

BALI – Begitu sampai di halaman yang tak terlalu lebar itu akan terlihat jelas patung Bung Karno berdiri gagah. Sebab selain ukurannya hampir tiga kali ukuran manusia sesunggunya, patung ini terletak di lantai dua bangunan yang memiliki total lima lantai. Begitu gerbang dibuka, langsung serasa berada di bawah lembar teks proklamasi yang sedang Beliau baca.
Bila pernah melihat patung Bung Karno dan Bung Hatta di Jalan Merdeka Barat Jakarta, seperti itulah bentuknya. Namun patung Bung Karno di museum ini tak ditemani Bung Hatta.
Selain itu, hal menakjubkan di halaman yang tak terlalu luas ini adalah Mobil Mercy hitam sisa jaman kemerdekaan. Konon, menurut Bagus Marhaen, Direktur Pengelola museum, Bung Karno pernah menggunakan mobil ini. Sayangnya, mobil ini tidak terawat dengan baik. Selain banyak debu di sekujur bodinya, ban mobil ini tampak kempes.
Nah, tepat di belakang mobil terdapat pintu masuk ke dalam ruang lantai dasar musium. Begitu masuk, rak buku berderat rapi di sebelah kiri dan kanan ruangan. Dokumen-dokumen tersebut semuanya adalah hal yang berkaitan dengan Bung Karno. Mulai dari sejarah pemikiran, karya, surat kabar hingga buku-buku beraliran kiri yang mempengaruhi pemikirannya. Buku-buku itu tersimpan rapi dan selamat hingga saat ini, padahal dahulu saat masa orde baru, buku-buku sejenis itu diburu tiada ampun oleh penguasa untuk dimusnahkan.
Di tengah ruangan ini terbujur meja panjang layaknya meja untuk pertemuan para pejuang masa kemerdekaan. Bagus mengatakan, itu sengaja ia letakkan di situ agar bisa dimanfaatkan pengunjung yang ingin membaca dokumen-dokumen yang ada di situ.
Selain buku, sudut-sudut di ruangan ini dipenuhi relief atau batu yang di atasnya dipahat kutipan-kutipan kata bijaksana yang pernah dikatakan atau ditulis oleh Bung Karno. Di antaranya, kutipan kata-kata Bung Karno soal buku.
“Membatja adalah corong cerdas mengetahui perdjlanan dunia sebagai sokoguru sedjarah pengetahuan, untuk menjdadi bangsa jang besar, bangsa jang hebat, dan bangsa jang dihormati,” begitulah kutipan itu tertulis lengkap dengan gambar Bung Karno saat membaca di perpustakaan yang juga dipahatkan di atas batu tersebut.
Sementara itu di lantai dua, suasana tampak lebih magis. Sebab seluruh dinding di ruangan ini tidak dilapisi dengan semen. Batu bata merah yang menjadi bahan dasarnya dibiarkan telanjang begitu saja. Lampu agak temaram sepertinya sengaja dipasanag untuk menambah suasana magis makin terasa. Di ruangan ini, terdapat sebuah televisi kecil sekitar 6 inci. Selain itu ada juga radio yang tak kalah antiknya. Bentuknya hampir persegi empat sejajar dengan ukuran dua kali lipat kaleng kue. Itulah rupanya benda-benda yang digunakan Bung Karno untuk mengetahui informasi dalam maupun laur negeri pada jaman dahulu.
Bila masuk lebih jauh ke dalam ruangan ini, kita akan melihat sebuah sepeda ontel yang menurut Bagus Marhaen pernah digunakan Bung Karno. Sepeda ini lumayan bagus bila diukur dari umurnya yang mungkin lebih dari setengah abad.
Yang paling menakjubkan, di ruangan ini juga terdapat sebuah mesin jahit tua yang masih lengkap dengan tudung penutup mesin intinya. Di tudung tersebut tertera merk Singer. Konon, inilah mesin jahit yang digunakan oleh Istri Bung Karno, Fatmawati untuk menjahit Bendera Pusaka Merah Putih pertama kali.
Di dinding tepat di belakang mesin ini terdapat lukisan besar ibu Fatmawati sedang tersenyum. Seakan sedang menunjukkan semangat menggebu, sekali pun dalam keadaan yang sangat terbatas. Tak terbayangkan, seorang ibu negara menjahit sendiri bendera untuk bangsa yang sedang ia bangun bersama sang suami, Bung Karno.
Seperti di lantai dasar, ruangan ini juga dipenuhi relief-relief lukisan dan kata-kata bijak serta dokumen-dokumen penting yang ditulis Bung Karno. “Kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi di masa mendatang terhadap negeri ini. Bisa terus maju, bisa runtuh atau musnah sama sekali. Dan bila itu terjadi, batu-batu inilah yang akan menyelamatkan spirit, pemikiran dan jiwa besar seorang Soekarno” ujar Bagus penuh semangat.
Hal yang nyaris sama juga banyak bertebaran di lantai tiga dan empat. Bahkan di lantai empat terdapat sebuah ranjang dipan yang konon digunakan Bung Karno saat berada di Penjara Sukamiskin. Masih cukup bagus sekalipun belum dirapikan. Tidak ada kasur apalagi seprai. Lain dari itu, di ruangan yang sebenarnya masih dalam tahap penyelesaian ini dibuat bak mandi khas yang cukup lebar. Konon bak mandi ini dibuat karena Soekarno sangat menyukai bak mandi yang sedianya berada di tengah hutan atau alam terbuka ini.
Di ruangan ini pula terdapat batu keramik besar yang di atasnya dipahat Dedicate of Life Bung Karno yang terkenal itu.
“Ruangan ini belum selesai, tapi ada hal lain yang saya rencanakan namun sama sekali belum saya mulai. Yakni miniatur tempat-tempat ibadah di lantai lima. Di sana akan saya buat miniatur Masjid Istiqlal, Miniatur Borobudur, Gereja, dan semua tempat ibadah agama yang ada di negeri ini,” terangnya.
Menurutnya, itu perlu ada di Museum Agung Bung Karno ini untuk menyampaikan pesan dan semangat Soekarno tentang kebhinnekaan dan pentingnya hidup rukun.
Banyak hal yang membuat Agus sangat mencintai dan mendorongnya untuk membangun dan merawat museum ini. Bahkan sekalipun ia harus merogoh kocek cukup dalam. “Ini saya bangun bersama ayah saya dengan keringat sendiri. Bila dikalkulasi hingga saat ini kurang lebih Rp 56 miliar sudah saya habiskan untuk ini semua. Dan mungkin akan mencapai Rp 60 miliar hingga tuntas kelak,” tuturnya.
Satu hal yang membuat Bagus kecewa tentang sejarah Bung Karno, yakni hilangnya nama Jalan Pegangsaan Timur yang dulu menjadi tempat diproklamirkannya kemerdekaan negeri ini. Bagus menyatakan kekecewaannya dengan muka memerah dan dengan suara cukup keras seakan marahnya sudah benar-benar memuncak. “Ini bagian dari sejarah yang sengaja dibiarkan hilang. Dan karenanyalah jalan di musium ini saya namakan Jl. Pegangsaan Timur” cetusnya.
Ia berharap, spirit dan jiwa besar Bung Karno diwarisi oleh generasi-generasi muda penerus bangsa. Terutama tentang bagaiman mengedepankan kepentingan bersama dan bangsa daripada kepentingan pribadi dan kelompok. “Lebih baik aku yang tenggelam, daripada bangsa ini harus tercerai berai” ucap Bagus menirukan ungkapan Bung Karno.
(OBETH)