DEPOK, koranmadura.com -Sebanyak 27 Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama menolak pemilihan dengan sistem Ahlul Halli Wal Aqdi (Ahwa) pada Muktamar Nahdlatul Ulama ke-33 di Jombang Jawa Timur, pada 1-5 Agustus 2015.
“Kami secara tegas menolak rencana sistem Ahwa dalam muktamar nanti. Saya minta agar Keputusan Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama pada Sabtu (14/6) tentang Ahwa harus dicabut,” kata Rais Syuriah PWNU Lampung, KH Ngaliman dalam keterangan tertulisnya, Kamis.
Menurut dia, proses yang dilakukan tidak bisa dibenarkan dan terkesan dipaksakan karena peserta tidak diberikan ke-sempatan yang cukup untuk menyampaikan pendapat. “Kita menolak sistem Ahwa di Muktamar NU ke-33 nanti,” tegasnya.
Menurutnya, kalau cara-cara ini diteruskan pihaknya akan melakukan sesuatu. Hal senada dikatakan oleh Rais Syuriah (PWNU) Sulawesi Tengah (Sulteng) Dr KH Jamaluddin Mariajang menilai PBNU telah melanggar Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART). Dikatakannya, ada upaya memprovokasi dan memaksakan sistem Ahwa sebagai sistem pemilihan Rais Am dalam Munas Alim Ulama tersebut.
“Ini sudah melanggar organisasi dan melecehkan AD/ART. Sebab, sampai saat ini kita masih memakai AD/ART hasil Muktamar yang lalu. Munas tidak bisa menggantikan Muktamar,” ujarnya.
Pihaknya menyesalkan karena selama ini keberadaan PWNU dan PCNU selalu diabaikan. “Jangan anggap orang-orang daerah tak mengerti organisasi,” tegasnya.
Ke-27 Provinsi yang menolak, yaitu Lampung, Sulawesi Tengah, Aceh, Riau, Bali, NTB, NTT, Sulawesi Tenggara, Gorontalo, Sulawesi Barat, Maluku, Maluku Utara, Papua dan Papua Barat.
Selanjutnya, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Kepulauan Riau, Jambi, Bengkulu, Sumatera Selatan, Bangka Belitung, Banten, Jawa Tengah, Kalimanatn Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara.
Ansor Pasang Badan
Gerakan Pemuda Ansor (GP Ansor) siap mengamankan keputusan Munas Alim Ulama Nahdlatul Ulama (NU) yang menyepakati mekanisme pemilihan Rais ‘Aam Syu-riyah dengan metode ahlul halli wal aqdi (ahwa) atau musyawarah mufakat para kiai senior dalam Muktamar NU nanti. Metode tersebut sudah diputuskan dalam Munas Alim Ulama yang merupakan forum tertinggi setelah muktamar, serta dihadiri oleh 27 dari 34 pengurus wilayah NU ditambah anggota pleno PBNU yang terdiri dari pengurus harian Syuriyah, Tanfidziyah, A’wan, dan Mustasyar, serta Ketua Lembaga, Lajnah dan Badan Otonom. Karena itu, tidak ada alasan bagi siapapun yang mengatasnamakan NU untuk menolaknya.
“Kalau ada yang tidak setuju, kenapa tidak hadir dan berargumentasi di depan para kyai? Di depan para syuriyah yang lain? terutama di depan para kyai sepuh?,” kata Ketua Umum GP Ansor, Nusron Wahid dalam keterangannya beberapa saat lalu Kamis, (18/6).
Sikap tegas GP Ansor tersebut me-respons adanya pihak yang dinilainya berupaya mementahkan apa yang telah diputuskan Munas Alim Ulama NU terkait dengan mekanisme pemilihan Rais ‘Aam pada Muktamar ke-33 nanti.
Nusron mengingatkan kembali bahwa pemimpin tertinggi di NU itu memang adalah Syuriyah. Sementara Tanfidziyah hanyalah pelaksana organisasi. Untuk itu, dia mempertanyakan jika justru posisi Syuriyah hanya dikerdilkan soal keagamaan. “Syuriyah itu pemimpin tertinggi di NU, yang punya bawahan namanya tanfidziyah. Jangan malah sebaliknya syuriyah diatur tanfidziyah,” ujarnya.
Dengan posisinya sebagai pemimpin tertinggi di NU, lanjut dia, maka tidak sepatutnya juga ketika Munas yang mereka gelar dipertanyakan hanya karena tanpa adanya Konbes. “Apa tidak diperbolehkan para syuriyah kumpul dan membahas masalah syuriyah tersendiri?,” ungkapnya.
(GAM/ANT/FERU)