Dewasa ini, Indonesia tengah sibuk bersiap menghadapi realisasi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) atau pasar bebas di akhir 2015. Melalui pasar bebas ASEAN ini diharapkan mampu menyelesaikan persoalan ekonomi bangsa, karena semua elemen masyarakat bisa mengekspresikan keinginanya secara kompetitif.
Namun di tengah persiapan itu, Indonesia justru sedang terpuruk di sektor ekonomi, bahan-bahan pokok semuanya naik, nilai rupiah semakin anjlok dan lain sebagainya. Dalam MEA ini, ASEAN sebagai pasar dan basis produksi tunggal perekonomian. Dari sini diharapkan perekonomian Asia lebih dinamis dan kompetitif dalam persaingan ekonomi global. Karenanya, di dalamnya terdapat inisiatif ekonomi; mempercepat integrasi regional di sektor-sektor prioritas; memfasilitasi pergerakan bisnis, tenaga kerja terampil dan bakat; dan memperkuat kelembagaan mekanisme ASEAN.
Melihat idealnya cita-cita dari MEA itu, dalam konteks ke-Indonesia saya justru pesismis para tenaga kerja Indonesia bisa bersaing dalam pasar bebas ASEAN. Bahkan saya memprediksi akan terjadi “masyarakat perbudakan” jilid dua di Indonesia. Istilah masyarakat perbudakan merupakan istilah yang dipopulerkan oleh Karl Mark dalam mengkritik hegemoni kekuatan kaum Borjuis atau kaum Kapital yang banyak dipengaruhi pemikiran Adam Smith. Pada saat itu, kelompok-kelompok masyarakat ploretar (kaum buruh) hanya menjadi pesuruh dan budak kaum borjuis karena ia tidak mampu bersaing secara modal. Fenomena masyarakat perbudakan berpotensi kembali terjadi di Indonesia kala sistem pasar bebas direalisasikan secara nyata di ASEAN. Karena secara umum, sejatinya Indonesia belum siap untuk menghadapi pasar bebas ASEAN itu.
Mengapa saya katakana seperti itu karena beberapa alasan. Pertama, mutu pendidikan tenaga kerja masih rendah, di mana hingga Febuari 2014 jumlah pekerja berpendidikan SMP atau dibawahnya tercatat sebanyak 76,4 juta orang atau sekitar 64 persen dari total 118 juta pekerja di Indonesia. Kedua, ketersediaan dan kualitas infrastuktur masih kurang sehingga memengaruhi kelancaran arus barang dan jasa. Ketiga, sektor industri yang rapuh karena ketergantungan impor bahan baku dan setengah jadi. Keempat, keterbatasan pasokan energi. Kelima, lemahnya Indonesia menghadapi serbuan impor, dan sekarang produk impor Tiongkok sudah membanjiri Indonesia. Karenanya, bagaimana mungkin Indonesia bisa bersaing secara kompetitif jika kondisi Indonesia seperti itu.
Perlu Pesiapan Strategis
Menjelang MEA yang sudah di depan mata, pemerintah Indonesia diharapkan dapat mempersiapkan langkah strategis dalam sektor tenaga kerja, sektor infrastuktur, dan sektor industri. Karena dampak MEA ini sangat besar terhadap kehidupan ketenagakerjaan. Jangan sampai kita menjadi budak di negeri sendiri. Sebagaimana yang kita tahu, dampak dari MEA adalah pasar bebas di bidang permodalan, barang dan jasa, serta tenaga kerja.
Karena, meski tercatat sebagai negara yang memiliki kekayaan sumber daya alam melimpah ruah dengan luas dan populasi terbesar di antara negara-negara lainnya di ASEAN, namun melihat kondisi perekonomian saat ini, Indonesia sejatinya masih belum siap menghadapi Masyarakat Ekonomi Aseanpada tahun 2015. Bahkan hampir semua pengamat ekonomi mengatakan skeptis atas kesiapan Indonesia menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean.
Untuk sektor ketenaga kerjaan, Indonesia termasuk lemah untuk bersaing. Sebagaimana data yang dilansir Kementerian Ketenagakerjaan pada tahun 2014 tenaga kerja Indonesia yang berpendidikan dibawah SMP mencapai 76, 4 juta orang atau sekitar 64 persen. Data ini mungkin bisa dijadikan pintu masuk pemerintah untuk mempersiapkan tenaga kerja yang berdaya saing di level pasar bebas ASEAN. Karena jika pendidikan tenaga kerja Indonesia rendah, maka bukan tidak mungkin kita juga akan kalah bersaing di ranah ketenagaan.
Selanjutnya yang perlu dipersiapkan dalam MEA ini ialah ketersediaan dan kualitas infrastuktur. Hingga saat ini, kualiatas infrastruktur perekonomian kita kurang memadai. Bagaimana mungkin Indonesia mau bersaing pasar secara bebas sementara infrastruktur yang ada tidak memadai standar kualitas disamping karena memang sektor industri kita lemah dan rapuh. Sektor ndustri yang rapuh ini dikarenakan bangsa Indonesia amat mengalami ketergantungan terhadap impor bahan baku dan bahan setengah jadi. Selain itu, pasokan energi sangat terbatas.
Hal-hal itulah yang perlu segera dibenahi oleh pemerintah sebelum MEA pasar bebas itu benar-benar terealisasi. Kalau kita tidak mampu meningkatkan daya industri, dikhawatirkan produk Indonesia kalah bersaing, tidak hanya di ASEAN, tapi juga di negeri sendiri. Begitu juga dengan tenaga kerja kita jika tidak mempunyai daya saing maka akan menjadi budak di Negeri sendiri dan jika hal-hal itu masih bermasalah, maka kesejahteraan melalui MEA itu hanya akan menjadi ilusi.
MEA merupakan momen penting karena akan memberikan peluang kepada pelaku usaha di Indonesia untuk memperluas pasar bagi produk-produk industri nasional. Di lain pihak, pemberlakuan MEA juga akan menjadi tantangan, mengingat penduduk Indonesia yang sangat besar akan menjadi tujuan pasar bagi produk-produk negara ASEAN lainnya. Kehadiran MEA sebenarnya berpotensi mengembangkan perekonomian rakyat Indonesia sejalan dengan akses yang semakin luas terhadap pasar di semua negara anggota ASEAN.
Oleh karena itu, pasar keuangan yang semakin terbuka ini, sejatinya mesti disikapi pemerintah dengan langkah strategis juga pelaku ekonomi Indonesia yang umumnya masih bersifat tradisional agar menjadi peluang dengan mendorong pelaksanaan langkah-langkah strategis sebagaimana dideskripsikan diatas. Sehingga harapan awal terciptanya MEA yaitu agar dapat meningkatkan kesejahteraan semua penduduk di wilayah-wilayah tersebut benar-benar menjadi kenyataan. Dan jika tidak ada perbaikan strategis dari pemerintah dari segala sektor perekonomian, maka MEA hanya akan mengantarkan rakyat Indonesia pada kondisi” masyarakat perbudakan”. Wallahu A’lam. [*]
Oleh: Mushafi Miftah
Dosen Pemikiran Ekonomi IAI Nurul Jadid Paiton Probolinggo