
JAKARTA – Pendidikan berkualitas acap kali dikaitkan dengan biaya yang menguras kantong, yang tentu saja tidak bisa dinikmati seluruh lapisan masyarakat.
Bagi kalangan berduit, mudah saja mengeluarkan uang dengan jumlah besar agar keluarganya mendapatkan pendidikan berkualitas.
Misalnya, relatif banyak sekolah swasta di kota besar dengan biaya pendidikan yang mencapai ribuan dolar Amerika Serikat per tahunnya. Tentu saja, sekolah tersebut menggunakan bahasa internasional dan kurikulum yang mengadopsi dari luar negeri.
Ironisnya, setidaknya 1,8 juta anak putus sekolah setiap tahunnya. Sebagian besar disebabkan karena faktor ekonomi.
Guru SMPN 2 Purworejo Mustar (50) mengatakan bahwa pendidikan bagus tidak harus mahal. Buktinya, lulusan Pusat Kegiatan Belajar Mengajar (PKBM) Ingin Wasis binaannya yang terdapat di Desa Temon, Kulonprogo, Yogyakarta, bisa bersaing dalam dunia kerja.
Mustar mengawali ceritanya, PKBM itu berangkat dari rasa keprihatinannya terhadap potret pendidikan di desa itu.
Semua itu bermula pada tahun 2000-an. Pada saat itu, baik di Desa Temon maupun di Purworejo, relatif banyak remaja putus sekolah karena hamil di luar nikah.
“Aduh kasihan sekali mereka (remaja yang putus sekolah karena hamil) itu. Seharusnya mereka bisa lulus berbarengan dengan teman-temannya yang lain,” kenang dia.
Sebagai guru, dia juga merasa tidak adil karena hanya peduli pada pendidikan anak-anak di daerah lain, sementara di daerah sendiri butuh perhatian.
Sebagian besar, remaja yang hamil tersebut adalah anak tenaga kerja Indonesia (TKI). Mustar berpendapat bahwa hal itu karena perhatian orang tua pada anak yang relatif sangat minim.
Mustar kemudian membulatkan tekad untuk memajukan pendidikan di sekolahnya. Dia ingin anak-anak di kampung itu mengecap pendidikan setinggi-tingginya.
Taman Bacaan Pusat Kegiatan Belajar Mengajar itu berdiri bersama dengan taman bacaan. Mustar menamakan PKBM itu Ingin Wasis. Wasis berasal dari bahasa Jawa yang berarti pintar.
“Pusat Kegiatan Belajar Mengajar diperuntukkan bagi anak-anak yang ingin pintar. Tidak peduli usianya, yang penting tekad dan semangat belajarnya,” tegas dia.
Pusat Kegiatan Belajar Mengajar itu menyediakan program pembelajaran untuk Paket B dan Paket C. Tidak hanya materi pelajaran yang didapatkan siswa, tetapi juga keterampilan, seperti salon, memasak, dan membatik.
Siswa yang belajar di tempatnya tidak hanya berasal dari desa tersebut, tetapi juga dari daerah lain, seperti Nias, Sulawesi, Kalimantan, dan Sumatera.
Guru dan siswa saling berkomunikasi melalui internet. Pelajaran maupun tugas dikirim lewat surat elektronik (e-mail).
Jumlah siswa untuk Paket B mencapai ribuan orang, sementara untuk Paket C baru ratusan orang. Alumni Paket B mencapai 30 orang dan Paket C mencapai 32 orang.
“Banyak lulusan dari PKBM kami yang dengan mudah mencari kerja. Hal itu membuktikan, meski lulusan PKBM, tetap berkualitas,” terang dia.
Laladon Di Laladon, Ciomas, Bogor, Jawa Barat, matematika menemukan kampung halamannya. Kegiatan belajar mengajar matematika dilakukan di hampir setiap rumah. Para pengajarnya sarjana matematika dari berbagai universitas di Tanah Air, yang mau diberi imbalan ala kadarnya.
Kegiatan belajar dengan bayaran seikhlasnya yang dikelola oleh Klinik Pendidikan MIPA (KPM) Seikhlasnya itu sudah berlangsung sejak 2001. Lebih dari 1.000 alumnus kegiatan belajar itu ikut dalam olimpiade matematika.
Pendiri KPM Seikhlasnya Ridwan Hasan Saputra mengatakan bahwa KPM bermula dari sebuah rumah tipe 21.
“Kampung Matematika ini adalah hasil proses panjang dari perjuangan keikhlasan,” kata Ridwan.
Pada awal pendiriannya, saat masih ada patokan tarif biaya belajar, sangat sedikit anak yang mau belajar matematika.
Ridwan kemudian membuat terobosan dengan menghapus patokan tarif. Dia meletakkan sebuah kotak, tempat orang tua bisa memberikan uang biaya belajar seikhlasnya.
Pada tahun 2007, Ridwan berhasil membawa empat anak didiknya bertanding dalam olimpiade matematika tingkat SD di India dan meraih tiga medali emas, satu perak, dan satu perunggu.
Sejak itu, KPM lebih dikenal oleh masyarakat.
“Awalnya, saya membentuk kampung ini di tempat lain. Akan tetapi, terlalu individualis. Akhirnya di kampung ini karena masih ada budaya ramah tamah,” kata Ridwan.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Anies Baswedan untuk mendapatkan kualitas pendidikan yang tinggi tidak selalu berhubungan dengan biaya tinggi.
“Mengembangkan kualitas manusia Indonesia harus dikerjakan sebagai sebuah gerakan bersama. Semua harus ikut peduli, bahu-membahu, saling sokong dan topang untuk memajukan kualitas manusia Indonesia lewat pendidikan,” kata Anies pada peringatan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) 2015.
Pendidikan harus dipandang sebagai ikhtiar kolektif seluruh bangsa. Oleh karena itu, pendidikan tidak bisa dipandang sebagai sebuah program semata.
“Kita harus mengajak semua elemen masyarakat untuk terlibat. Kita mendorong pendidikan menjadi gerakan semesta, yaitu gerakan yang melibatkan seluruh elemen bangsa,” katanya.
Menurut Anies, hal itu berbeda dengan sekadar “program” yang perasaan memiliki atas kegiatan hanya terbatas pada para pelaksana program, sebuah “gerakan” justru ingin menumbuhkan rasa memiliki pada semua kalangan.
“Mari kita ajak semua pihak untuk merasa peduli, untuk merasa memiliki atas problematika pendidikan agar semua bersedia menjadi bagian dari ikhtiar untuk menyelesaikan problematika itu,” ajak mantan Rektor Paramadina itu.
(INDRIANI/ANT)