juni 2014
*) Lahir di Banyumas 21 Oktober 1995. Mahasiswa STAIN Purwokerto Jurusan Dakwah prodi Bimbingan Konseling Islam.