Oleh: MH. Said Abdullah*
Dalam kunjungan resmi Badan Anggaran DPR RI memenuhi undangan Parlemen Jepang beberapa waktu lalu ada lintasan menarik yang mudah sekali ditemui di tengah aktivitas keseharian masyarakat Jepang. Pagi misalnya, terlihat dengan pakaian rapi masyarakat bergegas, berjalan cepat dengan sangat tertib menuju tempat kerja. Segalanya berjalan seakan mengikuti ritme musik bernada cepat. Tetap tertata berirama walau berlangsung sangat cepat.
Mendahului, memotong jalan orang lain, menerobos antrian sama sekali tak ada. Semua bergegas dan menghargai siapapun. Kesadaran bahwa semua orang juga ter-buru-buru, membuat semua orang bergerak cepat dengan tetap mentaati tata tertib, tidak mengganggu orang lain. Ego ingin cepat di sini secara manusiawi tumbuh. Tetapi ego diingatkan kesadaran pemahaman bahwa orang lain memiliki kepentingan sama.
Secara psikologi terpapar penerapan keseimbangan ego ketika berada di tengah komunitas sosial dalam wujud etos dan etis. Etos kerja sangat luar biasa. Masyarakat Jepang bekerja sangat keras kadang tanpa peduli waktu. Namun dalam proses kerja mereka membingkainya dengan etika yang wujud riilnya berbentuk ketaatan pada aturan sosial baik dalam bentuk hukum positif, maupun kebiasaan yang sudah berurat akar di tengah masyarakat.
Ekspresi ego atau kepentingan yang terwujud dalam etos dan etis itulah yang membawa Jepang, Korea, termasuk belakangan Cina pada kemajuan luar biasa. Semangat berkembang luar biasa sebagai ekspresi tuntutan persaingan di era modern ini. Namun persaingan keras tidak mendorong melabrak rambu-rambu sosial maupun hukum.
Semangat saja, tanpa ada bingkai hukum dan tertib sosial memang tak akan menghasilkan produktivitas. Yang terjadi justru kontra produktif akibat munculnya kekacauan, keributan, kesemrawutan. Dan secara logika sehat hampir mustahil sebuah produktivitas dapat dihasilkan dalam ketakjelasan atau ketaktertiban.
Ketika ego tak terkendali atau ketika ego justru me-ngalahkan akal sehat dan pikiran jernih ekspresi peri-laku manusia memiliki kecenderungan bersifat negatif dan kontra produktif. Kecenderungannya bisa tak peduli kepentingan orang lain bahkan sangat mungkin melab-rak hak-hak orang lain. Yang terjadi bukan persaingan berdasarkan mekanisme aturan tapi pertarungan bebas seperti di hutan belantara. Yang terpapar kanibalisme sosial ketika manusia saling membantai, saling menghabisi tanpa memberi kesempatan orang lain mengembangkan ekspresinya.
Masyarakat Jepang mampu mengembangkan proporsionalitas ego dan super ego dengan basis etika indah. Yang terwujud riil sebuah etos kerja luar biasa dengan tetap berjalan di rel etika, hukum positif serta sosial.
Seorang kawan pernah bercerita tentang sekelumit petani di Jepang. Usai panen petani Jepang meletakkan hasil panen di atas gerobak yang dikelompokkan sesuai kualitasnya. Di atasnya ditulis catatan harga serta tempat kecil berisi uang receh untuk kembalian. Petani kemudian pulang ke rumah untuk makan siang dan istirahat. Lalu sore hari, para petani mendatangi kembali tempat gerobak untuk mengambil uang hasil panen yang terjual. Tanpa ada sedikitpun yang berkurang. Buah terjual, uang hasil penjualan aman.
Luar biasa. Penjual dan pembeli bahkan tanpa perlu bertemu. Masyarakat pun tidak usil mengambil hasil panen petani. Tampak sekali keseimbangan etos, etika, moralitas dan ketaatan sosial tanpa perlu instrumen bernama pengawasan berlebihan. Pengawasan ada di internal masyarakat sendiri; ada di hatinya. [*]
*) Anggota DPR RI, asal Madura.