Oleh: Miqdad Husein
Kolumnis asal Madura, tinggal di Jakarta
“Jadilah pemeluk agama yang cerdas. Karena Tuhan tak ingin ditaati tanpa kesadaran berpikir,” tulis seseorang di jejaring sosial. “Tuhan tak ingin ditaati atas dasar kebodohan manusia,”tutur lainnya. “Sikap ikut-ikutan atau taqlid dilarang dalam beberapa ajaran agama,” kata lainnya.
Kalimat sejenis berwarna mengingatkan tentang betapa penting kesadaran berpikir dalam proses beragama, masih berderet panjang. Semua menegaskan bahwa agama mengajarkan manusia agar mengerti, memiliki kemampuan berpikir dan bukan membodohi apalagi memanipulasi demi kepentingan yang jauh dari rasional.
Deretan bernada mengingatkan itu merupakan respon terkait merebaknya kasus Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar). Sebuah kelompok keagamaan yang tergolong luar biasa dalam mempengaruhi masyarakat untuk masuk menjadi anggotanya. Luar biasa karena seseorang yang masuk Gafatar bisa terseret sangat jauh bahkan sampai meninggalkan seorang suami, seperti kasus dr. Rica.
Seorang pengamat sosial Nawala Pradipta sempat terkejut menyaksikan dari dekat kelompok Gafatar. Aktivitas mereka tergolong sangat luar biasa, katanya. Bayangkan, banyak anggota Gafatar adalah orang tua berprofesi sudah mapan seperti dokter, psikolog, sarjana komputer, guru, pengusaha. “Mereka itu rela hidup di tempat terasing di pedalaman dengan fasilitas sangat minim; rela membawa anak-anak masih balita ke dalam lingkungan asing serta kurang fasilitas, melakukan pekerjaan berat bertani,” papar Nawala, seperti dikutip detik.com.
Ironisnya, mereka ketika ditanya tentang agama dan tujuannya datang ke Menpawah, Kalbar menjawab hampir sama bahwa agama urusan pribadi. Tujuannya bertani memperbaiki kehidupan. Padahal mereka sebelumnya tergolong memiliki kehidupan mapan secara ekonomi.
Inilah sebagian data dan fakta tentang aktivitas Gafatar. Jauh lebih banyak ditemukan hal bersifat irrasional dibalik kerumunan mereka yang belakangan terusir dari Menpawah, Kalbar itu. Ada sesuatu yang seharusnya menjadi perhatian serius terutama oleh kalangan agamawan terkait bagaimana mereka memahami agama.
Ada proses pemahaman agama Islam diduga berbeda. Namun di sini perbedaan persepsi dan pemahaman keagamaan memperlihatkan adanya indikasi faktor-faktor di luar agama. Sebut saja, semacam idiologi yang entah untuk kepentingan apa. Jadi agama bukan menjadi satu-satunya faktor yang melatarbelakangi pengelompokan mereka. Lagi-lagi agama terlihat hanya sebagai alat kepentingan. Melalui pendekatan agama mempengaruhi masyarakat untuk masuk dalam lingkungan Gafatar.
Di sinilah lagi-lagi diperlukan peran tokoh agama dalam memberikan pemahaman keagamaan agar tak ada atau minimal berkurang kasus-kasus penyalahgunaan agama untuk kepentingan. Mudah diduga mereka yang terpengaruh mengikuti gerakan Gafatar itu –jika mencermati latar belakang sosialnya- lebih disebabkan kurangnya pemahaman keagamaan.
Sudah saatnya, di era sekarang ini agama tidak lagi diposisikan dan dipahami semata-mata sebagai doktrin tanpa memberikan ruang berpikir. Bahwa agama turun demi kepentingan manusia serta atas dasar kebutuhan kebutuhan seluruh aktivitas hidup manusia termasuk ketersediaan ruang pengembangan pemikiran manusia.
Penghargaan pada akal dan pemikiran dari agama bila dikembangkan serta dipahami para penganut agama, akan dapat menjadi semacam proteksi dari penyalahgunaan agama sejenis Gafatar, yang di negeri ini jumlahnya menurut MUI mencapai sekitar 150 jenis. Rasionalitas keagamaan dapat diharapkan menjadi antibodi penangkal penyalahgunaan agams sehingga tak ada lagi yang terpeleset ajaran kontradiktif berkedok agama. [*]