Oleh: M. Abdul Mu’iz*
Tujuan diadakannya sekolah bukan semata mentransfer pengetahuan. Melebihi itu ialah memberikan kesadaran pada anak didik tentang hakikat kemanusiaan dan cinta kasih. Sekolah memberikan pula ilmu resolusi konflik, menghargai perbedaan, dan pengajaran toleransi. Sayangnya, fungsi sekolah macam itu beberapa waktu terakhir ini kurang terlihat; semata menghasrat capaian prestasi akademik. Bahkan, kini sekolah dituding menjadi tempat tumbuhnya radikalisme.
Heboh kasus buku/Kumpulan Lembar Kerja Peserta Didik (KLKPD) Pendidikan Agama Islam Kelas XI SMA yang beredar di Jombang yang disinyalir mengandung ajaran radikal, bukanlah kasus pertama. Sebelumnya, di akhir 2014 juga ditemukan muatan buku SKI yang menyebut makam wali adalah berhala. Diwartakan, buku PAI itu hanya mengutip buku Puskurbuk Kurikulum 2013. Pun, sebenarnya tidak lebih hanya memaparkan pemikiran para tokoh pembaharu Islam. Lantas di mana letak ke-salahannya sehingga menimbulkan kehebohan?
Pertama, penyusunan buku PAI meluputkan tentang karakteristik laku umat Islam Indonesia yang moderat. Dengan artian, penulis buku mestinya menihilkan tema-tema yang mengarah kepada pemikiran radikalisme. Kedua, apabila menarasikan sejarah pemikiran tokoh seperti kasus di atas, wajib bagi penulis buku untuk memberi keterangan tambahan/penjelas agar pemikiran si tokoh tidak ditelan mentah-mentah oleh pelajar. Maka, buku PAI/sejenisnya di sekolah umum mestinya mengambil tema-tema gagasan ajaran universal agama macam toleransi antar umat beragama,menghindari diskursus furu’iyyah, meninggalkan fanatisme bermazhab dan edukasi relasi Islam dengan agama lain.
Bacaan/buku radikal akan memengaruhi mental dan sikap anak didik yang bisa saja menyebabkan anak didik menjadi agresif-radikal dalam menyikapi ajaran agama. Bukan tidak mungkin, dalam jangka panjang, bila pelajar dicekoki anasir-anasir tentang radikalisme, benih-benih teroris/pro kekerasan secara mudah akan tumbuh, hanya gara-gara buku. Oleh karena itu, setidaknya sedari tingkat SLTP, pelajar perlu mendapat pengetahuan tentang kenapa Indonesia menganut sistem demokrasi, mengapa Indonesia tidak menjadi negara Islam/teokrasi, urgensi toleransi antar umat beragama, dan pentingnya kesadaran kesamaan derajat di muka hukum tanpa mengenal identitas agama.
Guru dituntut lebih terampil mengajarkan anak didik bersikap toleran dan mempunyai wawasan terbuka. Dinas pendidikan daerah perlu memberikan pengawasan terhadap guru-guru yang disinyalir berpaham radikal. Namun, kementerian/dinas pendidikan juga terlebih dahulu bersih dari bibit radikalisme mengingat buku puskurbuk yang disusunnya bakal menjadi acuan penyusunan buku sekolah di seluruh Indonesia. Maka, si-nergi dengan Kementerian Agama dan tokoh-tokoh pendidikan dari kalangan ormas keagamaan macam NU atau Muhammadiyah perlu dioptimalkan.
Jauh sebelum gegeran di atas, selain lewat buku, bentuk-bentuk kasus radikalisme/into-leransi lainnya adalah ketika sekolah menolak upacara/hormat bendera merah-putih. Penelitian Farha Ciciek dkk (2008) tentang kasus radikalisme di sekolah mendapati di sebuah SMUN di Jogjakarta pada 2006 dan 2007, siswi dilarang tampil bernyanyi lantaran ada anggapan bahwa suara perempuan termasuk aurat. Di sebuah SMUN di Sumatra Barat, ajaran intoleransi disebarkan lewat doktrin “Kita harus percaya kepada saudara seiman sampai terbukti mereka tidak baik. Akan tetapi dengan lain iman, wajib berprasangka buruk dulu, sebelum terbukti mereka baik dan tulus”.
Data gejala radikalisme kian memprihatinkan. Survei Lembaga Kajian Islam dan Perdamai-an (LaKIP) yang digelar Oktober 2010 hingga Januari 2011 di 59 sekolah swasta dan 41 sekolah negeri di 10 wilayah se-Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi, serta mengambil sampel dari 993 siswa SMP dan SMA menunjukkan hampir 50 per-sen dari pelajar setuju tindakan kekerasan atau aksi radikal demi agama. 14,2 persen menyatakan setuju atas aksi terorisme yang dilakukan Amrozi cs. Selain itu, sebanyak 25,8 persen menganggap Pancasila sudah tidak relevan lagi sebagai ideologi negara. Jadi, bibit-bibit radikalisme rupanya sudah muncul jauh-jauh hari. Maka, data memilukan tersebut perlu mendapat tindakan nyata dengan keterlibatan semua pihak untuk memangkas benih radikalisme.
Termasuk perhatian ekstra hendaknya dilakukan orangtua. Orangtua perlu mengetahui latar belakang pendidikan guru agama di sekolah tersebut dan pandangan sekolah itu tentang Islam dan NKRI. Jangan sampai anak menjadi salah didik. Langkah proaktif lain ialah melalui kegiatan ekstrakurikuler keagamaan. Bila “ekskul” yang dikelola OSIS dan pembinaan dari sekolah tersebut memastikan memberikan pendidikan nilai-nilai agama yang inklusif, tentu mereka tidak akan terbuai gagasan radikal.
Wakil Presiden Jusuf Kalla beberapa waktu lalu menyatakan akan membentuk dan memperbanyak pusat pemikiran Islam moderat sebagai upaya menanggulangi pemikiran Islam yang radikal. Pernyataan Wapres saat di Tokyo itu mengindikasikan pentingnya penguatan inklusivitas pendidikan agama di sekolah. Tidak sekadar hanya menarik buku radikal. Peme-rintah juga perlu menindak sekolah-sekolah yang disinyalir antiPancasila.
Keberanian Malala Yousafzai –pelajar pakistan yang ditembak kelompok Taliban karena mengkampanyekan pendidikan bagi anak perempuan– dan Aitzaz Hassan (15) –pelajar yang gugur saat berusaha menghentikan serangan seorang pengebom bunuh diri di sekolahnya– dapat menjadi inspirasi bagi para pelajar di negeri ini untuk menjadi garda terdepan memerangi radikalisme. Maka, di sinilah sekolah telah menunjukkan fungsinya dengan sukses mengkader para pelajarnya melawan segala bentuk laku antikemanusiaan sekalipun bertaruh nyawa. [*]
*) Guru MTs Miftahul Falah, Kudus.