Oleh: MH. Said Abdullah*
Salah satu program pemerintahan Jokowi berjargon membangun desa manata kota mulai bulan ini sudah terealisir. Tanpa gonjang-ganjing pengalokasian dana untuk desa, sudah dapat diterima desa sehingga pembangunan desa, dapat segera dimulai.
Presiden Jokowi konsekwen dan konsisten pada janji politiknya untuk memperhatikan desa melalui perwujudan pengalokasian dana desa. Desa yang selama ini praktis kurang tersentuh dan lebih banyak diperhatikan hanya pada saat ada moment politik, mulai mendapat perhatian serius pemerintah.
Berdasarkan data APBN tahun anggaran 2015, empat Kabupaten di Wilayah Madura mendapat alokasi dana desa sebesar sekitar Rp. 286,4 milyar. Dari dana desa itu Kabupaten Sumenep mendapat alokasi sekitar Rp 94,8 milyar, Kabupaten Bangkalan Rp 79,1 milyar, Kabupaten Sampang Rp 58,3 milyar, Pamekasan Rp 54 milyar.
Pencairan dana desa direncanakan tiga tahap. Pertama, dilakukan pencarian pada bulan April sekitar 40 persen, lalu bulan Agustus 30 persen, sisanya Oktober 30 persen.
Dengan langkah riil itu desa di seluruh Indonesia, khususnya di Madura diharapkan segera mengeliat bangkit menata dan berbenah diri. Jika selama ini praktis anggaran desa kurang jelas dan menjadi problem utama pembangunan desa, dengan pengalokasian dana relatif besar itu, tak ada lagi alasan aparat desa berdiam diri. Aparat desa dengan dana desa sudah dapat memulai melaksanakan pembangunan yang dapat meningkatkan taraf kehidupan masyarakat desa.
Harus diakui sempat banyak berkembang pertanyaan tentang kesiapan aparat desa dalam mengelola dan memanfaatkan dana besar itu. Terutama terkait mekanisme pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangannya mengingat dana desa merupakan uang negara, yang tentu memiliki aturan-aturan sesuai perundang-undangan. Ada kekhawatiran aparat desa tidak mampu mengelola dana desa sehingga pengalokasian dana jauh dari mencapai sasaran.
Ini bisa dipahami karena memang selama ini aparat desa praktis hampir tidak pernah mengelola uang dalam jumlah besar. Jadi kekhwatiran itu sah saja asal tidak sampai mewujud menjadi ketakutan atau kecurigaan. Jauh lebih baik jika kekhawatiran itu diaplikasikan dalam bentuk pengawasan serta masukan pada aparat desa.
Jika kekhawatiran diwujudkan dalam bentuk ketakutan jelas akan menjadi penghalang bagi pengembangan pembangunan desa. Rasa takut akan menciptakan keragu-raguan hingga desa akhirnya tak memiliki kemandirian berbenah diri. Desa kembali mengalami nasib seperti di masa lalu, hanya menjadi obyek dan bukan subyek yang berperan dalam meningkatkan kemampuan dirinya.
Dengan tetap dilakukan pengawasan dan bimbingan terutama dari aparat pemerintahan daerah, ini moment penting memberikan kesempatan pada desa dan seluruh aparatnya untuk belajar mandiri; belajar mengatasi persoalannya sendiri. Aparat desa tentu memahami dana itu merupakan amanah yang diperuntukkan sepenuhnya bagi pembangunan demi kesejahteraan warga desa.
Masyarakat desa yang berkepentingan dan mengetahui adanya dana desa diyakini tidak akan tinggal diam. Di era demokrasi seperti sekarang ini, ketika masyarakat makin melek informasi dan komunikasi, kesadaran serta keberanian mengawasi aparat desa, apalagi yang terkait kinerja keuangan sudah mulai tumbuh. Aparat desa rasanya menyadari bahwa warga desa akan terus mengawasi dan menuntut kinerjanya dalam mengelola dana desa. [*]
*) Anggota DPR RI, asal Madura.