Sejak dulu kala, bangsa Indonesia dikenal sebagai bangsa yang ramah dan penuh toleransi terhadap perbedaan. Jauh sebelum Indonesia menjadi nama sebuah negara, para pendahulu negeri ini sudah menemukan konsep Bhinneka Tunggal Ika, konsep yang hingga kini dipakai sebagai semboyan negara.
Sayangnya, dewasa ini gelar sebagai penghormatan keberagaman tersebut sudah memudar. Berbagai tindakan intoleran terhadap orang yang berbeda keyakinan kerap dipertontonkan oleh bangsa Indonesia, seperti tindak intoleran terhadap Ahmadiyah dan terhadap Syi’ah Sampang. Ironisnya, sistem pendidikan nasional yang diharapkan mampu meredam gejolak gerakan intoleran tersebut, justru melegitimasi bahkan mempraktikkan tindakan into-leran.
Sejak awal dekade 1990-an praksis pendidikan nasional kita mulai terjebak pada formalisasi agama. Kecenderungan formalisasi agama dalam pendidikan nasional ini bermula dari keluarnya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU SPN) yang dalam penjelasan pasal 28 ayat (2) menyatakan bahwa, “Tenaga pengajar pendidikan agama harus beragama sesuai dengan agama yang diajarkan dan agama peserta didik yang bersangkutan.” Embrio formalisasi agama dalam pendidikan nasional tersebut kemudian secara resmi dimulai pada tahun 1999 de-ngan munculnya Surat Keputusan Bersama (SKB) antara Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Juwono Sudarsono) dan Menteri Agama (A. Malik Fadjar) Nomor 4/U/SKB/1999 dan Nomor 570 Tahun 1999, yang kemudian ditindaklanjuti dengan Keputusan Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah Departemen Pendi-dikan dan Kebudayaan (Indra Jati Sidi) yang mengatur tentang kewajiban siswa mengikuti pelajaran agama sesuai dengan agama yang dianut oleh siswa.
Jika dilihat sepintas, terkesan kebijakan tersebut memang sah-sah saja dan tidak melanggar prinsip kebinekaan. Namun, dalam implementasinya, kebijakan tersebut telah memaksa para penyelenggara pendidikan, khususnya yang berada dalam naungan lembaga pendidikan swasta berlebel agama, abai terhadap toleransi beragama. De-ngan diterapkannya kebijakan tersebut, praktis mereka pun di tuntut untuk menyediakan guru yang beragama beda. Karena ini cukup merepotkan, tidak ayal kemudian mereka lebih memilih membatasi diri dalam menerima siswa baru, dengan hanya menerima calon siswa yang beragama sesuai dengan misi lembaga mereka. Atau membolehkan calon siswa yang berlainan keyakinan masuk dengan syarat menandatangi perjanjian untuk bersedia mengikuti pelajaran agama sesuai dengan agama yang dikembangkan oleh lembaga pendidikan tersebut. Dengan demikian, tidak berlebihan kiranya jika dikatakan bahwa diterapkannya kebijakan tersebut adalah titik awal pengkotakan siswa berdasarkan agamanya.
Empat tahun kemudian, bukannya dievaluasi, kebijakan formalisasi agama dalam pendidikan nasional itu justru semakin mendapatkan legitimasi dengan dikeluarkannya UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU SPN) sebagai pengganti terhadap UU SPN Tahun 1989. Dalam butir (a) ayat (1) Pasal 12 UU Nomor 20/2003 secara tegas menyatakan bahwa “setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama”. Bunyi pasal ini mirip dengan penjelasan (UU SPN) pasal 28 ayat (2) tahun 1989, tetapi di sini ia lebih dikuatkan dengan ditarik menjadi pasal tersendiri. Maka, secara otomatis legitimasinya pun lebih tinggi dibandingkan dengan sekadar menjadi penjelasan. Alhasil, banyak lembaga pendidikan swasta berlebel agama, bukan bermaksud menafikan sikap lembaga pendidikan negri yang bahkan tak jarang lebih eksklusif—menjadi sema-kin eksklusif.
Eksklusifitas dalam penerimaan siswa baru tersebut tentu akan menimbulkan efek yang kurang mengenakkan terhadap laju perkembangan sikap to-leransi bangsa ke depan. Jika eksklusifitas ini tetap dibiarkan berjalan terus, tidak menutup kemungkinan berbagai cerita buruk tentang intoleransi agama akan semakin sering kita dengar di bumi pertiwi ini. Pasalnya eksklusifitas tersebut akan segera berpengaruh terhadap relasi sosial yang dibangun oleh para siswa di sekolah. Dengan sikap ekslusif lembaga pendidikan tersebut, para siswa kemudian hanya bergaul dengan orang-orang yang seagama. Padahal intensitas pertemuan dan pergulan dengan orang yang berlainan agama itu sangat berpengaruh terhadap sikap to-leransi kita dalam menyikapi keberbedaan.
Formalisasi agama dalam praksis pendidikan nasional juga kerap kita temukan dalam salam perjumpaan dan cara berdoa saat proses belajar me-ngajar. Salam perjumpaan yang digunakan biasanya adalah ung-kapan salam keagamaan dari para siswa mayoritas, demikian pula dengan cara berdoa. Padahal belum tentu dalam satu kelas itu memiliki cara salam dan doa yang sama semua. Alhasil, siswa yang beragama minoritas di lingkungan yang demikian pun menjadi termarginalkan.
Fenomena intoleran dalam praksis pendidikan nasional tersebut tentu tidak boleh didiamkan begitu saja, jika masih mengharapkan pendidikan kita dapat melahirkan orang-orang yang berjiwa inklusif. Praktik-praktik intoleran dalam lembaga-lembaga pendidikan ini harus segera ditanggulangi. Mengingat pendidikan merupakan sarana paling tajam yang mampu membuka mata bangsa Indonesia secara luas. Tentunya, ini yang harus dilakukan pertama-tama oleh pemerintah, dalam hal ini kementerian pendidikan dan kebudayaan. Akan tetapi, tanggung jawab adalah bagi bangsa Indonesia secara keseluruhan. [*]
Oleh: Darmadi
Praktisi pendidikan. Pemerhati sosial, budaya, dan politik. Tinggal di Lampung Tengah.