Duhai
Derak itu bernama luka
ketika tak lagi tersisa air mata meski hanya di dalam hati
ketika tanya terus menerus menggedor pikiran lalu menggugat keadaan
ketika hanya sesal yang tertinggal dan mengguratkan dendam pada kehidupan
Dan luka itu pun bernanah
Ketika nyawa mengucap salam perpisahan
pada raga yang mengejang
dan perih yang tertinggal
Lalu mata-mata yang nanar kemudian memekik
Menghujat putus asa
melipat sesak yang merana
menenggelamkan tanya
menerbitkan nestapa
Duhai
Derak itu kini menganga
Perjanjian dengan Maut
Aku mendengar suara-suara kematian yang bergumam di koridor
meniupkan aroma kemboja kering dan melati layu
menyebarkan tangis yang terasa pedih
Aku mendengar langkah-langkah kematian yang berderap di selasar
membawa serpihan tanah dan pecahan nisan
mengusung keranda yang terasa muram
lalu mendekat padaku dengan salam dan senyum tawar
Bisakah aku memilih waktu, tanyaku
Tidak, katanya
Kecuali kau punya satu hal yang bisa membelamu
Anakku, anakku, kataku
Dia disepanjang ranjangku
Melantunkan doa menyanyikan harapan
melagukan janji-janji kebaikan
Kulihat ia menggeleng
Dia tunduk pada kewajibannya, katanya
Istriku, istriku, tangisku
Izinkan aku membayar kembali cintanya
yang tak pernah rapuh meski aku mala merana
yang tak terbilang meski asaku hilang
Lalu aku mendengar dengung kematian yang menjauh
Jubahnya mengepak mengucap salam perpisahan
Ikhlasnya menyelamatkanmu, katanya
Bila habis masa tangguhmu, kau tak bisa mengelak lagi
Neida Camelia. Lahir di Jakarta, 37 tahun yang lalu. Berkontribusi dalam beberapa antologi cerpen.