
JAKARTA – Bandung merupakan kota yang bersejarah bagi bangsa-bangsa di kawasan Asia dan Afrika. Dari kota tersebut, pada 1955, para pemimpin 23 negara Asia dan enam negara Afrika pulang ke negaranya masing-masing dengan kepercayaan diri yang membuncah.
Kini, 60 tahun kemudian, para pemimpin bangsa-bangsa Asia dan Afrika akan kembali berkumpul. Bandung, pada 2015, akan kembali menjadi kota bersejarah bagi bangsa-bangsa di Asia dan Afrika.
Sebenarnya, apa arti penting pelaksanaan Konferensi Asia Afrika 2015 yang akan diselenggarakan di Bandung dan Jakarta? Kemajuan apa yang sudah dilakukan oleh bangsa Asia-Afrika setelah 60 tahun? “Associate Director Paramadina Graduate School” Abdul Malik Gismar mengatakan kondisi bangsa-bangsa Asia-Afrika saat ini masih jauh dari apa yang dicita-citakan di Bandung pada 1955.
“Masih banyak perang, terorisme, konflik etnik maupun agama, kemiskinan, virus HIV/AIDS dan ebola, bahkan jutaan orang meninggal karena malaria dan tuberkolosis akibat masih rendahnya layanan kesehatan dasar,” kata Malik Gismar.
Malik mengatakan pada saat berkumpul di Bandung pada 1955, para pemimpin bangsa-bangsa Asia-Afrika memang pulang dengan penuh percaya diri. Namun, semangat yang lahir saat itu tidak ditindaklanjuti baik di negara sendiri maupun di tingkat bilateral dan regional.
Namun, Malik mengatakan Bandung 1955 tetap merupakan sejarah bagi bangsa-bangsa Asia-Afrika karena pada saat itu mereka berani mendeklarasikan diri sebagai suatu kekuataan yang terlepas dari dua blok politik terbesar saat itu, yaitu Amerika Serikat dan Uni Soviet.
Para pemimpin Asia-Afrika yang berkumpul saat itu berusaha mencari modalitas hidup baru. Berusaha membentuk tata dunia baru. Menurut mereka, dunia tidak boleh, dan tidak bisa, hanya ditata oleh kemauan Amerika Serikat dan Uni Soviet.
Gegap gempita Bandung pada 1955 bahkan sempat dicatat oleh seorang jurnalis Afro-Amerika, Richard Wright sebagai “kesadaran kelas, rasial dan agama dalam skala global” oleh bangsa-bangsa yang saat itu dianggap “underdog”.
Lalu apa peran Indonesia saat itu? Malik mengatakan sekalipun saat itu Presiden Sukarno tidak melakukan apa-apa dan tidak memiliki karisma, Indonesia sudah pasti menjadi pemimpin bagi bangsa-bangsa Asia Afrika.
“Pada saat itu, Indonesia adalah negara yang pertama kali keluar dari imperialisme yang kemerdekaannya diperoleh melalui perjuangan. Tanpa melakukan apa pun, Soekarno sudah menjadi pemimpin,” tuturnya.
Dunia Tunggu Indonesia Malik mengatakan hingga saat ini bangsa Asia-Afrika, bahkan dunia, menunggu Indonesia untuk berperan lebih besar di dunia internasional.
“Di saat negara-negara miskin di Asia dan Afrika tidak bisa bersuara, mereka berharap ada ‘leading voice’ dari Indonesia. Kesempatan untuk memimpin dimiliki oleh Indonesia,” katanya.
Karena itu, Malik menilai Konferensi Asia Afrika 2015 merupakan kesempatan bagi Indonesia untuk tampil sebagai satu kekuatan penting untuk memimpin negara-negara dunia ketiga untuk maju dan melawan hegemoni dari Barat.
Namun, bisakah Indonesia tampil menjadi pemimpin? Malik mengatakan kepemimpinan Indonesia sangat ditentukan oleh kredibilitas di dalam negeri.
“Bagaimana kita bisa berbicara gagah kalau tenaga kerja kita masih banyak di Malaysia, terlibat kriminal. Kondisi ekonomi makro kita memang terlihat gagah, tetapi masih banyak masalah di dalam. Politik luar negeri kita pun belum bisa menjalankan hal-hal yang prinsipil, misalnya dalam kasus hukuman mati di Arab Saudi,” tuturnya.
Dalam hal kepemimpinan di dalam negeri pun, Malik menilai Presiden Joko Widodo kurang mampu mencerminkan kewibawaan seorang presiden. Apalagi di tingkat internasional, dunia sebenarnya menunggu pernyataan pemimpin Indonesia dalam banyak hal, misalnya islamofobia dan konflik di Timur Tengah.
“Namun, selama ini Presiden Jokowi belum berbicara apa pun mengenai hal itu,” ujarnya.
Karena itu, untuk bisa tampil menjadi pemimpin di tingkat internasional, Indonesia harus berani untuk mengajukan klaim. Namun klaim tersebut memerlukan kapasitas dan modal.
“Apalagi, saat ini sudah banyak negara-negara, yang pada 1955 berada di bawah Indonesia, saat ini sudah lebih maju dan berada di atas kita. Tidak perlu negara-negara jauh, Malaysia, Singapura bahkan Vietnam dalam beberapa hal lebih maju dibandingkan Indonesia,” katanya.
Kurang berperan di Afrika Sementara itu, Ketua Program Studi Hubungan Internasional Universitas Diponegoro Semarang Tri Cahya Utama mengatakan Indonesia masih kurang berperan di kawasan Afrika sehingga mempersulit hubungan dengan kawasan Asia.
“Sebenarnya, apa yang terjadi di Indonesia bisa menjadi contoh dan model dalam hal demokrasi, hak asasi manusia dan ekonomi bagi negara-negara Afrika dan Asia,” kata Tri Cahya Utama dihubungi di Jakarta, Minggu (19/4).
Tri mengatakan masih banyak negara berkembang yang melakukan pembatasan politik untuk mengembangkan perekonomiannya. Hal itu pun dilakukan Indonesia di masa Orde Baru. Namun, setelah reformasi 1999, pembatasan politik di Indonesia telah dihapuskan. Demokrasi politik dan pengakuan hak asasi manusia bisa berjalan beriringan dengan perkembangan ekonomi.
“Sebagai tuan rumah, Indonesia bisa menunjukkan itu pada Konferensi Asia Afrika 2015. Delegasi yang hadir pun bisa melihat sendiri,” tuturnya.
Selain itu, sebagai negara dengan populasi umat Islam terbesar di dunia, Tri mengatakan Indonesia juga bisa menjadi contoh bagi negara lain. Indonesia bisa menunjukan diri sebagai Islam moderat.
“Di saat negara-negara lain berkonflik karena agama dan sekte, umat Islam di Indonesia bisa hidup berdemokrasi dengan kemajuan ekonomi dan kebebasan berpendapat,” katanya.
Tri mengatakan Indonesia juga bisa menunjukkan bahwa di dalam negeri tidak terjadi konflik antarsekte sebagaimana terjadi di Timur Tengah.
“Apa yang kita miliki ini bisa menjadi modal dan contoh yang berguna bagi negara Asia-Afrika lainnya,” tuturnya.
Gagasan Orisinal Guru besar hukum internasional Universitas Indonesia Jakarta Prof Hikmahanto Juwana mengatakan Indonesia harus bisa mengajukan gagasan yang orisinal pada Konferensi Asia Afrika 2015 yang didasari oleh Dasasila Bandung.
“Indonesia merupakan penggagas Konferensi Asia Afrika 1955. Kini, Indonesia juga harus bisa memberikan gagasan orisinal bagi bangsa-bangsa Asia-Afrika,” katanya.
Gagasan pertama adalah bagaimana mewujudkan nilai-nilai dari Asia dan Afrika bisa menjadi nilai-nilai universal. Sebab, nilai-nilai universal saat ini lebih banyak didominasi oleh tradisi Barat, yaitu Eropa, Amerika Serikat dan Australia.
“Nilai-nilai dari Asia-Afrika selama ini masih kurang. Kesamaan nilai di antara negara Asia-Afrika bisa digali dan disumbangkan untuk menjadi nilai yang universal,” tuturnya.
Karena kurangnya nilai universal yang berasal dari Asia-Afrika, Hikmahanto mengatakan berakibat pada generasi muda saat ini, di belahan dunia mana pun, cenderung mengadopsi nilai Barat.
Indonesia juga bisa mengajukan gagasan agar permasalahan di kawasan Asia-Afrika harus mampu diselesaikan oleh bangsa Asia-Afrika sendiri tanpa intervensi Barat.
“Selama ini, banyak konflik di Asia-Afrika yang berdampak internasional, tidak bisa diselesaikan sendiri oleh bangsa Asia-Afrika. Indonesia bisa mengajukan semangat Dasasila Bandung supaya negara-negara Asia-Afrika bisa menyelesaikan sendiri masalahnya,” katanya.
Selain itu, Indonesia juga harus menggagas semangat bangsa Asia-Afrika untuk lepas dari ketergantungan lembaga ekonomi Barat. Bila memungkinkan, bangsa Asia-Afrika bisa membentuk sendiri lembaga keuangan untuk membantu negara-negara anggotanya menyelesaikan masalah ekonominya.
“Bila masih tergantung dengan ekonomi Barat, bangsa Asia-Afrika tidak akan bisa benar-benar merdeka. Seandainya bisa bebas akan sangat luar biasa,” tuturnya.
Hikmahanto mengatakan sebelumnya Bank Dunia dibentuk untuk merekonstruksi kembali Eropa setelah Perang Dunia II. Setelah itu, Eropa secara ekonomi bisa bersaing dengan Amerika Serikat.
“Namun, mengapa ketika Bank Dunia membantu negara-negara Asia-Afrika, mereka tetap tidak bisa bersaing dengan Eropa dan Amerika Serikat?” tanyanya.
(ANT/DEWANTO SAMODRO)