Tepat tanggal 8 September 2015 lalu diperingati sebagai Hari Aksara Internasional (HAI) ke-50. Tema Hari Aksara Internasional tahun ini adalah ”Literacy and Sustainable Societies”. Ketika berbicara tentang keaksaraan atau literasi dan masyarakat yang berkelanjutan, akan berjalin kelindan dengan kompetensi setiap manusia dalam membaca dan menulis.
Setiap manusia yang mampu membaca dan menulis akan mampu melakukan gerak langkah pembangunan yang berkelanjutan, begitu pun sebaliknya. Hal menarik selanjutnya adalah apakah kita selaku bangsa sudah bebas dari buta aksara untuk menjadi bangsa yang melakukan pembangunan secara berkelanjutan? Apakah masyarakat kita sudah bisa membaca dan menulis, menjadi manusia-manusia yang bergerak maju dengan kekuatan literasinya?
Data Direktorat Jenderal Pendidikan Non Formal dan Informal (PNFI) Departemen Pendidikan Nasional sebagaimana dilansir Jum’at (12/06/2009) menyebutkan, jumlah penduduk yang buta aksara masih sekitar 9,7 juta atau 6% dari jumlah penduduk se-Indonesia. Lebihironislagi, Indonesia juga sedang berpotensi melahirkan penduduk buta aksara sekitar 600 ribu orang per tahun. Hal ini didasarkan pada masih adanya jumlah besar penduduk yang masih sama sekali tidak memperoleh akses layanan pendidikan dasar. Mereka meliputi para anak jalanan dan anak di daerah terpencil. Mengenai anak di daerah terpencil, mereka tersebar di daerah Provinsi Banten yang berada di 106 desa sebab belum memiliki sekolah dasar atau madrasah ibtidaiyah. Hal tersebut juga diperparah oleh angka DO (dropout) tiap tahun pada sekolah dasar yang diperkirakan berjumlah 483 ribu orang. Secara garis besar, DO lebih banyak terjadi pada anak kelas 1-3 sehingga potensi buta hurufnya sekitar 300 ribu. Direktur Pembinaan Pendidikan Masyarakat Ditjen Paudni Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Wartanto juga mengatakan bahwa angka rata-rata nasional buta huruf mencapai 4,2 persen dari jumlah penduduk Indonesia (17/05/14).
Merujuk pada data tersebut, maka kondisi sedemikian merupakan satu pukulan sangat berat bagi sebagian besar masa depan pendidikan anak bangsa ke depan. Mereka dipastikan akan menjadi manusia-manusia yang tidak mampu mengukir masa depan dirinya, termasuk demi kepentingan lingkungan dimana mereka tinggal. Mereka justru akan berkalang dengan kehidupan yang gelap gulita. Mereka tidak mampu menjadi manusia-manusia yang berkualitas. Sehingga dengan demikian, anak-anak Indonesia harus siap kehilangan masa depan.
Harapan besar demi meraih kehidupan yang lebih baik dan paling baik tinggal retorika belaka. Mereka akan menjadi manusia gelandangan yang harus meringkuk dalam hidup yang serba susah. Imbasnya, mereka terkadang sangat rentan menjadi tumbal kepentingan segolongan tertentu yang mencari keuntungan di atas penderitaan mereka. Dijadikan budak atau kuli dan dipekerjakan dengan upah sangat rendah merupakan satu keniscayaan tak terbantahkan.
Akibat Ketidakadilan
Diakui maupun tidak, persoalan penduduk buta aksara bukan lahir tanpa sebab. Ada asap, pasti ada api. Dalam konteks ini, kejadian tersebut timbul karena akses memperoleh pendidikan bagi semua kalangan sangat terbatas. Anak-anak miskin sangat susah mendapatkan pendidikan karena orangtua mereka tidak memiliki biaya. Lebih parah lagi, sekolah sebagai pusat pendidikan terkadang mematok harga tinggi dalam pembiayaan pendidikannya sehingga anak-anak miskin tidak cukup dana untuk bersekolah (baca: realitas).
Hal sedemikian kemudian diikuti oleh keseriusan dan komitmen politik pemerintah dalam mengawal pendidikan yang mudah diakses oleh siapapun juga belum dijalankan secara maksimal dan optimal (bila tidak harus dikatakan sangat gagal). Korupsi dana pendidikan oleh oknum pejabat tertentu di tingkat pusat dan daerah merupakan salah satu indikator yang menghambat pemberantasan buta. Atas kondisi ini, maka cukup mustahil bila yang miskin kemudian memasuki dunia pendidikan.
Oleh karenanya, ketika realitas pendidikan sudah sedemikian terpuruk dan angka kemiskinan pendidikan sudah merajalela, banyak anak bangsa tidak mampu bersekolah, maka kini bangsa ini harus rela disebut sebagai bangsa yang sangat buta aksara. Prof. Dr. Winarno Suracmad menyebut bangsa sedemikian sebagai bangsa yang sedang mengidap busung pendidikan.
Kegagalan Negara
Ketika jumlah penduduk yang sedang busung pendidikan berjumlah besar, menjadi indikator kegagalan negara dalam melahirkan masyarakat yang melek pendidikan. Seharusnya negara sangat bertanggung jawab memberikan pelayanan pendidikan kepada semua rakyatnya dari Sabang sampai Merauke, namun hal tersebut belum maksimal.
Mereka diabaikan haknya untuk bisa menikmati perbaikan dan peningkatan kualitas hidup agar bisa lebih baik ke depannya. Padahal Konstitusi 1945 sudah tegas menyatakan bahwa negara sangat bertanggung jawab dalam melayani pendidikan semua warga negaranya dan wajib membiayainya. Dalam konteks yuridis formal, ketika negara tidak menjalankan hal tersebut, ini merupakan sebuah pelanggaran konstitusi.
Tugas Mulia
Para elit di tingkat pusat termasuk daerah memilik itugas berat dan mulia untuk segera melakukan terobosan-terobosan kebijakan yang seyogyanya mampu melakukan pemberantasan besar-besaran terhadap anak Indonesia yang masih buta aksara. Tugas besar Presiden Joko Widodo adalah segera turun tangan langsung dan memberikan instruksi tegas kepada para bawahannya agar kenyataan tentang kemiskinan pendidikan yang masih menghantam jutaan anak Indonesia segera disudahi.
Terlepas dari hal tersebut, amanah sedemikian kemudian harus dijalankan secara nyata dan praksis dalam bentuk kebijakan-kebijakan pendidikan yang pro kepentingan bangsa, seperti membuka akses pelayanan pendidikan murah. Sehingga Slogan kerja, kerja, dan kerja Joko Widodo harus dibuktikan dalam bentuk pelayanan pendidikan yang bisa diakses semua lapisan sosial, terutama kalangan menengah ke bawah. [*]
Oleh: Moh. Yamin
Dosen di Universitas Lambung Mangkurat (Unlam) Banjarmasin