
Penulis : Insan Nurrohiem
Penerbit : Safirah, Yogyakarta
Cetakan : I, 2015
Tebal : 196 halaman
ISBN : 978-602-255-703-6
Pada 1 Syawal 1436 Hijriyah, umat Islam merayakan Hari Raya Idul Fitri. Selama perayaan, masyarakat berkunjung ke rumah sanak-famili dan tetangga untuk bersilaturahmi, yang dikenal dengan sebutan halal bi-halal.
Bahkan, beberapa pejabat negara juga mengadakan open house bagi masyarakat yang ingin bersilaturahmi. Silaturrahmi tersebut dimaksudkan untuk melepas segala dosa yang telah diperbuat. Idul Fitri merupakan momentum untuk mensucikan diri sebagaimana awal penciptaan manusia. Namun, bisakah manusia terlepas dari perbuatan dosa sepanjang hayat?
Buku Ngegemesin Tapi Jerumusin karya Insan Nurrohiem ini menjelaskan beragam bentuk perbuatan maksiat yang menyebabkan pelakunya berdosa. Agar tidak terjerumus pada perbuatan tersebut, penulis menyajikan definisi dan bahaya dosa sehari-hari. Hal ini sebagai gambaran kepada pembaca agar terhindar dari dosa.
Dosa berasal dari bahasa Sansekerta. Kata ‘dosa’ biasanya digunakan dalam konteks keagamaan untuk menjelaskan perbuatan-perbuatan yang melanggar hukum agama atau bertentangan dengan prinsip-prinsip moral. Dosa sering digunakan untuk mengacu kepada perilaku yang dianggap salah satu dilarang dalam agama, terutama dalam Islam dan Kristen. Dalam agama monoteistik, cara perilaku sehari-hari diatur oleh Tuhan (hal. 14).
Salah satu contoh perbuatan dosa adalah takabur. Abu Hamid al-Ghazali berkata tentang bahaya takabur. Menurutnya, takabur menjadi hijab untuk masuk surga. Takabur merupakan penghalang antara hamba dengan seluruh akhlak orang yang beriman. Akhlak tersebut adalah pintu-pintu surga, sedangkan takabur dan merasa diri besar, mengunci seluruh pintu tersebut karena ia tidak mampu bertawadu. Padahal, tawadu adalah pokok akhlak orang yang bertakwa yang di dalamnya terdapat kemuliaan (hal. 96-97).
Buku Ngegemesin Tapi Jerumusin ini akan menjadi petunjuk kepada pembaca agar tidak terjerumus pada perbuatan dosa. Terlepasnya perbuatan dosa dari diri seseorang akan menyebabkan dirinya optimis dalam menjemput maut. Tidak heran jika ada yang mengaku rindu bertemu Tuhan. Tersebab, ia telah memiliki bekal untuk menjemput ajal.
Mawas diri agar tidak melakukan maksiat pasca Ramadan merupakan langkah bijaksana untuk mensucikan diri dari perbuatan dosa. Puasa Ramadan selama sebulan penuh sebagai upaya dan media untuk mencetak insan yang bertakwa kepada Allah SWT. Kondisi ketakwaan manusia akan menjadi barometer dan kendali terhadap perilaku maksiat, dosa, dan pergaulan yang tidak sehat. Jika manusia mampu meraih takwa yang sesungguhnya, maka ia telah merayakan Idul Fitri sepanjang hayat. Semoga! [*]
Oleh: Suhairi Rachmad
Mahasiswa Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surabaya