
Penulis : Moh. Fathor Rois
Penerbit : Zaman, Jakarta
Cetakan : Pertama, 2015
Tebal : 180 Halaman
Kisah perjalanan spiritual Nabi Musa dan Nabi Khidir menjadi kisah legendaris yang hingga kini diyakini sebagai kisah penuh hikmah sepanjang masa. Bahkan, kisah tersebut terekam dalam kitab suci Alquran surat al-Kahfi ayat 66. Beberapa hadis pun mengabadikan sosok Nabi Khidir.
Siapakah sebenarnya Khidir, siapakah keluarganya, bagaimana status spiritualnya, apakah dia seorang nabi atau seorang wali? Dalam buku Nabi Khidir; Menyimak Kisah dan Hikmah Kehidupan, Moh. Fathur Rois mengupas siapa sebenarnya sosok misterius yang dikenal sebagai guru spiritual Nabi Musa a.s. itu.
Selama ini, orang-orang biasa menyebut tokoh gaib ini dengan sebutan Hidir, Khidir, atau yang lebih fasih lagi menyebutnya Khidhir. Padahal, sebutan yang benar menurut Imam Nawawi dan Ibnu Hajar al-Asqalani adalah Khadhir (kha’-nya fathah dan dhad-nya kasrah), hanya saja boleh dibaca Khadlr atau Khidlr (kha’-nya fathah atau kasrah dan dhad-nya sukun). Tetapi, sebutan itu sebenarnya hanyalah laqab (julukan). Namanya adalah Balya putra Malkan, keturunan Nabi Nuh a.s. dari jalur Sam. Kunyah-nya adalah Abul Abbas.
Tentang masa hidupnya pun ada beberapa pendapat. Abu Ja’far ibn Jarir dalam kitabnya at-Tarikh berkata, “Menurut kebanyakan ahli kitab yang lama, Khadhir hidup pada masa Raja Afredon. Menurut pendapat lain, dia adalah komandan pasukan terdepan yang mengawal perjalanan Iskandar Dzul Qarnain yang Agung yang hidup pada masa Nabi Ibrahim a.s.”. Dan menurut pendapat itu juga, Khadhir sampai di Nahrul Hayat (sungai kehidupan) dan meminum airnya sehingga dia kekal dan hidup sampai sekarang. Sedangkan Iskandar tidak menemukan sungai itu (halaman 17).
Namun, tentang kekekalan hidup Khadhir itu pun tak lepas dari perdebatan-perdebatan. Hal itu telah menjadi topik perdebatan panjang dan sengit di antara ulama. sebagian, khususnya kaum sufi, berkeyakinan bahwa Khadhir masih hidup sampai sekarang. Sebagian yang lain, khususnya para muhadditsin (ahli hadis, berkeyakinan Khadhir telah wafat.
Golongan pertama berpegangan pada sejumlah hadis yang menceritakan pertemuan Khadhir dengan Rasulullah saw. dan para sahabat sesudahnya, bahkan dengan sejumlah ulama, dari dulu sampai sekarang. Sedangkan golongan kedua mendasarkan keyakinannya kepada satu hadis shahih yang menyatakan bahwa tidak ada orang di muka bumi yang hidup melebihi seratus tahun dari hijrahnya Rasulullah saw., sedangkan hadis-hadis yang diceritakan oleh golongan pertama dipandang lemah dan tidak bisa dijadikan hujjah (halaman 28).
Sementara itu, tidak ditemukan nash yang sharih (secara tegas) menyebutkan status Khadhir; apakah dia seorang nabi, rasul, atau lainnya. Tetapi, kisahnya bersama Nabi Musa a.s. mengisyaratkan bahwa dia seorang nabi. Isyarat itu bisa ditangkap di antaranya dari ucapan Khadhir sendiri yang diceritakan oleh Allah dalam QS al-Kahfi: 82; “Dan aku tidak melakukannya menurut kehendakku sendiri.”
Ucapan itu menunjukkan bahwa semua perbuatan Khadhir dilakukan berdasarkan ‘pesan’ langsung dari Allah Swt., tanpa perantara lain. Dan, ‘pesan’ itu adalah wahyu, bukan ilham. Karena ilham tidak punya kekuatan hukum seperti wahyu sehingga bisa dijadikan dasar untuk merusak bahtera yang membahayakan banyak orang, apalagi dijadikan dasar untuk membunuh anak yang belum berbuat dosa. Logikanya, Khadhir telah menerima wahyu dari Allah. Dan setiap orang yang menerima wahyu adalah nabi (halaman 23).
Dalam buku 180 halaman ini, penulis juga menyertakan puluhan kisah hikmah antara Khadhir bersama Dzul Qarnain, Musa a.s., bersama Rasulullah saw., Khadhir dengan Jibril, hingga kisah Khadhir dan para sahabat seperti Umar ibn Khatthab, Ali ibn Abi Thalib, dan yang lainnya.
Penyuguhan kisah-kisah Nabi Khidir sejak masa Nabi Muhammad hingga masa modern membuat karya ini lebih kaya, sekaligus menjadikan sosok Nabi Khidir kian misterius. Dengan menyelisik kitab-kitab klasik dan referensi-referensi terkini—menjadi keunggulan dibandingkan dengan karya-karya serupa—buku ini mengulik seluk-beluk sosok paling misterius sepanjang masa dalam khazanah Islam. [*]
Oleh: Untung Wahyudi
Alumus UIN Sunan Ampel, Surabaya