
JAKARTA – DPR RI melakukan langkah proaktif menghadapi penyelenggaraan pemilihan kepala daerah guna membantu jalan bagi dua partai politik yang belum memiliki kepastian untuk mengikuti pilkada serentak pada 9 Desember 2015.
Kedua partai politik itu, yakni Partai Golkar dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Keduanya sedang menghadapi konflik di internal, yakni adanya dua kelompok kepengurusan yang saling mengklaim sebagai pengurus resmi dewan pimpinan pusat.
Konflik internal Partai Golkar adalah saling klaim sebagai kepengurusan yang sah antara DPP Partai Golkar hasil Munas Bali yang diketuai Aburizal Bakrie dengan DPP Partai Golkar hasil Munas Jakarta yang diketuai Agung Laksono.
Posisi hukum konflik internal Partai Golkar saat ini sedang menjalani proses sidang di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta.
Sedangkan, konflik internal PPP adalah saling klaim sebagai kepengurusan yang sah antara DPP PPP hasil Muktamar Surabaya yang diketuai Muhammad Romahurmuziy dengan DPP PPP hasil Muktamar Jakarta yang diketuai Djan Faridz.
Posisi hukum konflik internal PPP saat ini adalah sampai pengajuan banding ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN).
Langkah proaktif terbaru yang digulirkan DPR RI adalah mendorong dilakukan revisi UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota atau UU Pilkada, yang sasarannya agar Partai Golkar dan PPP dapat mengikuti pilkada serentak.
Padahal UU Nomor 8 Tahun 2015 ini baru saja disetujui DPR RI menjadi UU pada 18 Maret lalu dan sama sekali belum digunakan pada pelaksanaan pilkada.
Pimpinan DPR RI menyatakan, revisi UU Pilkada ini hanyalah penambahan pasal yang waktu revisinya tidak lama, sehingga semua partai politik di parlemen dapat mengikuti pilkada serentak pada 9 Desember mendatang.
Wakil Ketua DPR RI Fahri Hamzah mengatakan, partai politik yang mengikuti pemilu harus mendapatkan legitimasi.
“Jika sampai ada partai politik tidak dapat mengikuti pilkada, maka dikhawatirkan akan terjadi konflik diujung pilkada,” katanya.
Ia memberikan alasan, jika sampai ada partai politik tidak mengikuti pilkada, maka bukan tidak mungkin hasil pilkada akan “diganggu”.
Untuk mendorong usulan revisi UU Pilkada yang masih sangat baru tersebut, Komisi II DPR RI yang membidangi antara lain soal pilkada, sudah melakukan rapat-rapat, baik dengan pimpinan DPR RI maupun dengan Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Menurut Fahri, pimpinan DPR RI melihat revisi UU Pilkada adalah salah satu solusi untuk mengakomodasi seluruh partai politik di parlemen dapat mengikuti pilkada.
Ketua DPR RI Setya Novanto juga menyatakan, Komisi II DPR RI sudah melakukan rapat dengan Pemerintah dan KPU membahas pelaksanaan pilkada agar dapat berjalan lancar.
Komisi II juga sudah menyampaikan tiga rekomendasi untuk dijalankan oleh KPU dalam pembuatan Peraturan KPU (PKPU).
Ketua Komisi II DPR RI Rambe Kamarulzaman menegaskan, rekomendasi Panitia Kerja Komisi II DPR RI perihal persyaratan partai politik yang dapat mengikuti pilkada secara serentak adalah sah karena sudah menjadi keputusan bersama dari 10 kelompok fraksi di Komisi II DPR RI.
Menurut Rambe, rekomendasi Komisi II DPR RI ditetapkan setelah sebelumnya Panja Komisi II melakukan melakukan beberapa kali rapat konsultasi dengan KPU.
Rekomendasi Komisi II DPR RI itu meliputi, pertama, dalam hal terjadi perselisihan parpol di tingkat pusat yang diselesaikan melalui peradilan, maka parpol yang dapat mengajukan pasangan calon kepala daerah, adalah kepengurusan parpol yang telah miliki kekuatan hukum tetap.
Kedua, dalam hal belum diperoleh keputusan yang memiliki kekuatan hukum tetap, maka parpol yang dapat mengajukan calon kepala daerah adalah parpol yang sudah melakukan islah sebelum pendaftaran pasangan calon kepala daerah.
Ketiga, dalam hal satu dan dua belum terwujud, maka KPU yang memutuskan calon kepala daerah, adalah kepengurusan parpol yang ditetapkan berdasarkan keputusan yang sudah ada, yakni keputusan pengadilan terakhir sebelum pendaftaran pasangan calon kepala daerah.
Sedangkan Ketua Fraksi Partai Golkar DPR RI Ade Komaruddin mengatakan, rekomendasi Panja Komisi II DPR ini substansinya adalah untuk menertibkan partai politik yang sedang menghadapi konflik sehingga ada kepastian siapa yang dapat mengikuti pilkada serentak.
KPU melalui Peraturan KPU yang dibuatnya harus dapat memberikan solusi terhadap partai politik yang sedang menghadapi konflik.
Namun, tiga rekomendasi Komisi II DPR RI ini tampaknya tidak dijalankan seluruhnya oleh KPU, terutama pada poin tiga, yakni keputusan pengadilan terakhir sebelum pendaftaran bakal calon kepala daerah.
Poin tiga rekomendasi Komisi II ini dinilai belum memiliki keputusan hukum yang tetap sehingga akan rawan terjadi kisruh.
Tanggapan Menanggapi wacana revisi UU Pilkada maupun tiga rekomendasi Komisi II DPR RI, Peneliti Senior Bidang Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), R Siti Zuhro menilai, revisi UU Pilkada harus dilakukan dengan berbagai pertimbangan dan mengutamakan kepentingan nasional.
“Jika revisi UU Pilkada dilakukan saat ini maka dapat mengganggu tahapan pilkada yang sudah berjalan sejak Februari 2015,” kata Siti Zuhro di Gedung MPR/DPR/DPD RI, Jakarta.
Apalagi, kata dia, jika revisi UU Pilkada tersebut dilakukan hanya untuk kepentingan suatu kelompok dan sesaat, maka bukan merupakan persoalan yang mengutamakan kepentingan nasional.
Dia menjelaskan, KPU sudah menerima pendaftaran bakal calon kepala daerah pada 24-26 Juli mendatang.
Revisi UU Pilkada, kata dia, tidak hanya dapat mengubah tahapan pilkada tapi juga konstelasi partai politik yang ada.
Siti Zuhro menegaskan, dari usulan revisi UU Pilkada ini yang lebih utama diperhatikan adalah kesiapan penyelenggara pemilu, yakni KPU dan Bawaslu.
Penyelenggaraan pilkada secara serentak di 259 daerah dan baru pertama kali dilakukan, bukanlah pekerjaan mudah dan ringan, sehingga semua hal yang terkait harus disiapkan secara matang dan transparan.
“Dalam kondisi seperti saat ini agar tahapan penyelenggaraan pilkada yang dilakukan KPU tidak terganggu dengan adanya wacana revisi UU Pilkada,” katanya.
Terhadap partai politik yang masih menghadapi konflik internal, menurut Siti Zuhro, dapat diselesaikan secara internal.
Jika partai politik belum dapat menyelesaikan konflik internalnya, Siti menyarankan, jangan memaksakan diri untuk menguikuti pilkada.
“Parpol harus berjiwa besar dan berpikir jernih, jangan hanya mengejar ambisi kekuasaan,” katanya.
Siti Zuhro mengingatkan, agar politisi Partai Golkar dan PPP yang masih menghadapi konflik internal dapat berjiwa besar untuk segera menyelesaikan konfliknya terlebih dulu.
Sementara itu, Ketua MPR RI Zulkifli Hasan menyatakan, revisi UU Pilkada yang diwacanakan DPR RI tidak dapat dilakukan tanpa adanya persetujuan dari Pemerintah.
“Revisi suatu UU termasuk UU Pilkada dapat dilakukan jika ada persetujuan dari DPR dan Pemerintah,” kata Zulkifli Hasan pada kegiatan “Press Gathering Wartawan Parlemen” di Medan, Jumat (8/5).
Jika usulan revisi UU Pilkada yang diwacanakan DPR RI tidak mendapat persetujuan dari Pemerintah, maka DPR RI tidak dapat melakukannya secara sepihak.
Tahapan penyelenggaraan pilkada, menurut dia, sudah berjalan dan di sisi lain proses hukum terhadap dua partai politik yang menghadapi persoalan internal masih berlangsung.
Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) ini mempertanyakan, apakah dalam situasi seperti saat ini masih dapat melakukan revisi UU Pilkada. “Saya kira kita semua harus bersikap rasional,” katanya.
Menurut Zulkifli, jika memaksakan revisi UU Pilkada, sementara masih ada partai politik yang menghadapi konflik internal dikhawatirkan dapat membuat kegaduhan politik.
(RIZA HARAHAP/ANT)