
JAKARTA – Dalam tiga pekan terakhir, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat bergerak tidak jauh-jauh dari level Rp 13 ribu per dolar AS.
Level tersebut kurang lebih melemah sekitar Rp 500,00/dolar AS dibandingkan asumsi nilai tukar Rp 12.500,00/dolar AS yang dianggap lebih mencerminkan Undang-Undang tentang Perubahan atas UU tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tahun Anggaran 2015–lebih populer dengan singkatan APBN-P 2015.
Berdasarkan data Kurs Referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR), rupiah sempat menyentuh Rp13.237,00/dolar AS pada pertengahan Maret 2015, kemudian menguat sedikit di bawah Rp13 ribu/dolar AS dan melemah kembali hingga ditutup menguat pada level Rp12.995,00/dolar AS pada hari Jumat (3/5).
Bank Indonesia (BI) selaku otoritas moneter mengakui pelemahan nilai tukar rupiah saat ini memang sudah berlebihan di bawah level fundamentalnya (under value) yang disebabkan faktor eksternal dan juga internal “Kalau ditanya apakah pelemahannya sudah ‘under value’, memang iya. Mata uang kita melemahnya sebenarnya sudah berlebihan juga,” kata Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Mirza Adityaswara.
Adapun faktor eksternal yang membuat rupiah terdepresiasi, yakni rencana kenaikan suku bunga oleh Bank Sentral Amerika The Fed pada tahun ini. Stimulus moneter sebesar 20 persen dari PDB Amerika atau 3,8 triliun dolar AS akan ditarik perlahan oleh bank sentral dengan menaikkan suku bunga.
“Saat ini suku bunganya 0,25 persen. Dalam tiga tahun ke depan, akan naik 2,5–3 persen. Sementara itu, suku bunga Eropa negatif, Jepang hanya nol koma sekian, Tiongkok juga turun. Amerika Serikat ekonominya meningkat sendiri,” ujar Mirza.
Jika pada tahun 1998 rupiah melemah terhadap semua mata uang, saat ini dolar yang menguat terhadap hampir semua mata uang negara-negara di dunia. Di samping akibat menguatnya ekonomi AS, pelemahan rupiah juga disebabkan faktor fundamental Indonesia sendiri, yakni permintaan terhadap dolar AS melebihi suplai.
“Kita tahu kurs itu adalah supply and demand terhadap dolar, ekonomi kita ini sayangnya demand dolarnya lebih besar daripada supply,” kata Mirza.
Di samping ketidakpastian ekonomi global, Bank Indonesia juga menjadikan utang luar negeri (ULN) swasta dan defisit neraca transaksi berjalan (current account deficit/CAD) sebagai faktor penyebab pelemahan rupiah.
“Kondisi dunia ditambah CAD dan ULN, menambah tekanan terhadap nilai tukar rupiah,” kata Gubernur BI Agus Martowardojo saat paparan di Komisi XI DPR RI beberapa waktu lalu.
Banyaknya utang luar negeri swasta dan BUMN yang tidak menerapkan mekanisme lindung nilai (hedging) dianggap akan menambah potensi pelemahan lanjutan pada rupiah. Utang swasta dan BUMN yang umumnya berjangka waktu lebih pendek dan cukup banyak yang tidak dilakukan lindung nilai dinilai akan membuat risiko seandainya tidak tersedia likuidas yang cukup atau jika ada pelemahan di rupiah.
Selain itu, masalah utama lainnya Indonesia, yakni masih besarnya defisit neraca transaksi berjalan yang hingga akhir 2014 mencapai 26 miliar dolar AS.
“Kami akan mengarahkan current account deficit 2015 yang lebih sehat dan ingin dijaga pada 2,5–3 persen dari PDB,” ujar Agus.
Perbaikan Kondisi Internal Sebagai bagian dari reformasi struktural ekonomi dalam negeri, pemerintah akhirnya menyepakati enam paket kebijakan untuk memperbaiki kinerja neraca perdagangan dan neraca jasa, yang selama ini dominan menjadi penyumbang defisit neraca transaksi berjalan.
Defisit transaksi berjalan yang melebar merupakan masalah internal yang harus dibenahi pemerintah karena dinilai ikut memberikan dampak negatif terhadap rupiah, serta agar fundamental ekonomi tetap terjaga dan tidak rapuh dalam menghadapi tekanan ekonomi global.
Adapun kebijakan-kebijakan tersebut, antara lain mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur fleksibilitas bea masuk antidumping sementara dan bea masuk tindakan pengamanan sementara untuk meningkatkan daya saing produk dalam negeri. Kemudian, pemerintah melakukan revisi PP Nomor 52 Tahun 2011 “tax allowance” dan insentif “tax holiday” untuk mendorong peningkatan investasi langsung, baik dari penanaman modal asing maupun penanaman modal dalam negeri.
Selain itu, kebijakan lainnya adalah mendorong penggunaan biofuel yang saat ini ditetapkan sebesar 10 persen menjadi lebih tinggi lagi, serta menyiapkan pembebasan visa bagi turis asing dari 25 negara. Dua kebijakan lainnya, yakni kewajiban eksportir menyerahkan letter of credit (L/C) dan penggabungan dua perusahaan reasuransi milik negara.
“Kebijakan ini dalam rangka reformasi lebih lanjut pada ekonomi kita. Reformasi struktural agar lebih kompetitif dan efisien,” kata Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Sofyan Djalil.
Paket kebijakan fiskal yang dikeluarkan pemerintah diharapkan dapat berjalan efektif walupun kemungkinan memang tidak akan banyak berdampak langsung dalam jangka pendek.
“Kalau melihat kebijakan itu tidak ada yang jelek, persoalannya seberapa efektif dalam jangka pendek ini bisa meredam pelemahan rupiah. Jadi, kalau dilihat dari target jangka menengahnya, kita punya harapan itu akan efektif memperbaiki kelemahan dari struktur ekonomi kita,” kata Direktur Institute for Development of Economics and Finance Enny Sri Hartati.
Menurut Enny, struktur ekonomi Indonesia yang selalu tertekan oleh defisit jasa, memang dapat dikurangi dengan memberikan dorongan kepada BUMN untuk terjun di reasuransi untuk mengurangi defisit jasa asuransi. Selain itu, untuk mengurangi tekanan migas terhadap BBM juga memang dapat dilakukan dengan memanfaatkan bahan bakar nabati.
“Ini dalam jangka menengah akan memperbaiki ketergantungan kita pada impor migas serta memperbaiki neraca jasa. Akan tetapi, kan itu jangka menengah, sementara kita menghadapi tekanan nilai tukar itu sekarang. Kita tidak bisa bilang bahwa negara lain juga mengalami depresiasi, kok. Negara lain bisa jadi malah sengaja, kayak Jepang misalnya,” ujar Enny.
Untuk Jepang, pelemahan nilai tukar itu justru bagus buat perekonomian negara tersebut karena ekspornya sudah pasti akan lebih kompetitif. Apalagi, di tengah turunnya perekonomian Tiongkok, bisa jadi Jepang mengambil alih penetrasi barang-barang yang sebelumnya disuplai oleh Tiongkok.
“Persoalannya kan kita tidak punya kesiapan apa pun. Kita tidak pernah berubah, ketergantungan bahan baku impor, ekspor kita juga sektor komoditas yang harganya anjlok. Jadi, apa untungnya ketika sekarang terjadi depresiasi nilai tukar. Sebenarnya ada untungnya. Akan tetapi, jika ekonomi kita tidak ada perbaikan, tidak siap dan tidak mempersiapkan diri untuk itu, tidak ada keuntungan yang bisa kita dapatkan ketika depresiasi rupiah,” kata Enny.
Untuk eksportir CPO, misalnya, menurut Enny memang ada keuntungan yang diperoleh mereka. Akan tetapi, di tengah harga yang anjlok, tambahan keuntungannya tidak signifikan dengan tambahan beban yang harus dibayar. Beban kenaikan cicilan bunga, beban kenaikan repatriasi devisa itu dinilai jauh lebih besar.
Jika stimulus fiskal yang dilakukan pemerintah efektif dan berjalan baik, perekonomian sudah berkurang kerentanannya dan Bank Indonesia selaku otoritas moneter harus segera melakukan pengendoran likuditas.
“Itu dengan sendirinya mustinya (BI rate turun),” kata Enny.
Enny mengatakan bahwa pemerintah memang harus sungguh-sungguh dan segera melakukan pembenahan di sektor fiskal yang dinilainya masih “mandul” dan gagal menjadi stimulus pembangunan. Misalnya, terkait dengan persoalan infrastruktur, jangankan efektifivitas, porsinya saja dianggap masih rendah pada anggaran sebelum-sebelumnya. Saat ini pun belum tentu ada jaminan berhasil kendati porsi infrastruktur ditingkatkan.
Menurut dia, tidak ada perubahan “mindset” dari pemerintah bahwa alokasi untuk infrastruktur itu merupakan investasi pemerintah bukan untuk proyek.
“Hal ini juga belum tentu akan berdampak signifikan terhadap perbaikan struktur ekonomi karena ‘mindset’ selama ini infrastruktur itu proyek, proyeknya, ya, bagi-bagi. Semua itu yang membuat berapa pun anggaran infrastruktur tidak pernah efektif memberikan stimulus terhadap perkonomian,” ujar Enny.
(ANT/CITRO ATMOKO)