
PROBOLINGGO – Proses pencairan dana santunan kematian di Kota Probolinggo ternyata tidak seperti yang diharapkan dan cenderung ruwet. Setidaknya hal itu terjadi di tahun 2015. Masalahnya, uang santuan Kematian sebesar Rp 750 ribu yang diberikan kepada keluarga warga Kota Probolinggo yang meninggal dunia itu terkesan cukup sulit untuk dicairkan.
Kondisi ini tidak semudah yang dijanjikan penggagasnya, Komisi A, DPRD Kota Probolinggo Periode 2009-2014. Dana yang dipasok APBD itu baru bisa direalisasi jika penerima santunan sudah mengajukan proposal kepada Walikota melalui Dinas Pendapatan, Pengelolaan Keuangan dan Asset (DPPKA) dengan dilengkapi sejumlah persyaratan. Diantaranya foto copy KTP, KK, Surat Kematian, dan rekening bank ahli waris yang meinggal dunia.
Tak pelak, birokrasi yang berbelit dan kaku yang diterapkan Pemkot untuk pencairan santunan kematian ini terus menuai kecaman warga. Tak hanya pencairan dana yang memakan waktu lama, kesan diombang-ambing birokrasi pun tak terelakkan.
Ahmad Soleh (45) warga Kelurahan Tisnonegaran yang juga Koordinator Forum Komunikasi Lembaga Pemberdayaan (FK-LPM) Kecamatan Kanigaran, mengungkapkan sewaktu memfasilitasi salah satu keluarga yang meninggal bulan Maret 2015 kemarin, hingga saat ini belum menerima santunan. Pihak DPPKA sebagai leading sektornya terkesan lepas tangan.
“Saya sudah mengikuti prosedur untuk mendapatkan santunan kematian. Mulai persyratan membuatan proposal, KTP, KK, Surat Kematian dari kelurahan, dan buku rekening. Tapi malah pihak bendahara pengeluaran DPPKA justru menolak karena tidak bisa diproses, karena terkendala oleh aturan,”ucapnya.
Ia menyesalkan sikap pelaksana birokrasi yang bertolak belakang dengan tugas dan fungsinya sebagai pelayan publik. Padahal sosialisasi perubahan mekanisme penyaluran santunan sudah di sosialisasikan mulai dari kecamatan, kelurahana, RW dan RT sewaktu pelaksanaan Musrenbang.
“Kalau terkendala dengan aturan, kenapa harus ada sosialisasi dan perdanya sudah ada. Saya kuatir bagi masyarakat awam yang tidak tahu mekanisme dan prosedurnya, justru akan semakin di ombang-ambingkan,”jelas Ahmad Soleh.
Lain halnya dengan Suli (40) warga Kelurahan Pakistaji Kecamatan Wonoasih. “Program santunan kematian tidak bisa diharapkan lagi untuk meringankan beban warga yang tengah berduka. Kalau tidak lancar begini, ya dihapus saja daripada membingungkan masyarakat,” tegasnya.
Menurutnya, pihaknya menilai Pemkot mulai mlempem mengawal program yang ditopang APBD tersebut. Ia pun terkejut mendapat informasi mekanisme pencairan dana kematian tersebut.
“Saya akan cek ke kecamatan, apa alasan keterlambatan pencairan dana bantuan kematian. Karena Dewan sudah menyetujui anggaran itu dalam APBD 2015,”tandas Suli.
Jika diperlukan, lanjut Suli, Dewan seharusnya memanggil semua yang berhubungan dengan pencairan dana kematian itu. Mulai dari kelurahan, kecamatan, hingga DPPKA.
“Kita akan meminta dewan untuk memberikan penjelasan semuanya. Jangan sampai masyarakat dirugikan dengan keterlambatan itu,”ucapnya.
Diperketatnya mekanisme pencairan dana santunan kematian sebesar Rp 750 ribu, oleh pemkot Probolinggo mulai awal Januari 2015 yang sebelumnya langsung sampai kerumah duka, tapi dicairkan melalui rekening.
Kabag Humas dan Protokol Pemkot Probolinggo, Anwar Fanani, mengatakan santunan kematian bagi penduduk melalui rekening dikarenakan tak ingin terjadi masalah. Karenanya, proses pencairannya harus sesuai mekanisme dan prosedur.
Perubahan mekanisme dan prosedur agar warga yang meninggal mendapatkan santunan, ahli warisnya harus mengajukan surat permohonan kepada Walikota melalui Dinas Pendapatan, Pengelolaan Keuangan dan Aset (DPPKA), yang dilampiri KTP/KK, surat pengantar dari RT/RW dan surat kematian dari kelurahan. Syarat lainnya yang tak disebutkan dalam perda itu, yakni harus membuka rekening Bank,”ujarnya.
“Ini yang beda, karena aturannya memang seperti itu meski banyak warga yang bertanya dan mengeluhkan hal itu,” paparnya.
(M. HISBULLAH HUDA)