Pada bulan April, ada beberapa tanggal penting yang sarat akan makna historis dan edukatif, yaitu peringatan Hari Kartini pada 21 April dan Hari Buku Internasional pada 23 April. Meskipun keduanya berbeda, namun ada benang merah yang dapat dijadikan sebagai pelajaran bagi ba-nyak orang.
Ketokohan dan kecerdasan Kartini yang kita kenal selama ini tidak dapat dipisahkan dari kegiatan membaca buku bacaan yang berisi ilmu pengetahuan. Sementara itu, peringatan Hari Buku Internasional bertujuan untuk mengkampanyekan budaya baca kepada dunia internasional. Dari sini terlihat jelas bahwa kedua event tersebut menjadi moment yang tepat untuk kembali melihat sudah sejauh mana budaya baca di negara ini.
Tidak dapat dipungkiri bahwa di Indonesia kegiatan membaca masih belum menjadi budaya masyarakat meskipun akses ke sumber informasi kini semakin mudah. Fenomena di masyarakat menunjukkan bahwa anak-anak di era digital sekarang ini lebih akrab dengan teknologi ketimbang buku bacaan. Hampir setiap waktu, di manapun, dan kapanpun tidak pernah lepas dari teknologi gadget. Kalaupun mereka membaca, kebanyakan karena ada tuntutan mengerjakan tugas sekolah, sementara mereka yang membaca karena minat dan kebutuhan dapat dipastikan sangat minim jumlahnya.
Hasil Penelitian Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) pada tahun 2013 menunjukkan bahwa Indonesia sebagai negara paling inovatif kedua dalam pendidikan ternyata tidak diimbangi dengan adanya kualitas membaca. Hasil survei Programme for International Student Assesment (PISA) juga menempatkan Indonesia pada urutan 57 dari 65 negara dalam hal kemam-puan membaca siswa.
Tidak hanya itu, data statistik dari UNESCO pada tahun 2012 menyebutkan bahwa indeks minat baca di Indonesia baru mencapai 0,001. Artinya, dari 1.000 penduduk Indonesia, hanya ada satu warga yang mempunyai budaya baca. Hasil ini menempatkan Indonesia pada urutan ke 69 dari 127 negara yang disurvei oleh UNESCO. Ironis.
Harus disadari bersama bahwa betapapun besar manfaat membaca, selama tidak diimbangi dengan kesadaran masyarakat akan pentingnya membaca, maka terciptanya sebuah peradaban bangsa yang maju hanyalah isapan jempol belaka. Membaca tidak hanya menjadi kunci, tetapi juga fondasi utama dalam pembangunan.
Akar Masalah
Tidak dapat dipungkiri bahwa proses pembelajaran di sekolah pada umumnya belum mengakomodir kegemaran membaca siswa. Di tingkat sekolah dasar misalnya, pendidikan membaca diarahkan pada proses mengeja huruf tanpa makna, misalnya ba-bi-bu-be-bo. Proses ini menekankan ketepatan dalam melafalkan dan seberapa fasih seorang anak mengucapkan ejaan huruf tersebut. Pada tahap selanjutnya, anak tidak diarahkan pada pemahaman isi dari sebuah teks, melainkan pada cara melafalkan dengan intonasi yang tepat (reading with fluency) seperti dalam membaca ulang teks cerita. Setelah proses tersebut, anak-anak justru dijejali dengan buku-buku bacaan wajib pelajaran, mulai dari Lembar Kerja Siswa (LKS) dan lainnya. Akhir-nya, anak-anak sama sekali tidak mempunyai kesempatan untuk memilih buku bacaan yang mereka minati.
Selain itu, proses pembelajaran di sekolah pada umum-nya belum terintegrasi dengan keberadaan sumber-sumber bacaan yang ada di sekolah, misalnya perpustakaan. Keberadaan perpustakaan sekolah tidak dikelola secara profesional sehingga tidak mampu mendukung proses pembelajaran secara maksimal. Hal ini ditandai masih minimnya jumlah pustakawan profesional, koleksi buku yang terbatas serta jam buka perpustakaan yang tidak menentu.
Upaya Stategis
Dibutuhkan upaya strategis dalam menumbuhkan budaya membaca di sekolah. Sekolah menjadi tempat yang tepat untuk mulai mengenalkan buku dan bahan bacaan kepada anak. Sejak di tingkat Pendidikan Anak Usia Dini, seorang anak sudah dapat dikenalkan beragam buku yang menarik perhatian anak, misalnya buku bergambar dan pop up.
Selanjutnya, pada tingkat sekolah dasar, seorang guru harus selalu mengoneksikan pembelajaran di sekolah dengan bahan bacaan di luar buku teks wajib pembelajaran yang sudah disesuaikan dengan kemampuan kognitif anak. Hal ini berguna untuk memperbanyak perbendaharaan kosakata sekaligus mempertajam daya berpikir kritis siswa. Nantinya, pada tingkat sekolah menengah, anak-anak sudah terbiasa belajar secara mandiri melalui bahan bacaan yang mereka minati.
Selain itu, optimalisasi perpustakaan sekolah juga mutlak untuk dilakukan, mulai dari sistem pengelolaan, desain rua-ngan, jenis-jenis bahan bacaan, dan jam buka pelayanan harus dibenahi agar anak-anak senang berkunjung ke perpustakaan.
Akhirnya, jika budaya baca sudah melekat pada diri siswa, maka mereka akan tumbuh menjadi generasi pilih tanding, berkarakter dan merdeka dalam pikiran dan tindakan. Semoga! [*]
Oleh: Moh. Mursyid
Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Perpustakaan dan Informasi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.