Oleh: Herri Mulyono*
Dua bulan lalu, tepatnya 10 Februari 2015 merupakan hari berselancar internet aman (Safer Internet Day). Sayangnya, sedikit hari berselancar internet aman ini asing bagi pengguna internet di tanah air dan sunyi dari pemberitaan.
Namun sejurus kemudian, masyarakat dihebohkan dengan penutupan 22 situs yang dianggap radikal berdasarkan keputusan BNPT. 19 situs di antaranya adalah situs konten Islami. BNPT menilai bahwa situs-situs yang ditutup tersebut mengancam keamanan bernegara melalui ragam propaganda radikalisme yang terdapat pada konten didalamnya. Walaupun, empat definisi radikalisme yang menjadi alasan penutupan 19 situs tersebut masih lemah dan rentan perdebatan.
Bila dianalogikan, internet merupakan sebilah pedang dengan dua sisi yang salah satunya dapat sangat berbahaya. Beragam penipuan, penculikan, kejahatan serta bullying sangat marak di jejaring internet. Bahkan beragam propaganda sering disebarkan melalui media daring. Sebut saja ISIS. Kelompok radikal ini giat melakukan propaganda serta perekrutan melalui jejaring sosial, mulai dari Facebook, twitter ataupun distribusi video melalui Youtube. Di Inggris saja,tidak sedikit warganya ikut bergabung dalam perang bersama ISIS setelah terbujuk propaganda yang disajikan melalui media daring. Sehingga wajar bila Inggris dan negara-negara Eropa lainnya, mulai ketat mengawasi kegiatan berselancar warganya dengan ketat. Bahkan, Inggris telah mewacanakan pembentukan pasukan khusus yang menangani “perang” di jejaring sosial.
Di tanah air, keresahan dari dampak negatif internet sebenarnya sudah dirasakan oleh masyarakat. Interaksi internet sudah dianggap tidak aman lagi. Beragam propaganda radikalisme melalui perangkat SARA (suku, agama dan ras) dan ideologi, aneka kejahatan via transaksi daring, pornografi dan lainnya sangat mudah diakses melalui jaringan internet. Banyak negara sudah melakukan filtrasi terhadap websites serta jaring sosial lainnya. Cina misalnya, menerapkan aturan yang sangat ketat tentang jejaring sosial dan hanya menggunakan aplikasi yang dibangun oleh masyarakatnya sendiri.
Sayangnya, respon pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) masih tergolong rendah dan dalam banyak hal kurang berkoordinasi dengan badan intelijen dan keamanan negara. Walaupun tercatat sebagai “Pemrakarsa sosialisasi internet dengan peserta terbanyak” 2012 di Indonesia, usaha Kemenkominfo untuk menjadikan internet aman bagi seluruh masyarakat di tanah air masih dipertanyakan.
Lihat saja beragam game daring yang banyak mengadung unsur kekerasan masih bisa diakses oleh anak usia sekolah. Padahal, sebagian negara sudah mengeluarkan peraturan pidana bagi orang tua yang mengijinkan anaknya bermain game daring yang tidak layak bagi seusianya.
Penutupan 19 situs konten Islam juga bukti kurangnya komunikasi dan koordinasi antara lembaga negara. Sungguh aneh bila kemudian Kemenkominfo memberikan klarifikasi dan akan mengevaluasi kembali alasan penutupan 19 situs tersebut.
Transparansi dan berkeadilan
Hukum memang harus ditegakkan, tapi melalui prinsip berkeadilan dimana setiap warga negara memiliki kedudukan yang sama dimata hukum. Artinya, bila memang ada situs konten Islami yang mengarah kepada radikalisme tetap harus ditindak. Namun, hukum yang ditegakkan ini harus transparan dan jelas prosedur penanganannya. Dalam kasus penutupan 19 situs konten Islami tersebut, hukum yang ditegakkan cenderung bertendensi kepada pemuasan kelompok-kelompok tertentu yang pada satu kondisi sangat berpotensi menimbulkan perpecahan.
Sangat jelas bahwa dalam beberapa bulan terakhir seringkali umat Islam dijadikan agenda test the water untuk melihat sejauh mana reaksi umat Islam terhadap sebuah isu tertentu. Ditambah lagi dengan gencarnya penanganan isu ISIS di tanah air, seakan umat Islam dipojokkan dan tidak diperlakukan secara adil sebagai warga negara. Disrupsi keharmonisan kehidupan beragama akan sangat rentan terjadi dan dapat menimbulkan perpecahan bila tidak segara ditangani dengan proporsional.
Kemenkominfo patut diacungkan jempol karena mampu menutup 19 situs konten Islam tersebut walau cenderung bersikap reaktif dan gegabah tanpa melakukan penelusuran terlebih dahulu. Padahal, banyak situs yang memprograndakan radikalisme ideologi yang mengancam keamanan negara masih bertebaran dan lepas dari pengawasan badan keamanan negara.
Kampanye Melek Informasi
Situs daring sangat berkaitan dengan konten atau berita yang disajikan. Untuk melakukan penyaringan konten pemerintah tidak dapat melakukannya secara sendiri melainkan bekerja sama dengan masyarakat. Salah satunya dengan kampanye melek informasi.
Walaupun masyarakat di tanah air tergolong pengguna internet kedelapan terbesar di dunia, namun jumlah total 82 juta pengguna ini tidak sebanding dengan jumlah pengguna yang melek informasi.
Melek informasi dapat diartikan sebagai sebuah kondisi dimana seseorang dapat mengenali, memahami, mengevaluasi, serta menggunakan informasi sesuai dengan kebutuhannya. Tujuannya adalah menggunakan informasi tersebut untuk memecahkan masalah (problem solving) dalam kehidupannya sehari-hari.
Kampanye melek informasi dapat dimulai dengan menggandeng masyarakat pendidikan melalui sosialisasi tentang beragam jenis media yang ada di internet serta memahami karakteristiknya masing-masing. Dengan pengenalan dan pemahaman tentang media, siswa, guru dan masyarakat sekitar akan dengan mudah melakukan self-evaluation terhadap websites atau media daring lainnya dalam aktivitas daring. Lebih jauh lagi, masyarakat dapat diajak untuk bersikap kritis berinformasi.
Sikap kritis berinformasi dapat ditunjukkan dengan tidak mudah berbagi informasi yang beredar di Internet kecuali dengan melakukan cross check terlebih dahulu serta menimbang untung rugi atau manfaatdari berbagi informasi tersebut. Sehingga, informasi hoax tidak akan tersebar di tengah masyarakat dan dapat hilang dengan sendirinya. Pada akhirnya akan tercipta suasana aktivitas daring yang aman, nyaman dan menyenangkan. Semoga.[*]
*) Pegiat Lingkar Studi Cendikia (LSC) Inggris, mahasiswa program doktor di The University of York, United Kingdom.