Yang selalu menjadi bahan perbincangan di dunia buruh adalah jaminan kesejahteraan yang minim, karena tidak semua tempat kerja memberikan upah di bawah patokan Upah Minimum Kabupaten (UMK) atau Upah Minimum Regional (UMR). Simpel ini sifatnya kasuistik. Akan tetapi perlu mendapat simpati semua pihak. Sebab, ‘kenakalan’ sejumlah perusahaan memberikan upah minim bisa berakibat fatal, yakni reaksi dari Pekerja.
Reaksi dari Pekerja ini sa-ngat manusiawi. Dipotret dari berbagai sudut pandang apapun, perhormatan atas keringat yang jatuh bagian dari moral-sosial. Dalam panda-ngan teologis, Nabi Muhammad Saw menganjurkan agar orang yang mempekerjakan orang lain segera membayarkan upahnya sebelum kering keringatnya
Kasus semacam ini (pemberian upah minim) sering ditemukan di kawasan lokal. Nasib para Pekerja terkatung-katung oleh pendapatan yang kurang rasional. Meskipun secara opjektif, kesenjangan ini dilatarbelakangi oleh banyak hal. Sebab, pemberian upah minim bisa saja karena memang pendapatan dari tempat usaha terbatas atau bisa saja karena ‘kenakalan’ pemilik usaha.
Sehingga, jika penyebabnya karena indikator yang pertama, maka masih bisa diterima secara manusiawi. Akan tetapi, apabila penyebabnya indikator kedua, maka harus ada kebijakan yang mampu menjembatani kedua belah pihak. Supaya alur kerja bisa berjalan seiring meski tidak harus selalu digiring.
Intervensi pemerintah lewat kebijakan formal menjadi salah satu solusi menjaga dunia kerja di tanah air lebih harmonis. Yakni dengan mengajak para pengusaha unstuck bisa merea-lisasikan aturan ketenagakerjaan dengan konsisten. Seperti membayar upah buruh sesuai standar UMK/UMR.
Peran Strategis Pekerja-Pengusaha
Sebagian besar penduduk Indonesia adalah pekerja. Hal itu karena dipengaruhi oleh faktor geografis yang separuhnya adalah persawahan. Faktor yang lain, adalah tekanan sosio-logis bagi masyarakat dengan pendapatan kecil yang dinilai kurang mencukupi pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari. Sehingga, meski tidak menjadi buruh di negeri sendiri, sebagian warga Indonesia memilih mencari lapangan pekerjaan di luar negeri. Dengan resiko, di negeri orang mereka bisa mendapatkan pekerjaan dan perlakukan baik atau kurang baik.
Realitas yang terjadi, ada banyak kasus yang mengenaskan menimpa sebagian pekerja Indonesia. Mulai dari penganiayaan yang bersifat fisikis, dan ideologis. Dalam konteks keindonesiaan, kasus semacam ini bisa ditekan semaksimal mungkin. Alasannya sangat sederhana, para pekerja (buruh) di sejumlah perusahaan adalah warga pribumi yang bermartabat. Etos kerja tinggi yang ditunjukkan oleh para buruh bisa mendapat apresiasi berarti dari Pengusaha. Para buruh tentu akan merasa sangat senang jika hasil usahanya bisa dihargai sesuai dengan ketentuan yang sudah ada.
Pada sisi yang lain, pengusaha yang memiliki wilayah usaha di Indonesia sejatinya pribadi yang bisa mengayomi para pakerjanya. Pengusaha mengi-nginkan usahanya berhasil. Dan keberhasilan yang dicapai memiliki efek positif bagi pertumbuhan perekonomian dan dunia usaha di negeri ini. Pengusaha dan buruh (pekerja) dua komponen yang sangat dibutuhkan dalam proses pembangunan di Indonesia. Sehingga, kebijakan pemerintah bisa menaungi kepentingan pekerja dan pe-ngusaha. Sebab, ketika kebijakan sudah akomodatif, maka antara Pengusaha dan Pekerja bisa lebih dinamis dan harmonis. Pekerja bisa menjalakan pekerjaannya dengan tenang. Sementara para Pengusaha bisa membuat konsep recana masa depan lebih nyaman. Ketika kondisi sudah tenang dan nyaman, maka stabiltas negara juga maksimal.
Bersatu Menjaga Ketahanan Ekonomi NKRI
Harmonisasi Pekerja-Pe-ngusaha pada prinsipnya akan menjadi benteng bagi ekosistem dunia kerja negara. Prinsip satu dan berselaras dalam komitmen dan pemikiran akan menjadi wahana multiwawasan. Ribuan buruh dan sederet perusahaan yang ada di Indonsia menjadi modal menyongsong transisi ekonomi. Gaung pasar bebas dalam bingkai Masyarakat Ekonomi Asia (MEA) merupakan pisau kritik dunia kerja tanah air. Inkonsistensi Pekerja-Pe-ngusaha menjadi ancaman bagi penguatan potensi perekonomian negara. Sebab, ketidakharmonisan ekosistem dunia kerja menjadi peluang bagi pemodal asing meraup keuntungan.
Hukum pasar bebas adalah kompetisi. Kompetisi bisnis tidak cukup mengandalkan kreatifitas barang. Akan tetapi jauh dari barangisasi ini, profesiona-lisme manusia pasar jauh lebih penting. Eskalasi dunia kerja di Indonesia yang terkadang bias kepentingan komunalitas harus dilawan. Setidaknya, komitmen ini akan memperkuat basis perekonomian negeri ini dalam persaingan pasar internasional.
Tindakan defensif dan prefentif menyongsong era MEA beberapa waktu ke depan kunci ketahanan perekonomian khas Indonesia. Potensi alam dengan kultur yang kaya tersebar hampir di semua kawasan Indonesia. Mulai dari Sabang hingga Merauke. Kesuburan tanah dan kekayaan luar biasa ini hanya akan dirasakan oleb masyarakat Pribumi. Penduduk yang berprofesi sebagai buruh dam Pe-ngusaha bisa bahu membahu membangun komitmen memiliki sepenuh hati. Komitmen ini substansinya adalah pengeje-wantahan cinta terhadap tanah air (nasionalisme). Bangsa yang besar adalah bangsa yang merasa memiliki terhadap kekayaan yang ada di bumi negerinya. Wallahu a’lam [*]
Oleh Zaitur Rahem
Dosen Institut Ilmu Keislaman Annuqayah (INSTIKA) Guluk-Guluk Sumenep, Madura.