Senja masih merekah di langit, sendu sekali. Deburan ombak menggulung lautan, menjadi buih ketika menyentuh pantai, lalu menjilati telapak kaki perempuan berambut panjang yang sedang menari di pantai. Tubuhnya sangat gemulai memainkan ritme di setiap gerakan. Tidak lupa juga, di lehernya tergantung selendang kuning beraroma melati. Mulutnya terus mendendangkan syair Sikambang Bendahari dan dia pun ingin menjadi seperti dayang-dayang putri Runduk itu. Betapa tidak, setiap hari perempuan berpipi tirus ini mendatangi pantai, dia menari, berdendang, sampai senja benar-benar hilang. Seperti Sikambang Bendahari yang datang ke pantai sambil berdendang karena merindukan putri Runduk yang menenggelamkan diri ke dalam lautan, begitu juga dengan dirinya. Dia sedang merindukan anaknya yang berlayar mencari ikan di laut tak bertuan, namun belum juga kembali. Perempuan itu sudah berhari-hari memendam rindu, ingin dia menuntaskannya, namun apa daya. Dia hanya melampiaskannya ke lautan yang menyimpan cerita untuk anaknya.
Kemarin, warga yang tinggal di pesisir ini saling bercerita tentang badai yang terjadi beberapa hari lalu. Mereka mencemaskan kapal-kapal yang berlayar, membayangkan kejadian yang mengerikan. Karena badai yang terjadi benar-benar membuat cemas.
“Mereka bilang bang Salim hampir gila saat kembali dari lautan. Untung saja tetua kampung ini cepat mengobatinya,” ucap salah seorang yang ada di warung wedang jahe. Dia membuka cerita pada beberapa orang yang duduk di warung itu.
“Memangnya kenapa dia?” tanya si lelaki gendut yang duduk di hadapan lelaki tadi.
“Menurut cerita orang kepercayaan tetua kampung kita, si Salim melihat ada api yang membakar lautan. Sebab itu dia ketakutan hebat dan hampir gila.” Lelaki itu terlihat menggebu saat bercerita.
“Jin laut itu… tidak salah lagi, pasti yang dilihatnya itu jin laut.” Timpal lelaki yang duduk di belakang si lelaki gemuk.
“Tidak hanya itu, dia juga melihat ada kapal yang ikut terbakar api itu.”
“Aku pun menyayangkan perahu si salim itu. Tidak ada lambang burung dari ijuk menempel di perahunya, jadi tidak ada yang menangkalnya,” tambah si lelaki gemuk itu, mengungkapkan penyesalannya.
“Mungkin juga dia menunjuk ke arah api itu. Bukannya kita harus diam saja jika melihat api itu?” Pertanyaan terakhir itu pun berasal dari si pembuka cerita. Orang-orang yang ada di warung wedang jahe saling diam dalam pikiran mereka masing-masing.
Perempuan berusia lanjut itu membiarkan airmatanya menetes saat sedang menari. Jantungnya berdebar cepat, dia begitu cemas setiap kali mendengar ucapan orang kampung perihal anaknya yang belum kembali. Mereka mengatakan bisa saja kapal yang membawa anaknya telah terbakar, seperti apa yang dilihat oleh Salim beberapa waktu lalu. Karena memang sudah tiga bulan kapal itu belum juga kembali.
“Perahu dan kapal telah menepi di pantai dan dermaga. Matahari senja sudah ditelan dalamnya lautan. Suara ombak masih bernyanyi tentang kehampaan. Tuntunlah aku, atau bawa saja aku pergi,” ucap perempuan itu pada lautan yang sudah menghitam.
Tubuh perempuan itu rubuh di atas pasir basah, dia menangis sejadinya. Tidak hanya menari di pantai, perempuan itu juga menggantung kain hitam di depan pintu, menurut cerita yang pernah di dengarnya, kain hitam dapat menangkal bala. Bagaimana juga dia takut dengan apa yang diceritakan Salim padanya, lelaki kurus itu menyabarkan hatinya, dia pun ikut menangis. Seolah-olah apa yang dilihatnya waktu itu adalah apa yang ditakutinya selama ini. Hatinya menggigil saat membayangkan apa yang dilihat Salim. Bagaimana juga, dia ingin anaknya kembali. [*]
Oleh: Sawaluddin Sembiring
Lelaki yang bangga menjadi orang Indonesia ini selalu menyukai apa pun tentang hujan, juga laut. tulisan-tulisannya pernah di muat di berbagai media cetak.