Oleh: Muhammad Ali Fuadi*
Kondisi mencengangkan kini hadir di tengah-tengah pendidikan tingkat Sekolah Dasar (SD). Pasalnya, kebutuhan akan guru atau pengajar di tingkat SD belum dipikirkan secara lebih baik oleh pemerintah. Sulistyo, Ketua Umum Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) secara eksplisit menjelaskan bahwa kekurangan guru di tingkat SD kini mencapai 400 ribu orang di seluruh kawasan nusantara. Terlebih, lanjut Sulistyo, jumlah guru di tingkat SD yang mendekati masa pensiun semakin besar, baik guru kelas, guru agama, maupun guru olahraga. (Republika, 20/03/15)
Sudah tentu, ini membutuhkan perhatian pemerintah demi memajukan pendidikan di Indonesia. Kita semua sadar bahwa pendidikan di tingkat dasar merupakan pendidikan terpen-ting bagi siswa. Selain memacu siswa untuk belajar menulis, membaca, serta berhitung, pendidikan di tingkat SD juga bertanggung jawab besar bagi masa depan anak didik, terutama dalam rangka mengantarkan siswa melanjutkan pendidikan ke jenjang berikutnya. Karena itu, pemerintah harus menyi-apkan pahlawan tanpa tanda jasa (baca; guru) lebih banyak lagi untuk merawat siswa di tingkat SD, melihat rendahnya kuantitas guru SD yang tersebar di seluruh tanah air.
Guru Honorer Sejahtera?
Selama ini pemerintah telah salah kaprah menilai jumlah guru di tingkat SD sangat ba-nyak bahkan berlebih. Perlu diketahui—menurut penjelasan Sulistyo—bahwa jumlah guru yang dianggap sangat banyak atau berlebih oleh pemerintah me-rupakan tenaga kerja honorer. Lebih ironis, eksistensi mereka seperti dinihilkan oleh pemerintah, sehingga tidak sedikit guru honorer belum sejahtera akibat ketidakjelasan status kepegawaian serta penghasilan yang masih jauh dikatakan layak. Hal ini yang mengundang Sulistyo menemui Wakil Presiden Jusuf Kalla untuk mengklarifikasi data jumlah guru yang ada di Indonesia pada Kamis (19/03) lalu.
Karena itu, pemerintah harus lebih bersikap bijak dalam rangka mengatasi persoalan guru honorer. Perlu diketahui pula, permasalahan mendasar terhadap minimnya jumlah guru SD di Indonesia terletak pada kurang tepatnya mekanisme seleksi Calon Pegawai Negeri Sipil (PNS). Pemerintah justru mendahulukan orang-orang yang dekat dengan kekuasaan dalam seleksi Calon PNS, akan tetapi bagi guru honorer tidak demikian, padahal kualitas yang dimiliki guru honorer tidak kalah dibandingkan guru PNS pada umumnya.
Perlu diingat, guru honorer merupakan pahlawan tanpa tanda jasa yang berjuang besar dalam pendidikan di Indonesia. Sudah selayaknya pemerintah sedikit memberikan angin segar kepada mereka, salah satu caranya yakni mendahulukan mereka ketika seleksi Calon PNS diadakan. Atau dengan cara lain, pemerintah juga memacu mereka secara terus-menerus untuk meningkatkan loyalitas dan dedikasi tinggi dalam perjuangan mengajar siswa. Apabila mereka telah terbukti me-lakukan tugasnya dengan baik, pemerintah dapat mengangkat mereka sebagai pegawai negeri sipil (PNS) secara bertahap.
Hal ini sangat perlu dilakukan demi menyejahterakan pahlawan tanpa tanda jasa yang selama ini berjihad melalui perjuangan mengajar siswa. Di Dalam Undang-Undang (UU) Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen pun juga dijelaskan demikian. Jadi tidak ada alasan buat pemerintah untuk menghindar dari tugas menyelesaikan problema kekurangan guru di Indonesia terutama guru SD yang saat ini—dikatakan—dalam keadaan gawat darurat.
Selain mengoptimalkan guru honorer, dalam rangka mengatasi ‘kelangkaan’ guru SD, pemerintah harus berijtihad melakukan berbagai cara. Di antaranya dengan cara memberikan beasiswa kepada lulusan SMA atau sederajat untuk melanjutkan ke perguruan tinggi, khususnya dalam bidang Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD). Sebab, dewasa ini tidak banyak pelajar yang melirik bidang studi tersebut. Hal ini sangat perlu dilakukan guna mempersiapkan tenaga pengajar muda untuk menggantikan peran para guru yang telah mendekati masa pensiun.
Urgensi Kualitas Guru
Dalam pendidikan, guru merupakan sarana utama dan yang paling utama dibandingkan dengan yang lain. Figur yang satu ini selalu menjadi sorotan strategis dalam dunia pendidikan karena perannya yang sangat urgen. Tanpa guru, murid tidak akan mendapatkan pelajaran secara lebih baik. Meskipun dapat belajar sendiri, akan tetapi hasilnya tidak seperti ketika ada yang mengarahkan, yakni guru. Apalagi dalam konteks pendidikan di tingkat SD, yang sudah pasti membutuhkan seorang guru.
Mengutip pernyataan Djuju Sudjana (1996) dalam “human capital theory” bahwa manusia—dalam konteks ini adalah guru—merupakan sumber daya paling utama yang berperan sebagai subjek terdepan, baik dalam rangka meningkatkan kualitas pribadi maupun memanfaatkan dan melestarikan lingkungan di sekitarnya, termasuk anak didik. Berdasarkan teori yang dikemukakan di atas, dapat diambil benang merahnya bahwa guru merupakan sarana utama dalam pendidikan. Sudah tentu, merupakan guru yang berilmu pengetahuan serta memiliki keterampilan tinggi.
Karena itu, guru dituntut untuk pintar atau memiliki kualitas yang memadai, dan terpenting tidak menyesatkan anak didik. Selama ini banyak pengajar yang masih belum sempurna atau belum mapan keilmuannya. Bahkan ketika mengajarkan suatu pelajaran kepada muridnya, penyampaian materinya masih bersifat doktriner, belum mengajarkan secara rasional. Ini sangat berbahaya bagi kehidupan anak didik atau siswa ke depannya.
Melihat pentingnya pendidikan terutama di tingkat dasar, pemerintah harus selalu memacu guru SD untuk memperdalam ilmu pengetahuan. Selain kuantitas, kualitas pendidik sangat penting demi perkembangan keilmuan anak didik. Dengan demikian pemerintah perlu berjihad memajukan pendidikan di Indonesia melalui peningkatan kualitas guru. Semoga pendidikan Indonesia semakin bertambah maju dan mencerdaskan. Wallahu a’lam bi al-shawab. [*]
*) Peneliti di LPM IDEA Fakultas Ushuluddin UIN Walisongo Semarang