Oleh: H. Darmadi*
Kontroversi tak pernah sepi sejak digulirkannya dana atau tunjangan sertifikasi bagi guru di republik sarat korupsi ini. Dari pihak yang mempertanyakan efektifitas tunjangan tersebut bagi peningkatan kinerja guru sampai makin terbebaninya anggaran rutin APBN akibat dikeluarkannya dana tersebut.
Kalangan yang mempertanyakan mubazirnya dana yang besarnya satu kali gaji ini berargumentasi bahwa tidak ada peningkatan yang signifikan atas peningkatan kualitas pendidikan, bahkan alih-alih meningkatkan kualitas pendidikan, malah banyak diantara para guru penerima dana ini yang kinerjanya lebih buruk dari para guru honor. Jam mengajar yang tidak mencapai 24 jam, frekuensi ketidakhadiran di sekolah yang relatif banyak, kerap terkena razia yang dilakukan oleh Satpol PP di jam-jam efektif dinas serta berbagai kejadian lain yang berkonotasi negatif.
Membebani belanja rutin APBN khususnya belanja pegawai adalah keberatan yang sangat jelas statistiknya. Defisit anggaran yang ditutupi dengan pinjaman lunak dari lembaga donor internasional bisa jadi salah satunya untuk memenuhi dana sertifikasi guru.
Ada kesan kuat bahwa para guru dianggap tidak memiliki kecerdasan finansial dan cenderung mengejar kebutuhan yang artifisial dibandingkan mengejar kebutuhan investasi untuk masa depan, baik peningkatan soft skill berupa kualitas intelektual bagi keberhasilan proses pembelajaran di kelas maupun menanamkannya dalam sebuah usaha atau membeli saham suatu perusahaan.
Peningkatan Permintaan Agregat
Investigasi yang dilakukan wartawan KC tentang meningkatnya perceraian di kalangan guru pasca digulirkannya tunjangan sertifikasi bisa jadi hanya bersifat kasuistis dan regional. Prosentase guru wanita yang memilih bercerai setelah merasa kuat secara ekonomi dari suaminya jauh lebih kecil dibandingkan guru yang memilih tetap mempertahankan perkawinannya demi masa depan anak-anaknya. Begitu juga dengan kasus guru pria yang mencari istri kedua melalui nikah siri.
Kebijakan pengguliran dana sertifikasi bagi para guru oleh pemerintah sebenarnya lebih bersifat makro. Dalam jangka pendek dana yang diterima oleh para guru yang secara kuantitas mencapai puluhan juta orang, secara makro ekonomi akan meningkatkan daya beli para guru dan secara langsung meningkatkan permintaan secara agregat. Meningkatnya permintaan agregat akan berdampak pada peningkatan jumlah produksi yang ada di masyarakat (dalam rangka memenuhi permintaan agregat tersebut). dan secara tidak langsung akan menyerap tenaga kerja lebih banyak lagi. Jumlah pengangguran akan berkurang, daya beli secara umum juga semakin membaik dan pemasukan pajak buat pemerintah juga akan meningkat.
Multiplier effect yang ditimbulkan oleh bergulirnya dana sertfikasi yang telah diprediksi pemerintah tersebut akan memicu pertumbuhan ekonomi sekaligus pemerataan pendapatan. Disisi lain, dengan meningkatnya pendapatan para guru akan mengangkut ‘status ekonomi profesi guru’ di mata masyarakat. Profesi guru secara sosial akan mengalami peningkatan strata , yang semula mendapat julukan umar bakri dengan gaji cukup untuk beli tahu dengan sepeda ontel dan baju kumuh menjadi profesi dengan gaji cukup untuk beli burger atau pizza dengan mobil dan baju berdasi.
Para lulusan terbaik di tingkat SLTA sekarang ini sudah banyak yang memilih jurusan keguruan dalam pilihan studinya. Dengan gaji 4 sampai 5 juta (gaji plus sertifikasi) per bulan tampaknya membuat generasi muda (dan para orang tua) berpikir lebih realistis untuk menafikan pilihan arsitektur atau kedokteran yang berbiaya jauh lebih mahal dibanding keguruan. Fakultas-fakultas keguruan dan ilmu pendidikan sedikit demi sedikit akan diisi oleh calon-calon guru yang memiliki kemampuan di atas rata-rata. Peserta didik yang ada di sekolah, empat atau lima tahun mendatang akan diajar, dididik, dibina oleh guru-guru yang mempunyai kemampuan intelektualitas, emosi, spiritualitas dan teknologi yang sempurna.
Bukan rahasia, di era akhir tahun 90 an hingga akhir abad 20, mahasiswa-mahasiswa yang menghuni fakultas-fakultas keguruan dan ilmu pendidikan adalah mahasiswa-mahasiswa ‘yang terlempar’ dari fakultas teknik, sosial maupun kedokteran. Menjadi guru adalah pilihan terakhir setelah tidak diterima di fakultas lainnya. Profesi guru adalah profesi yang ‘ apa boleh buat dari pada tidak ada pekerjaan lain’. Bisa ditebak bagaimana hasil kerja sebuah profesi yang ditekuni tanpa dedikasi total dari para pelakunya.
Minat baca para guru bisa dikatakan rendah, padahal membaca merupakan aktivitas krusial dalam pengembangan profesi pendidikan. Penguasaan dan minat terhadap teknologi informasi untuk mendukung pembelajaran sangat lambat (para siswa bahkan lebih dahulu menguasainya). Metodologi pembelajaran yang digunakan oleh sebagian guru cenderung masih konvensional dan tidak menarik bagi para siswa yang jauh lebih maju cara berpikirnya. Dan yang lebih parah adalah keteguhan pendirian dan idealisme yang seharusnya dimiliki oleh pendidik sudah tidak lagi dimiliki oleh sebagian guru. Indikasinya adalah kecurangan dalam Ujian Nasional terjadi hampir di semua propinsi.
Guru Visioner
Beberapa saat setelah Kota Hirosima dan Nagasaki di bom tentara sekutu, sang Kaisar yang dianggap sebagai wakil Tuhan di Bumi oleh orang Jepang, melakukan inspeksi serta mencoba ikut menghitung berapa rakyat yang menjadi korban. Perintah pertama yang dikeluarkannya adalah berapa jumlah guru yang masih hidup dan selamat dari pengeboman, bukan berapa dokter dan arsitek. Sang kaisar sangat memahami bahwa di tangan para gurulah bisa dihasilkan dokter dan arsitek yang berkualitas, dan bukan sebaliknya.
Di beberapa negara maju, baik maju secara ekonomi maupun teknologi dan peradaban ditemukan fakta bahwa profesi guru mendapatkan posisi terhormat dalam strata sosial mereka, salah satunya karena fee atau gaji guru berada di jajaran tertinggi, atau paling tidak, tidak jauh berbeda dengan profesi lainnya. [*]
*) Fungsional Guru pada Kantor Kementerian Agama Kabupaten Lampung Tengah.