Keadilan adalah salah satu asas hukum selain asas kepastian dan kemanfaatan. Dalam penegakkan hukum, ketiga asas tersebut harus selalu dikompromikan. Namun ketika terjadi benturan, maka asas keadilan lah yang wajib diprioritaskan dalam proses penegakan hukum. Ironisnya, belakangan ini antara hukum dan keadilan tidak sejalan dan terkesan bertolak belakang. Hukum terus berjalan, sementara keadilan ditinggalkan.
Lihat saja beberapa kasus yang terjadi akhir-akhir ini, hukum begitu keras me-nimpa Nenek Asyani, Yusman Telaumbanua, dan Kakek Ngatmanu. Nenek Asyani yang sudah berusia 63 tahun ditahan 3 bulan karena dituduh mencuri 7 batang kayu milik Perhutani. Padahal, menurut pengakuan sang nenek, kayu tersebut didapatkan dari lahan milik pribadi. Sementara Yusman yang masih berusia di bawah umur divonis mati oleh hakim Pengadilan Negeri (PN) Gunungsitoli karena dituduh membunuh majikannya pada tahun 2012. Usia Yustam pun yang masih 16 tahun tiba-tiba diubah menjadi 21 tahun. Kemudian, Kakek Ngatmanu yang berusia 73 tahun terancam hukuman 5 tahun penjara karena mencuri 2,5 kg kedelai milik sebuah pabrik tahu di Lumajang pada Mei 2014.
Sebelumnya, kejadian serupa juga terjadi pada Nenek Minah asal Banyumas. Nenek yang berusia 55 tahun ini divonis 1,5 tahun karena mencuri 3 buah Kakao yang harganya tidak lebih dari Rp. 10.000. Bahkan, nenek yang sudah tua renta tersebut harus meminjam uang Rp.30.000 untuk biaya transportasi dari rumahnya ke pe-ngadilan. Selanjutnya, kasus yang menimpa pelajar yang berinisial AAL, pelajar berusia 15 tahun di SMK 3, Palu, Sulawesi Tenggara sempat terancam kurungan penjara 5 tahun gara-gara mencuri sandal jepit milik Anggota Brimob Polda Sulteng (Kompas, 06/01/2012).
Dari beberapa kasus ini dapat dilihat bahwa adanya ketimpangan penegakkan hukum bagi masyarakat kalangan bawah. Bagi pelaku kriminal yang berkantong tebal, hukum seakan tumpul. Misalnya hukuman bagi pelaku koruptor. Para penagak hukum terkesan lamban dalam menangani kasus korupsi. Bahkan, yang mengagetkan adalah munculnya wacana pemberian remisi bagi koruptor oleh Menteri Hukum dan HAM, Yassona Laoly. Hal ini sangat dimungkin dapat memicu tumbuh subur-nya para koruptor di negeri ini. ironis.
Keadilan Restoratif
Tidak dapat dipungkiri bahwa keadilan hukum bagi kalangan bawah ibarat fatamorgana, seseorang dapat melihatnya dari kejauhan tetapi tidak pernah bisa menjangkaunya. Hukum pun kini tidak lagi berbicara hitam putih karena hukum sudah berubah menjadi abu-abu. Hukum menjadi semu dan penuh dengan rekayasa. Jika hal ini te-rus dibiarkan, maka bisa menjadi bumerang bagi para penegak hukum itu sendiri.
Dalam memutus perkara sejumlah kasus kecil seperti yang menimpa Nenek Asyani dan Kakek Ngatmanu, prinsip keadilan restoratif (restorative justice) dapat dijadikan sebagai alternatif pengambilan keputusan. Secara umum, keadilan restoratif bertujuan untuk membuat pelaku kriminal bertanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkan atas apa yang dilakukan. Dengan demikian, setiap kasus kecil yang terjadi tidak perlu sampai ke tahap pengadilan, tetapi cukup diselesaikan dengan cara mediasi.
Sementara dalam kasus vonis mati Yusman Telaumba-nua, penegak hukum Indonesia perlu mengkaji ulang keputusan tersebut. Dalam Konvensi Hak Anak pasal 37 point a disebutkan bahwa tidak seorang anakpun akan mengalami siksaan, atau kekejaman-kekejaman lainnya, perlakuan atau hukuman yang tidak manusiawi atau yang me-nurunkan martabat. Baik hukuman mati maupun hukuman seumur hidup tanpa kemungkinan dibebaskan tidak akan dikenakan untuk kejahatan-kejahatan yang dilakukan oleh orang yang berusia di bawah delapan belas tahun.
Selain itu, dalam Konvenan Hak Sipil dan Politik pasal 6 ayat 5 juga disebutkan bahwa hukuman mati tidak boleh dijatuhkan atas kejahatan yang dilakukan oleh seseorang di bawah usia delapan belas tahun dan tidak boleh dilaksanakan terhadap pe-rempuan yang tengah mengan-dung. Jika melihat ketentuan tersebut, maka vonis mati terhadap Yusman harus dihapuskan.
Memperbaiki Citra Hukum
Pemulihan hukum berarti pemulihan keadilan. Pemahaman keadilan dalam penegakkan hukum tidak boleh hanya berdasarkan aspek tekstual dan prosedural saja, tetapi juga harus mempertimbangkan aspek sosiologis. Aspek sosiologis ini merupakan pemahaman akan rasa keadilan yang berlaku di masyarakat. Keadilan tanpa keadilan substantif yang mempertimbangkan aspek sosiologis bisa dikatakan sebagai keadilan semu tanpa ruh. Dalam hal ini, para penegak hukum harus memahami bahwa keadilan di Indonesia adalah keadilan sosial yang seharusnya mempertimbangkan aspek sosiologis. Hal ini sebagaimana tertuang dalam Pancasila sila ke lima, yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Pemulihan ini dapat diawali dengan perbaikan proses pe-radilan yang terjadi pada Nenek Asyani, Yusman, dan Kakek Ngatmanu. Proses peradilan harus dilakukan dengan cermat sejak proses penyidikan dilaksanakan. Dengan adanya kecermatan inilah nantinya keadilan dapat ditegakkan. Selama proses penyidikan masih diwarnai dengan beragam penyimpangan fakta, maka keadilan hanyalah fatamorgana belaka. Dapat dilihat tapi tidak dapat disentuh. [*]
Oleh: Moh. Mursyid
Direktur Eksekutif Literacy and Education Research Center