Oleh: Musyaffa Ahmad*
Ada fenomena yang unik dan menggelitik namun sudah menjadi fenomena biasa di Negeri ini. Fenomena ini berkaitan erat dengan hukum di Indonesia yang selalu menjadi bahan perbincangan yang selalu hangat dibicarakan. Yakni, terkait fenomena pencurian terhadap tujuh kayu Jati yang dilakukan oleh nenek asal desa Jatibanteng bernama Nenek Asyani.
Nenek enam puluh tiga tahun ini terbukti oleh pihak perhutani telah mengambil kayu jati di hutan yang terdapat di Situbondo Jawa timur. Menurut Humas KRPH Perhutan Bondowoso, Abdul Ghani, kasus pencurian ini dilakukan pada tanggal 14 juli tahun lalu. Kejadian ini bermula ketika petugas perhutani sedang melakukan patroli rutin dan menemukan dua tunggak bekas pencurian di area hutan.
Akhirnya, pihak dari Perhutani melakukan penyelidikan terkait masalah ini. Ternyata, pihak perhutani mendapat laporan dari masyarakat setempat bahwa ada penimbunan kayu disalah seorang warga setempat bernama Cipto. Mendapat laporan dari masyarakat, pihak Perhutani pun melaporkan kasus ini ke Mapolsek Jatibanteng untuk ditindak lanjuti.
Setelah melakukan pemeriksaan ke rumah Cipto, penyidik mendapati barang bukti berupa kayu jenis kayu Jati yang sudah berbentuk papan. Menurut keterangan dari Cipto, kayu ini bukan miliknya, melainkan milik nenek Asyani. Disitulah awal mula penangkapan nenek Asyani sebagai tersangka kasus pencurian tujuh batang kayu jati.
Dalam kejadian ini, terdampak kesan yang terburu-buru dari Mapolsek untuk membuat putusan tersangka kepada nenek Asyani. Padahal, apabila Mapolsek mau mendengar penjelasan dari nenek Asyani, mungkin kejadian ini tidak akan terjadi. Menurut penjelasan dari nenek Asyani, tumpukan kayu jati tersebut bukanlah hasil curian, melainkan hasil teba-ngan pohon yang dilakukan oleh suaminya lima tahun yang lalu di tanah milik sendiri. Yang itu bisa dibuktikan dengan sertifikat tanah yang dimilikinya.
Akibat kasus ini, nenek tua asal Jatibanteng ini terjerat Pasal 12 juncto pasal 83 Undang-Undang tahun 2013 tentang illegal loging atau perusakan hutan lindung dengan ancaman hukuman selama lima tahun penjara. Nenek Asyani pun mulai merasakan pahitnya hidup dipenjara terhitung mulai dari tanggal 15 Desember tahun lalu.
Selain nenek Asyani, kasus ini pun menyeret beberapa nama yang dianggap terlibat dalam kasus ini. Seperti, Ruslan yang tidak lain adalah menantunya, Cipto yang notabene sebagai tukang kayu, dan pengemudi pikap, Abdul Salam.
Tumpul ke Atas, Tajam ke Bawah
Keluar dari konteks pencurian kayu yang dilakukan oleh nenek Asyani, fenomena hukum tumpul keatas tajam kebawah nampaknya menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari hukum di Indonesia. Sebab, hukum di Negeri ini dengan ‘gampang’ bisa dipermainkan oleh mereka-mereka yang memiliki jabatan tinggi di Pemerintahan. Bahkan, hukum di Indonesia pun bisa dibeli oleh uang.
Seperti yang kita ketahui, Indonesia sedang terjangkit ‘penyakit’ yang sangat akut dan sangat mengerikan. Yakni penyakit korupsi. Banyak sekali koruptor-koruptor yang berkeliatan di Indonesia. Mulai dari para pejabat negara, sampai para karyawan kantor pun terlibat kegiatan yang haram ini. Namun, ironisnya hukum di Indonesia yang seharusnya menjadi tembok dalam praktek haram ini, justru menunjukan keterpihakannya kepada para koruptor.
Sebagai contoh kasus beberapa waktu lalu yang sempat menggemparkan masyarakat Indonesia. Yakni kasus yang menjerat Gayus Halomoan Tambunan yang terbukti telah menggelapkan dana pajak negara sebesar Rp. 5 milyar. Namun, beberapa saat dari jatuhan vonis yang diberikan oleh pengadilan, sang terdakwa (Gayus) malah tertangkap media massa sedang berlibur di Bali.
Ini jelas menunjukkan ketidakberesan dalam hukum di Indonesia. Yang seharusnya mendapat hukuman yang sa-ngat berat karena bisa merugika negara, namun justru seolah-olah hukum tidak berdaya kepada mereka yang memiliki jabatan tinggi ataupun uang yang banyak. Sedangkan, ketika kita melihat fenomena hukum yang menerima nenek Asyani yang notabene orang miskin, hukum seolah sa-ngat tajam dan sangat kejam.
Mungkin, kasus tentang Gayus Tambunan adalah salah satu dari banyaknya potret buram hukum di Indonesia. Masih banyak kasus-kasus hukum yang senada dengan kasus Gayus Tambunan yang sangat memperlihatkan hukum tumpul keatas tajam ke bawah.
Rehabilitasi
Dari fenomena-fenomena diatas, seharusnya ada sebuah tindakan revolusioner yang dilakukan oleh pemerintah untuk memperbaiki sistem hukum di Indonesia. Jangan sampai masyarakat yang tidak tahu apa-apa menjadi korban dari ketidakberesan kasus di Indonesia. Tindakan revolusioner ini dikhususkan bagi pihak-pihak atau lembaga yang terlibat langsung dalam sistem hukum di Indonesia.
Pertama, menegakkan kembali hukum sebagai panglima dalam negeri ini. Secara idealnya, semua orang itu sama dihadapan hukum. Tidak terkecuali bagi mereka-mereka yang memiliki jabatantinggi di pemerintahan dan yang memilki uang yang banyak. Hukum tidak memandang status. Ketika bersalah, harus dihukum.
Kedua, mengkaji secara mendalam setiap permasalahan yang terjadi di masyarakat. Jangan sampai mereka yang seharusnya tidak terbukti bersalah dalam kaca mata hukum, menjadi korban karena kesalahan dalam menganalisis suatu permasalahan.
Seperti yang bisa kita lihat pada kasus yang menerima nenek Asyani yang di vonis oleh pengadilan karena mencuri tujuh batang kayu jati di Hutan Lindung situ bondo. Padahal, vonis itu jelas tidak benar dan sangat terkesan terburu-buru. Sebab, menurut penjelasan dari nenek berusia 63 tahun itu, ketujuh kayu itu merupakan hasil dari tebangan yang dilakukan oleh suaminya lima tahun yang lalu. Dan yang ditebang juga merupakan pohon dari ta-nah miliknya.
Ketiga, adalah yang pa-ling sulit untuk dilakukan oleh pemerintah. Yakni merealisasikan dua langkah diatas. Namun, harapan pun tetap bersemi kepada pemerintah untuk memperbaiki hukum di Indonesia menjadi lebih baik dan lebih mementingkan kepentingan bersama, bukan hanya satu pihak. Jangan sampai kejadian hukum tumpuk keatas tajam ke bawah menjadi sesuatu hal yang wajar di Indonesia. Wallahu a’lam bi al-showab. [*]
*) Peneliti Muda di Pondok Perkaderan HMI UIN Walisongo Semarang.