SUMENEP – Akhir-akhir ini kehidupan para nelayan tradisional di perairan Sumenep benar-benar tragis. Selain harga bahan bakar minyak (BBM) naik, para nelayan tradisional setempat juga dihantui oleh kapal pukat harimau dan tehnologi bondet (bom ikan).
Terbukti, dalam kurun waktu selama tiga bulan terakhir, sebanyak 10 kasus yang telah berhasil diungkap oleh Dinas Kelautan dan Perikanan (DPK) setempat.
Berdasarkan informasi yang berhasil dihimpun Koran Madura, dari sepuluh kasus tersebut delapan diantaranya telah masuk ke ranah hukum. Adapun bentuk pelangaran yang dilanggar oleh nelayan, beraneka ragam, mulai dari pelanggaran administrasi, alat penangkap ikan sampai pemakaian bondet.
”Kasus itu kami temukan di berbagai daerah. Seperti Pulau Sapeken, Pulau Sapudi, Pulau Poteren, Perairan Bluto, Kalianget, Batu Putih, dan perairan wilayah Kecamatan Gapura. Tapi tindakan serupa hampir dilakukan di semua perairan di Sumenep,” kata Kabid Pengawasan dan Perlindungan usaha Perikanan DKP Sumenep, Nur Rachman.
Menurutnya, terungkapnya beberapa kasus tersebut akibat kerjasama yang baik diantara pemerintah dengan semua elemen. Salah satunya dengan Pokmaswas (Kelompok Masyarakat Pengawas), Mabes Polri, Ditpolair Polda Jatim dan Satpol Air Polres Sumenep. ”Jenis pelanggaran itu tidak hanya dilakukan oleh nelayan Sumenep, me-lainkan juga kerap dilakukan oleh nelayan di luar Sumenep,” ungkapnya.
Dia mencontohkan, kasus penangkapan yang terjadi pada Kamis (1/1) di Perairan Desa Talaga Kecamatan Nonggonong. KM Argo Bahari 20GT yang mengangkut 18 nelayan ditangkap Pokmaswas setempat karena menggunakan alat tangkap dengan alat bantu kompresor. Setelah didata, nelayan tersebut berasal dari Kepulauan Seribu.
”Selain karena memakai jaring yang dilarang, mereka juga tidak memiliki dokumen kelengkapan penangkapan ikan sesuai dengan aturan pemerintah,” katanya.
Lebih lanjut Rachman mengatakan, jaring yang tidak diperbolehkan digunakan oleh nelayan, seperti alat tangkap ikan jenis sarkak. Meskipun diirnya menegaskan jika tidak semua kasus yang telah dilakukan oleh nelayan harus berujung di meja hijau.
”Untuk memberikan sanksi, tentunya kami sangat berhati-hati. Karena tidak mungkin semua kasus itu masuk ke ranah hukum. Bukitnya, dari 10 kasus itu hanya 8 kusus saja yang masuk ke ranah hukum, sedangkan dua kasus lainnya dalam tahap pembinaan,” ungkapnya.
Menurutnya, pemberian sanksi tersebut dilihat dari segi pelanggaran yang telah dilakukan oleh nelayan tersebut. Jika bertentangan dengan aturan pemerintah, pihaknya memastikan akan diproses melalui jalur hukum. ”Kalau kesalahannya bertentangan dengan peraturan, pasti kami tindak tegas, kalau hanya melanggar secara norma, tentunya kami hanya memberikan pembinaan saja,” tukasnya.
(JUNAEDI/SYM)