
Penulis : Badruddin, Gugun El Guyanie, Muhyidin Basroni
Penerbit : Cakrawala Media
Cetakan : 1, Maret 2015
Tebal : XIV + 134 halaman
ISBN : 978-602-1905-63-0
Perdebatan tentang kretek beberapa waktu ini sangat deras terdengar. Bahkan isu demikian turut menguat dalam diskusi Islam Nusantara di kantor Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, Jakarta tiga bulan sebelum dilangsungkanya Muktamar NU di Jombang, terdapat perbincangan antara kretek dan kopi yang bertaut dalam kurun sejarah pada pergantian abad ke-20.
Seorang pembicara dari diskusi itu menyatakan bahwa dua komoditas itu bersinggungan dengan ulama pesantren, yang menegaskan identitas keislaman konteks Nusantara.
Spontan, pernyataan itu direspon peserta diskusi yang menegaskan Islam Nusantara bukan soal Kretek atau kopi. Terlepas dari pernyataan tersebut, kita tau pada Nahdlatul Ulama terdapat forum diskusi yang disebut dengan bahtsul masail.
Dikisahkan dalam kegiatan batsul masail tahun 1990-an di kota Kretek Kudus, menurut beberapa tuturan kiai NU di kota Kudus, diantaranya K.H Sya’roni Ahmadi, beliau adalah kiai karismatik asal Kota Kudus yang juga termasuk mustasyar (penasehat PBNU). Dikisahkannya dalam forum batsul masil di masjid Kudus yang kebanyakan pesertanya adalah kiai yang berafiliasi ke NU. Kebetulan dalam forum tersebut tengah mendiskusikan hukum rokok, kemudian ditengah perdepatan seorang kiai kharismatik Mbah Tur (Turaichan Adjuhri) yang sangat disegani mendatangi forum bahtsul masail yang tengah berjalan. Ia bertanya pada peserta forum tentang apa yang sedang dibahas. Ketika mengetahui bahwa yang dibahas adalah hukum rokok, Mbah Tur langsung meminta rokok, menyalakan api dan menghisapnya, kemudian berkata, “Kalo begitu, ayo silahkan dibahas”. Apa yang dilakukan Mbah Tur adalah aksi simbolik atas beragam pendapat bahwa rokok bukan perkara haram. (hlm 29)
Selain yang terjadi di kudus, juga didapati kisah senada. Suatu saat ada empat mufti (ulama ahli fatwa) asal Yaman mendatangi Guru Ijai di Martapura. Kedatangan empat mufti ke Indonesia tidak lain mendiskusikan hukum kretek yang menurut mereka haram. Di luar dugaan mereka Guru Ijai menyambut dan menemui mereka sambil menghisp kretek tanpa henti. Dengan demikian sekian lama mengobrol, para mufti tidak sedikitpun menyinggung hukum orang merokok, hal demikian tidak lain dikarenakan sudah jelas bagaimana hukum dan jawaban Guru Ijai. (hlm 81)
Sementara sejauh yang dapat ditelusuri, para ulama pesantren telah merumuskan sikap secara akademis dan Ilmiyah terhadap hukum Kretek, paling tidak sejak paruh akhir abad ke-19 dan awal ke-20 melalui kitab-kitab yang ditulis Syeh Ihsan Jampes (Kediri) dan Gurunya KH. Ahmad Dahlan (Semarang). Kitab Syeh Ihsan Jampes, berjudul Irsyadul Ikhwal Li bayani Syurbil Qohwah Wad Dukhun (Petunjuk kepada saudara, Penjelasan minum kopi dan rokok), merupakan puitisasi dan komentar terhadap kitab karya guru beliau KH. Ahmad Dahlan, Tadzkirotul Ikhwan fi Bayani Qohwah wad Dukhun (Pengingat kepada saudara, penjelasan hukum kopi dan rokok).
Sementara karya ulama Nusantara yang juga masih memiliki pembahasan senada adalah, kitab yang berjudul Nazhatul Ifham fi ma Ya’tarid Dukhun minal Ahkam (Kilasan pemahaman tentang hukum-hukum seputar rokok). Namun naskah kitab ini masih berupa manuskrip dan dikoleksi perpustakaan Universitas King Saud, Arab Saudi. [*]
Oleh: Ridwan Bagus Dwi Saputra
Aktif di Samoedra Aksara Institut Yogyakarta. Mahasiswa Pasca Sarjana UIN Yogyakarta.