Oleh: Abrari Alzael
Budayawan
Apa yang salah dari negeri ini? Ketika nelayan mencari ikan, mati. Ia membunuh dirinya sendiri melalui potasium untuk mengebom rumah ikan. Ada amarah yang luar biasa dimana mereka tidak hanya ingin menangkap, tetapi menghancurkan tempat hunian habitat ikan. Nelayan, sepintas, mirip koruptor yang tidak hanya ingin mengambil dahan dan reranting. Melainkan batang tubuh dan akar pohon juga mau dicongkel. Ini negeri apa atau bagaimana seharusnya?
Berjalan di hutan, orang-orang membakar pohon. Asap mengepul, mengepung nusantara. Kapal tak bisa terbang. Orang-orang kembali mati karena tak bisa bernafas, sesak, dan rongga seperti terhimpit. Begitu juga ketika berjalan di padang pasir, di kawasan laut kidul, orang-orang juga mati. Ada yang sengaja membunuh di sana, disebabkan oleh angin. Ini bagaimana atau ini negeri siapa?
Negeri ini ibarat Sisilia dimana banyak faksi. Kelompok yang kuat, memangsa sesamanya untuk hidup. Berekor-ekor musang jumlahnya, berkelahi memperebutkan isi kandang ayam yang sama. Ini kleptokrasi dimana banyak pihak berkomplot, berebut sisa bangkai pada bau yang tak terdengar meski ia tepat di depan batang hidungnya. Tak ada lagi manusia pada rongga dada terutama ketika semua menjadi serba buas demi kekayaan, kejayaan, dan uang.
Kleptokrat yang berafiliasi dengan pemilik hobi yang sama dari unsur lain, tetap saja bernama penjahat meski ia penegak hukum. Mafia tidak perlu menunggu lama untuk memanfaatkan posisi istimewa ini. Seperti Don Calò, ia menggendutkan diri sebagai raja di pasar gelap pasca perang yang merajalela. Begitu pula para bos lainnya seperti Giuseppe Genco Russo, yang ditunjuk Sekutu sebagai pejabat di kota masing-masing. Ia, sesungguhnya penjahat pada baju pejabat yang dikenakannya, mafioso.
Mafia, di mana pun tempatnya, termasuk di negeri ini merasa bebas menjarah isi gudang koperasi dan ruangan serdadu untuk mengambil senjata. Mafia memiliki segalanya; kekuasaan, kehakiman, pembelaan, ketahanan, dan keamanan. Mereka menjual barang-barang itu di pasar gelap Palermo. Begitu pula, di Villalba, seluruh kekuasaan berada di tangan mafia ; rumah ibadah, bank, perkantoran, dan markas yang berwajib, berada dalam genggaman keluarga kejahatan yang sama. Bahkan, mafia juga menjadi apapun pada saat yang sama dimana para penegak hukum meminta pertolongan kepada para mafia.
Tanah ini telah dipenuhi kaum gangsterisme yang berkolusi untuk menggergaji setara Al Capone di jamannya. Mafia lebih mempunyai akar dalam kultur setempat, dan menikmati hubungan yang lebih dekat dengan politik serta unsur-unsur terdasar dalam masyarakat. Mafia didukung aristokrasi dan difasilitasi bangsawan sebagaimana Mussolini, waktu itu. Dan kini, di sini, di negeri ini.
Di era Jahiliyah ribuan tahun lalu, kebodohan selalu dialamatkan ke jaman itu. Kini, waktu telah kembali bahkan jauh lebih terperosok dan tak bisa bangkit lagi. Indonesia menjadi jelaga baru bagi para mafia yang menindas, membunuh, dan sadis. Demokrasi Pancasila berubah menjadi Pancak Silat Kleptokrasi yang mewabah dan mengamputasi kuasa rakyat pada kedaulatan yang tercerabut. Indonesia sebagai sebuah nama, tidak berbeda jauh dengan Indomafia yang menganut trias corruptika. (*)