Masih terasa segar di tenggorokan, di tengah teriknya suhu udara belakangan ini. Sumatera yang penuh debu, berasap pula. Di Madura yang konon disebut belum modern, nyatanya disatukan rindu, walau tanpa ujung. Bila menghitung setiap detik pergantian waktu, menanti dan terus menunggu, masih adakah keajaiban?
Di sudut sebuah cafe, seorang pria muda, Gagah, duduk sendiri. Tangannya sibuk mengaduk-aduk gelas berisi jus alpukat. Cangkir kaca bening itu, sedianya tak perlu diaduk karena blender telah mencincang alpukat sampai luluh, larut dalam senyawa nabati. Di sisi gelas alpukat, sepiring omelette tersaji rapi. Lengkap dengan irisan tomat dan daun selada. Dipandanginya makanan itu. “Andai Nadia di sini…,” seketika, pikiran Gagah berkelana setelah berkata dalam hati.
Ia menyusuri sederet kenangan bersama gadis anggun nan lembut yang dicintai, Nadia. Gadis yang membuatnya menanggung rindu berkepanjangan. Gadis yang sengaja menutup diri pada banyak lelaki hanya untuk seorang Gagah yang sangat istimewa. Perempuan yang membuatnya jatuh hati sejatuh-jatuhnya, meski terpisah jarak dan lautan. Aaahhhh… inikah cinta itu?
Logika, mengapa tiba-tiba menjadi alien. Ia terasing ketika cinta membuat putaran bunga-bunga tulip di sekitar kepala. Sudah berminggu-minggu Nadia menghilang. Sejak pertengkaran diantara mereka malam itu. Padahal, tidak ada kata putus serupa say good bye. Mungkinkah, Nadia hanya ingin menenangkan diri dan menjernihkan pikiran yang kacau karena perselisihan itu?
Sudah ratusan kali Gagah mencoba hubungi ponselnya. Tapi selalu tidak aktif. Sekali lagi, Gagah meraih ponsel di atas meja. Disentuhnya lagi layar ponsel yang tertulis nama Nadia di situ. Jawaban yg sama dari operator terdengar sempurna, “Nomer yang anda tuju sedang tidak aktif atau berada di luar jangkauan. Cobalah beberapa saat lagi…”
Ia, menghela nafas panjang, “Nadia di manakah dirimu?” Gumam Gagah mulai lirih. Diseruputnya jus alpukat yang sedari tadi hanya diaduk. Terasa hambar! Padahal jika diminum orang biasa yang tidak terbebani masalah, jus alpukat itu sungguh nikmat sekali, dingin, dan berr!
Sesekali, diirislah omelette pesanannya. Ia melahapnya perlahan meski terasa tak enak di mulut. Hanya satu hal yg dirasakannya : rindu. Yah, rindu! Lalu berderet pertanyaan muncul di benaknya : Apakah rindu harus diproklamasikan? Haruskah sebuah rindu diperjuangkan? Perlukah ditanya mengapa? Di tengah kegalauan yang nyaris putus asa, tiba-tiba ponsel Gagah berdering. Ada nama Nadia di sana.
Oh Tuhan, benarkah ini? Segera Gagah terima panggilan di ponselnya “Hallo Nadia, di mana?”
“Di hatimu, mas..,” Jawab suara di ujung telpon. Bagai disiram air es di tengah gurun Sahara bersuhu 50 derajat celcius, Gagah pun tersenyum. Bahagia, kekasihnya telah kembali. Begitulah! Jus alpukat rasa rindu. Ditaburi bubuk cemburu dan khawatir di atasnya. Diminum di sudut sebuah cafe, bersanding dengan plain omelette, menu favorit mereka, sepasang kekasih yang menanggung rindu.
Purnama, malam itu begitu hening. Sebait puisi menerobos pekat ketika lelap nyaris menyentuh kabut. Ada rindu yang terbata-bata menyelinap masuk ke ruang yang sangat pribadi. Ada degub yang tidak teratur pada saat rindu mendedahkan napak tilas sejarah. Di sana, semua percaya bahwa rasa itu tak perlu diberi nama, rindu, atau bukan rindu. Namun hati ini, tak ingin terbelenggu untuk sekedar mendemokratiskan kata. Meski jarak ini begitu jauh, tetapi kenangan itu sebentuk artefak dimana setiap orang berjuang melawan lupa. “Nadia, aku hanya ingin memanggilmu Nda, itu saja, bila lebih dari itu tak ada asa,” ujarnya, lirih. Ia kembali menatap purnama, sesempurna mungkin. (*)
Sumenep, 5 November 2015
Cerpen: Ani Purnama
Radio announcer, Singer and Mother