Cerpen Raedu Basha*
Hai, teman!
Ketika kau melihat burung-burung terbang dengan gesit saling berhamburan mengepak-kepakkan sayapnya yang menawan di antara awan-gemawan bersama sekawanan, pernahkah kau terlintas ingin menjadi seekor burung? Ketika kau melihat letusan kembang api di langit dengan cahaya yang melompat-meretas dan membentuk warna-warni yang cerlang berkubitan indah, pernahkah kau berkeinginan menjadi bagian dari kelap-kelipnya?
Atau manakala kau menyaksikan sesuatu yang sekiranya tak dapat terjangkau raga-inderamu, kau miliki asa menjadi yang demikian rupa, seperti ingin menjadi gajah, kucing, menjadi harimau, laba-laba, walet, kalelawar dan sebagainya…?
Mungkin tak ada salahnya jika sineas Christopher Nolan harus mewujudkannya pada Batman, Marc Webb mengejawantahkan khayalannya ke dalam Spiderman, Michael Bay membuat kehidupan nyata dari mimpi-mimpinya menjadi Kura-kura Ninja. Begitu juga dengan Fujiko F. Fujio yang mengkartunkan ide gilanya menjadi seekor kucing Doraemon yang cerdas. Mereka berbuat demikian rupa bukan tanpa alasan. Ya, mereka mencoba keluar dari setiap kerangkeng kehidupan sebagai manusia realitas yang terkekang aturan-aturan alam, dan melebur ke dalam khayalan-khayalannya yang menyala-nyala, tajamkan intiusi seperti menyusuri lorong-lorong yang berkelok dan tembus pada ujung imaji.
Hahaha.
Seperti itulah mungkin aku memandang kehidupan itu sejak kecil. Aku berkhayal saat bermain, aku bermimpi saat belajar, aku hidup di dalam imajinasiku yang meberobos ke luar dari kehidupan yang sebenarnya. Melempar kenyataan yang penuh perang dan angkara murka. Di sanalah, aku berjumpa dengan cita-cita lain dari yang lain. Asa yang tak biasa. Impian yang sunyi di sudut hati.
Kehidupan nyata
penuh dengan kebejatan dan dosa
Sedangkan di alam imajinasi
aku bisa menyiptakan surga
Kurang lebih begitulah yang dikatakan Kahlil Gibran, yang mana aku berada di antara ke-edan-an “Si Tua Lebanon” itu.
***
Di tengah sungai terjun kecil yang membelah dua dusun di desaku…
Sungai Galujuran.
Aku berdiri di atas ketinggian batu, aku berkhayal menjadi apa saja yang aku mau. Kadang aku menjadi angin, kadang menjadi deru, kadang menjadi air, menjadi ikan kapas ataupun alam raya itu sendiri.
Bosan. Aku berubah menjadi artis, menjadi penyanyi, menjadi model, menjadi presenter, menjadi komedian…
Stand up comedy!
Dan, kubayangkan rumput-rumput, pohon nyemplung dan nyiur, ribuan bunga-bunga liar, semua menjadi penontonku. Aku berkelakar sambil memegang batang pohon keres yang kubayangkan sebagai mik corongan yang hebat.
“Penonton! Apa kalian tahu perbedaan penyair dengan aktifis bila sedang menembak wanita? Jika penyair menembak wanita idamannya dia akan berpuisi
‘wahai gadisku… Engkau laksana purnama, matamu bagaikan bintang yang bila berkedip cahayanya seakan jatuh ke haribaan kalbu, hidungmu seperti ujung-ujung kapas awan, bibirmu mewangi yang bergurat merah menyerupai jeruk purut yang basah’.
Tapi beda halnya bila seorang aktivis menembak cewek idamannya, dengan padat-singkat-tajam-terpercaya ia akan berkata ‘Hai Gadis, aku cinta kamu. Ada pertanyaan lain?’…”
Ujarku menyerupai komedian yang beraksi di atas panggung lawak.
Semua penonton: pohon, batu, air, rumput, bunga liar, tak terkecuali para capung dan pasukan kupu-kupu, sama-sama tertawa dan mengaplausku tanpa henti.
“Thank you all….!”
teriakku sembari senyum-senyum. Kupingku mekar-mekar.
Bosan lagi.
Aku berubah bak seorang politikus, menjadi juru kampanye, menjadi diplomat, menjadi pemerintah, bupati, gubernur, menteri, bahkan menjadi seorang presiden. Ya, seorang presiden! Presiden yang sedang menyampaikan pidato perdana di Gedung Parlemen…
“Saudara-saudaraku sebangsa dan setanah air! Aku senang sekali menjadi seorang presiden hari ini. Tadi pagi aku menerima sms dari Obama dan menyampaikan ucapan selamat karena aku telah menjadi Presiden ke-9 Republik Indonesia yang sangat kita cinta ini. Tak hanya Obama, bahkan Saddam dan Khadafi tadi malam mendatangiku melalui mimpi dan mereka mengatakan ‘Selamat menjadi Presiden dan semoga Anda menjemput Kami’.”
Semua penonton sama-sama mengaplausku tanpa henti. Termasuk seekor ular daun yang tubuhnya bersisik hijau yang bergelantung di pohon nyemplung bagai menganga melototiku. Aha! Mungkin si ular daun itu takjub dengan penampilan pidato perdana sang presiden.
Hahaha.
“Bung…!” Tiba-tiba seorang teman meneriakiku dari balik rawa-rawa sungai Gelujuran.
Terpaksa aktifitas khayalanku terhenti sejenak, padahal aku sudah menjadi seorang presiden, sudah mabuk mendayukan bayang-bayang. Aku melongo teman itu.
“Apa yang kau lakukan disitu, Bung?” tanyanya.
“Jangan ganggu aku! Aku sedang pidato perdana kepada rakyat-rakyatku. Aku sekarang menjadi presiden, dan aku akan menyampaikan visi-misiku ke depan untuk sejahterakan negara ini!” Terangku panjang-lebar.
Teman itu hanya melongo-longo memperhatikanku tegak berdiri di atas batu.
Kupasang sebatang janur kering melingkari kerah leherku melilit hingga pusar: Dasi.
“Ehem, ehem… Saudara-saudaraku sebangsa dan setanah air! Maaf pidatoku sempat terpotong karena tadi ada temanku dari Jepang sedang berteriak…”
Si Teman yang masih memperhatikan ulahku kemudian terpingkal-pingkal, terbahak-bahak, jungkir-balik sampai sakit perut.
“Hahaha. Presiden? Presiden apa? Presiden kok sinting!?” katanya.
Aku berdehem-dehem.
“Lho! Kalau tidak sinting, ya jangan jadi presiden dong!” sengakku sambil membetulkan letak dasi.
***
Hai, teman!
Ketika kau melihat burung-burung terbang dengan gesit saling berhamburan mengepak-kepak sayapnya yang menawan di antara awan-gemawan bersama sekawanan, pernahkah terlintas kau ingin menjadi seekor burung, atau menembaknya sampai terkapar mati? Sebenarnya siapa yang lebih sinting antara orang yang ingin menjadi seekor burung atau menjadi orang yang semana-mena membunuh makhluk Tuhan?
Takkan kusudahi merajut khayalan-khayalanku, hingga kelak semua percaya, seorang Christopher Nolan baru akan lahir dari dalam diri…
Ditulis di tepi Sungai Galujuran
*) Mahasiswa S2 Antropologi Budaya UGM Yogyakarta