Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat hingga Agustus 2015, terdapat 7,56 juta orang yang menganggur. Angka pengangguran tersebut meningkat sebanyak 0,24 persen dibanding periode yang sama pada tahun sebelumnya.
Munculnya sinyal angka pengangguran ini layak menjadi tema krusial yang harus dikritisi. Sebab, implikasi angka pengangguran tersebut tak hanya berdimensi ekonomi, tetapi lebih luas dapat memicu gejolak sosial politik. Disinilah keadaan ekonomi kita sudah melewati keadaan force majeure.
Dengan kondisi ekonomi yang force majeure ini, persoalannya sudah sangat jelas, dari sekian banyak pemetaan keadaan, dengan meningkatnya angka pengangguran sesungguhnya menjadi lonceng akhir sekaligus tanda peringatan pertama bagi pemimpin bangsa ini untuk hadir dan membantu masyarakat yang tengah dibayang-bayangi nasib ekonominya.
Paket kebijakan ekonomi jilid I, II, III, IV, V dan VI yang telah dirilis oleh pemerintah diharapkan menjadi senjata dan solusi yang benar dan tepat. Solusi yang diberikan setidaknya sebuah stimulus yang konkret dan mampu menyentuh pada core persoalan yang sesungguhnya.
Solusi yang demikian bisa terwujud jika pemerintah betul-betul memiliki pemahaman yang baik atas persoalan yang dihadapi rakyat. Di sinilah pemerintah harus berani jujur melihat kondisi rakyatnya dengan mata kepala sendiri. Jujur melihat kondisi rakyat menjadi syarat untuk memperoleh pemahaman yang utuh dalam melihat persoalan yang terjadi. Sehingga kebijakan yang dibuat menjadi solusi yang tepat.
***
Disisi lain, kita tahu bahwa dibanding dengan sektor lain, ternyata selama setahun terakhir sektor konstruksi telah mampu menyerap tenaga kerja sebanyak 930 ribu orang. Hal ini terjadi dengan alasan adanya pergeseran tenaga kerja dari sektor pertanian ke sektor industri, namun karena adanya kenyataan lemahnya daya serap sektor industri, sehingga menjadi penyebab angkatan kerja bergeser masuk ke sektor konstruksi dan sebagian menganggur. Jika alasan ini dianalis maka kesimpulan dari akar alasan ini adalah sesungguhnya menyangkut persoalan dampak transformasi struktur ekonomi Indonesia yang tidak beres. Dimana laju transformasi struktur ekonomi Indonesia dari sektor agraris menuju sektor industri manufaktur ternyata tidak diikuti dengan penguatan daya serap tenaga kerja di sektor industri.
Apalagi kita tahu, dimana industri manufaktur Indonesia pada umumnya menggunakan bahan baku impor yang berjumlah besar, sehingga sangat rentan resiko kurs. Terutama ketika nilai tukar rupiah melemah terhadap valas. Dampak dari itu adalah biaya operasional produksi menjadi meningkat siginifikan dan pilihan untuk melakukan inefisiensi jumlah tenaga kerja menjadi pilihan yang kerap dilakukan korporasi. Disinilah menjadi persoalan awal yang kerap berkontribusi bagi peningkatan angka pengangguran yang mentradisi pada tiap terjadi gejolak kurs.
Dengan kondisi demikian, sesungguhnya sektor industri kita amatlah rapuh dan sulit lepas dari bayang-bayang resiko kurs dan gejolak global. Sedikit saja terjadi gejolak global, dapat dipastikan ekonomi kita akan mudah goyah dan jika itu terjadi maka gelombang PHK tidak mungkin bisa kita hindari. Jika fondasi dan struktur industri kita kuat maka sesungguhnya gejolak global sebagai masalah faktor eksternal yang tak perlu dikhawatirkan.
Peningkatan angka pengangguran sesungguhnya dampak dari lemahnya fondasi dan struktur industri dalam negeri, ditambah adanya ketidakberesan transformasi struktur ekonomi kita. Disinilah tugas jangka panjang pemerintah, dengan membenahi dan membangun bantalan industri yang kuat. Setidaknya sebagai upaya untuk membendung gelombang pengangguran yang kerap terjadi.. Tentu ini adalah persoalan mendasar yang hasilnya bersifat jangka panjang,.
Namun persoalan angka pengangguran adalah problem sosial-ekonomi yang memerlukan penanganan jangka pendek, dimana dampaknya yang harus mampu langsung menyentuh dan mengangkat kesejahteraan rakyat. Mengingat bahwa sektor konstruksi selama setahun ini terbukti mampu menyerap tenaga kerja yang cukup siginifikan dibanding sektor lainnya. Di sinilah bagaimana good government atau belanja pemerintah terutama di sektor infrastruktur mampu menjadi penyelamat dan lebih jauh dapat membendung gelombang pengangguran yang lebih besar. Ini bisa terjadi jika realisasi penyerapan RAPBN 2016 berjalan dengan baik, terutama serapan di sektor infrasruktur.
***
Mengingat agenda ekonomi utama pemerintahan Jokowi adalah pembangunan infrastruktur. Dalam belanja di sektor infrsatruktur ini, sesungguhnya sejak awal Government Spending itu sebagai obat bagi sikap optimisme pemerintahan Jokowi dalam mencapai ambisi target pertumbuhan ekonominya di kisaran 5 persen, obat bagi pembenaran analisis para ekonom bahwa proyeksi pertumbuhan ekonomi itu mensyaratkan adanya percepatan Government Spending (belanja pemerintah). Obat bagi para Kepala Daerah yang optimis bahwa Government Spending (belanja pemerintah) yang mencakup sektor konsumsi dan investasi dapat menghindari PHK masal. Dan yang lebih penting adalah obat bagi para elit pengambil kebijakan ekonomi (yang punya hati) bahwa agar sekiranya jutaan harkat dan martabat rakyat Indonesia tidak jatuh ke jurang kemiskinan. Obatnya itu, yang ditunggu dan digadang-gadang jadi obat mujarab; yaitu dengan Government Spending dipercepat, baik APBN maupun APBD kondisi ekonomi dapat teratasi.
Realisasi percepatan belanja modal pemerintah (Government Spending) terutama di sektor proyek infrastrukur diyakini oleh pemerintah Jokowi sebagai penyelamat dan sekaligus obat untuk menumbuhkan optimisme pengusaha dan pasar.
Di sinilah RAPBN 2016 yang baru saja disepakati haruslah sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Dengan dibuktikan realisasi yang mampu mengangkat roda ekonomi nasional. Hal ini bisa terwujud jika kualitas kinerja birokrasi berjalan sesuai dengan semangat efektifitas dan efisisiensi. [*]
Oleh: Wahyudi
Pengurus Yayasan Wakaf Manba’ul ‘Ulum. Mantan Direktur I PT WF Indo