Oleh: Miqdad Husein*
DALAM sebulan BBM naik dua kali! Sebuah kejadian baru dan terasa luar biasa. Tak ada gonjang ganjing. Tidak juga ada isyarat khusus. Semua berlangsung begitu saja hanya lewat penjelasan dan pengumuman sederhana.
Suka atau tidak suka, inilah fakta riil pemerintahan Jokowi. Fluktuasi harga BBM tak lagi sakral seperti pemerintahan sebelumnya. Naik turunnya BBM tak lagi spesial atau berbeda dengan kenaikan komoditas lainnya. Jika harga BBM dunia naik, karena kini tak ada lagi subsidi kecuali solar, pemerintah langsung menaikkan. Harga turun, pemerintah tanpa basa basi langsung menurunkan. Naik turun harga BBM dibiarkan menjadi hal biasa.
Awalnya, sebagaimana kebiasaan baru sempat menimbulkan kekagetan. Konsumen saat mengisi BBM di SPBU banyak yang terkejut ketika harga berubah; baik karena turun maupun naik. Jika turun sudah pasti konsumen tersenyum; harga naik seperti lazimnya, kaget lalu menyelinap rasa kesal. Sesuatu yang manusiawi.
Bagi dunia usaha, fluktuasi harga BBM di dalam negeri ini, yang sudah mulai bergerak dinamis sudah pasti mulai diantisipasi. Segala perencanaan dunia usaha tidak lagi kaku dan berdasarkan durasi panjang setahun, satu semester dan lainnya. Perhitungan antisipasi kenaikan atau turunnya BBM dipersiapkan matang agar perusahaan berjalan sehat.
Inilah perkembangan baru kebijakan BBM di negeri ini. Pemerintah secara cepat mengambil keputusan bila harga minyak dunia naik ataupun turun. Masyarakat dibiasakan bersikap realistis terhadap dinamika perkembangan minyak dunia melalui keputusan cepat. Tak ada lagi situasi ketakpastiaan ekonomi seperti sebelumnya, yang untuk menaikkan BBM sampai berkali-kali diwacanakan sehingga harga barang tanpa disadari naik berkali-kali. Setiap muncul wacana rencana pemerintah menaikkan harga BBM pedagang terpengaruh lalu menaikkan harga.
Persoalannya sekarang ini, jika pemerintah sudah sangat cepat mengambil keputusan terkait BBM; baik naik maupun turun, adakah dunia usaha juga bersikap sama. Artinya, jangan hanya ketika BBM naik hargaharga dinaikkan tetapi ketika harga BBM turun pura-pura tak tahu dan membiarkan harga yang sudah naik itu tidak turun lagi.
Sikap pimpinan Organda, yang berkeras tak mau menurunkan tarif ketika BBM diturunkan beberapa waktu lalu tak boleh lagi terjadi. Saat itu Organda berkelit tak mau menurunkan tarif dengan alasan klise bahwa harga BBM hanya satu faktor penyebab kenaikan tarif. Masalahnya, jika benar BBM hanya satu faktor mengapa Organda memaksakan diri menaikkan tarif ketika harga BBM naik. Lagi-lagi ini tak lebih dari akal-akalan dunia usaha, yang hanya berpikir meraup untung sebesarbesarnya.
Dunia usaha lain sejauh ini memang belum memperlihatkan sikap sebagaimana Organda. Bahwa pengaruh kenaikan tarif transportasi yang tanpa kepedulian itu mempengaruhi harga memang sulit dihindari. Karena bagaimanapun kenaikan tarif transportasi sudah pasti mempengaruhi pengeluaran dunia usaha, termasuk para pedagang menengah dan kecil.
Di sinilah diperlukan kearifan semua pihak terutama dunia usaha. Ketika pemerintah bersikap cepat dan tegas dalam mengambil keputusan seharusnya dunia usaha juga merespon sejalan kebijakan pemerintah. Jangan hanya ketika BBM naik dunia usaha menaikkan harga; seharusnya saat BBM turun juga menurunkan harga. Harus ada sinergi semua pihak. [*]
*) Kolumnis asal Madura, tinggal di Jakarta.