Ramadan dan Industri Musik Pop Religi
Kita baru saja melewati bulan suci Ramadan. Bagi pelaku industri musik tanah air Ramadan memang membawa berkah tersendiri. Bagaimana tidak, ini adalah momen yang sangat penting dan tidak boleh terlewati begitu saja. Para musisi-musisinya pun tak kalah sigap dengan momentum yang hanya setahun sekali ini. Mereka berlomba-lomba memproduksi lagu-lagu religi; musik yang mereka anggap akan laku berkat momentum. Dapat kita lihat, bahkan sebelum bulan Ramadan tiba, musik pop religi mulai membanjiri televisi, radio dan gerai-gerai busana muslim di negeri ini. Sekilas fenomena ini tampak begitu berarti untuk perkembangan musik di tanah air. Geliat tangan-tangan kreatif para musisi muda memang terlihat sangat antusias dan ini menjadi kebanggaan tersendiri.
Namun sadarkah kita semua, bahwa musik religi yang kita “konsumsi” saat ini secara umum adalah musik yang itu-itu saja. Nyaris tidak berbeda dengan musik-musik pop pada umumnya. Mereka para pelaku industri hanya sedikit memoles pada lirik dan sedikit aransemen agar terkesan “religius” dalam musiknya. Seperti disebutkan dalam teori musik pop Adorno; seorang musisi terlatih, komposer praktis, ahli teori musik, dan jawara musik garda depan nonkomersial, bahwa musik pop yang dihasilkan oleh industri budaya didominasi oleh dua proses: standardisasi dan individualisasi semu. Di sini gagasannya adalah bahwa lagu-lagu pop makin lama makin kedengaran mirip satu sama lain. Lagu-lagu itu semakin banyak dicirikan oleh suatu struktur inti, yang bagian-bagiannya dapat dipertukarkan satu sama lain. Namun demikian, inti ini disembunyikan oleh tambahan-tambahan sampingan, kebaruan, atau variasi gaya yang direkatkan pada lagu-lagu tersebut sebagai tanda kekhasan yang sudah diduga (Strinati, 2007: 73). Artinya, ciri khas yang selalu disebut-sebut sebagai karakter dari lagu-lagu pop maupun religi itu pada dasarnya sudah terkonsep dan dibangun rapi oleh para pelaku industri sehingga masyarakat otomatis menyetujui tanpa melalui proses pengkajian dan pemilahan atas sesuatu yang mereka konsumsi.
Penulis memang tidak menampik adanya musisi-musisi cerdas yang memang memiliki hasrat kuat terhadap musik yang berbau religi seperti Ahmad Dhani. Lagu-lagu ciptannya sebenarnya banyak terinspirasi dari penyair sufi, Jalaluddin Rumi. Walaupun nge-Rock, namun kandungan liriknya sangat religius. Begitu juga dengan Opick, beliau konsisten dengan lagu religinya. Bahkan lagu Dealova ciptaannya masih tetap religius walaupun lagu itu sebagai sebuah Original Soundtrack film drama. Bimbo sebagai kelompok musik senior akhirnya juga dicirikan sebagai kelompok religius. Berawal dengan lagu Tuhan karya Sam Bimbo dan kemudian berlanjut dengan album qasidah di sekitar tahun 1974. Kini para pelaku industri musik pop mulai ikut-ikutan mereligiuskan diri demi komersialisasi dan keuntungan.
Musik Qasidah Tak Tersentuh Industri
Jika para pelaku industri musik memiliki insting kuat, mestinya mereka tidak hanya menomorsatukan musik pop dalam industri musik religi tanah air. Terutama saat bulan Ramadan. Banyak jenis musik yang sebenarnya lebih pas dan lebih tepat untuk ikut bersaing dalam industri musik religi di Indonesia, misalnya Qasidah.
Musik Kasidah (sekarang Qasidah) diperkirakan muncul awal tahun 60-an. Grup musik Assabab dari Semarang dianggap sebagai grup kasidah pertama yang muncul dengan penyanyi andalan Juwariyah. Kelompok ini dipimpin oleh M. Zain dan selalu membawakan lagu-lagu arab padang pasir. Konon grup ini terkenal dari pulau Jawa hingga Kalimantan. Seiring berjalannya waktu, musik kasidah semakin berkembang. Terbukti pada tahun 70-an muncul grup-grup musik kasidah di daerah-daerah. Misalnya di Sumatra muncul grup musik kasidah rebana dengan penyanyi yang sekaligus pimpinannya, Hj. Nur Asiyah Jamil, di Jakarta juga lahir kasidah rebana pimpinan H. Muhamad Dong dan Grup Al Fatah pimpinan A. Rahmat, terakhir di Jawa Timur, tepatnya di Gresik muncul grup rebana Giri Nada milik pemerintah kabupaten Gresik.
Nasida Ria, salah satu grup kasidah modern asal semarang yang berdiri sekitar tahun 1975 juga berawal dari grup-grup rebana. Namun ide-ide baru yang muncul dari benak M. Zain selaku perintis dan pengelola, membuat grup ini memiliki genre tersendiri. Ciri khas mereka adalah vokalis dan musisi pendukungnya terdiri dari wanita berjilbab. Jika kasidah rebana lebih dominan menyanyikan lagu-lagu irama padang pasir berbahasa arab, Nasida Ria menggunakan lirik berbahasa Indonesia, walaupun juga memiliki dua album berbahasa arab.
Tema musik kasidah juga menyeluruh. Mulai dari persoalan sosial, ekonomi dan politik seperti lagu Reformasi (Nasida Ria), Damailah Palestina (Nasida Ria), Kedudukan (Almanar), bahkan lagu Perdamaian dari Nasida Ria akhirnya di aransemen ulang oleh band senior Gigi dan masuk dalam album religinya pada tahun 2004. Maka dari itu penulis menyebut musik qasidah (dulu kasidah) sebagai musik religi sepanjang masa. Lirik-liriknya yang mudah dicerna dan bercerita tentang dua sisi kehidupan: dunia dan akhirat, akan senantiasa up to date dan tak akan lekang oleh waktu.
Ramadan memang telah berlalu namun penulis berharap tulisan ini dapat menjadi refleksi diri terutama bagi mereka, para pelaku industri musik Indonesia. Genre musik di Indonesia yang beragam mestinya memiliki kesempatan yang sama dengan musik pop religi untuk bersaing, paling tidak saat bulan Ramadan. Apalagi musik kasidah termasuk bercirikan Indonesia. Pengalaman bermusik Nasida Ria ke Eropa dan ke beberapa belahan dunia lain serta pengalaman konser yang tidak terhitung jumlahnya hendaknya dijadikan pelajaran penting bahwa ada grup kasidah yang berkualitas. Mereka musisi profesional, mereka membawa misi kebudayaan dan keagamaan yang sebenarnya. Dan yang paling penting, mereka mengkampanyekan tentang kebenaran tanpa memilah dan memilih waktu. [*]
Oleh: Moh. Khatibul Umam
Praktisi Seni. Alumnus Program Studi Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta.