Sudah kita ketahui bersama, bahwa manusia memiliki banyak kecerdasan. Dengan berbagai kecerdasan yang ada dalam diri manusia, manusia memiliki tata ruang dan gerak yang secara eksplisit mampu memanusiakan manusia (Filusuf Drikarya: 1950).
Senada dengan itu, Howard Gardner juga lugas mengatakan, bahwa kecerdasan manusia terwujud dalam multiple intelegensia. Namun, permasalahan lama yang tak kunjung mereda dalam ranah pendidikan adalah kuranganya pengoptimalan berbagai kecerdasan tersebut. Meskipun telah tersedia berbagai pelajaran yang sedikit banyak memacu kecerdasan yang ada. Akan tetapi, sudah menjadi keniscayaan bahwa pendidikan Indonesia hanya mampu menyentuhnya saja.
Terbukti dengan adanya UN yang dulu dijadikan patokan “pintu keluar” bagi siswa di ra-nah sekolahan. Setidaknya telah menunjukkan bahwa pendidikan Indonesia hanya bertanggung jawab atas kecerdasan intelektual semata. Padahal sudah jelas dikatakan, bahwa ada banyak kecerdasan yang tertuang dalam diri manusia. Kecerdasan finansial, emosional, kinetik, spiritual dan lain sebagainya, merupkan bukti nyata akan kecerdasan yang dimiliki manusia. Sehingga ketika kepandaian seseorang hanya mengacu pada IQ yang didominasi logika matematika dan kebahasaan semata. Maka tentu, akan menyapih peran kecerdasaan yang lainnya.
Nah, lantaran adanya UN yang hanya berperan sebagai “pintu keluar kebebasan” dan justru menganaktirikan berbagai kecerdasan di atas. Setidaknya, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan memberikan kebijakan, agar kelulusan ditentukan melalui penilaian guru, moral dan instansi pendidikan. Sehingga hal tersebut tidak menyapih peran dan fungsi pembelajaran dalam pengoptimalan kecerdasan selama mengenyam bangku pendidikan. Selain itu, Moralitas yang terbangun dalam jiwa peserta didik setidaknya juga tidak ikut dianaktirikan.
Walaupun idealitasnya ini merupakan kebijakan yang sa-ngat menguntungkn bagi sebagian kalangan. Namun sudah menjadi keniscayaan, jika kebijakan tersebut juga sangat mengkhawatirkan dunia pendidikan Indonesia. Penurunan semangat belajar para siswa merupakan implikasi nyata yang tak bisa dielakkan. Sebab dalam kenyataanya mengatakan, bahwa ada seorang kepala sekolah yang mulai resah dan gundah karena banyak siswa didiknya yang mengabaikan pembelajarannya (Kompas, 26/01/ 2015).
Implikasi
Terlepas dari efek yang ditempuh diatas, setidaknya kebijakan tersebut juga tidak menutup kemungkinan akan ada kongkalikong dari pihak-pihak sekolah. Yang pihak-pihak tersebut, secara sadar akan meluluskan seluruh anak didiknya. Logika sederhananya, ketika kelulusan ditentukan oleh sekolah. Maka sekolah juga tidak mau rugi mengenai kelulusan anak didiknya.
Sebab sudah menjadi rahasia umum, ujian nasional merupakan salah satu upaya dalam pemetaan nasional. Sehingga hajatan inilah, yang selalu saja dijadikan tolok ukur dalam penentu kelulusan. Dan dari hal ini, yang setidaknya juga dijadikan pedoman oleh khalayak umum dalam memilih sekolah yang kompeten. Realitas itu, senada dengan pendapat Mantan Wakil Presiden Indonesia, yang menganalogikan UN sebagai prinsip dagang.
Dengan kata lain, siswa diibaratkan sebagai produk dagang. Lebih lanjutnya, ketika hasil UN tidak sesuai dengan standarisasi yang telah ditentukan. Maka bisa ditarik benang merah, bahwa produk tersebut menuai kecacatan. Hal ini tak lain karena UN dipandang ha-nya sebagai penentu kelulusan semata. Sehingga, tak ayal ketika banyak peserta didik yang dirugikan di dalamnya.
Nah, dari adanya realitas inilah, yang setidaknya memberikan tanggapan berbeda dari banyak kalangan. Alhasil, “dilema” merupakan ungkapan nyata akan wajah pendidikan Indonesia. Sebab, ketika mengacu pada permasalahan pendidikan yang semakin kompleks. Maka hal tersebut tentu berdampingan erat terhadap dampak yang akan ditimbulkan.
Begitupun, terlepas dari konteks UN sebagai kelulusan, dan beralih pada kejujuran sekolah. Maka, implikasi diatas merupakan kenyataan yang harus dite-rima oleh bangsa Indonesia. Namun, ketika kebanyakan sekolah melakukan hal di atas. Maka, implikasi yang dihadapi bangsa Indonesia akan semakin pelik. Sebab, tidak menutup kemungkinan justru perubahan wajah UN hanya akan mematikan Negara Indonesia.
Hal ini tak lain karena me-ngacu pada estafet kepemimpinan bangsa. Yang secara kompatibel, tentu akan dilanjutkan oleh generasi muda. Oleh sebab itu, melihat dampak yang sangat signifikan bagi kehidupan berbangsa dan bernegara ke depan-nya. Maka, sangat diperlukan kejujuran sekolah dalam menentukan kelulusan peserta didik.
Untuk itu, diperlukan sentuhan lebih dalam pengaplikasiannya. Dengan kata lain, setidak-nya diperlukan standarisasi yang layak dalam acuan kelulusan tersebut. Sehingga, hal ini tidak berdampak pada degradasi kualitas pendidikan Indonesia. Sama halnya dengan itu, selain pemerintah harus mewaspadai akibat yang akan ditimbulkan di atas. Pemerintah juga harus mewaspadai akibat yang akan terjadi pada generasi bangsa.
Maka dari itu, untuk mewaspadai berbagai kecurangan yang akan terjadi. Setidaknya peme-rintah harus campur tangan dalam mewarnai kebijakan baru tersebut. Idealitas ini, berkaca pada sejarah silam yang me-nunjukkan ketumpang tindihan problematika UN. Lain hal de-ngan itu, sungguh sangat menghawatirkan ketika dampak buruk kebijakan UN akan menggejala di ranah pendidikan Indonesia.
Sebab, demi meningkatkan peringkat sekolah, tentu berbagai pihak akan menghalalkan segala cara agar sekolah tersebut bisa dipandang excellent bagi seluruh kalangan. Begitupun, dalam konteks kekinian, sudah manjadi hukum kausalitas, jika kejujuran sangat mahal harganya.
UN telah selesai, tentu semua sepakat, jika keberhasilan kebijakan tersebut dielu-elukan oleh seluruh kalangan. Apalagi, jika berpacu pada tujuan UUD 1945, maka kecerdasan bangsa merupakan tujuan paling utama. Semoga di UN tahun ini mampu mengembalikan khitah pendidikan yang sesungguhnya. Wallahu a’lam bi al-sowab. [*]
Oleh: Moh Nurul Huda
Ketua Umum Kajian Kelompok Fakultas (KKF) UIN Walisongo Semarang