Semburat jingga kemerah-merahan mewarnai senja di langit kota. Di kampung kami yang tak luput dari bising knalpot motor-motor pun juga debu-debu bercampur asap yang mengandung karbonmonoksida, sayup-sayup terdengar suara parau kakek-kakek dari corong masjid. Anak-anak kampung berlarian sambil menjinjing kitab Iqro’ di tangan mungil mereka. Seraya mengoceh, kaki-kaki mungil mereka berlari secepat mungkin agar segera sampai di masjid. Di persimpangan jalan, ada seorang ibu muda berteriak mewanti-wanti anaknya.
“Mamat…! Hati-hati! Nanti kalo lu jatoh siape yang mau ngurusin lu?”
Si Mamat bergeming. Ia sudah berlari sekuat tenaga sampai tergopoh-gopoh, takut k
alah dari Enceng, teman ngajinya.
Ibunya hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. “Ealah tuh anak. Bandel banget dah. Hehh!” Ia macak pinggang. Geregetan.
Dedi
Dari kejauhan, aku hanya bisa tersenyum memperhatikan. Apa yang kulihat barusan tak ubahnya sinetron. Hampir setiap hari terjadi lagi. Bukan hanya hari ini, kemarin, dua hari yang lalu, tiga hari yang lalu, seminggu atau bahkan sebulan yang lalu, tapi mungkin pemandangan itu akan terus berlanjut sampai esok, lusa, minggu depan, dan seterusnya. Dan aku akan selalu menyaksikan ulah si Mamat lantas tersenyum geli. Kadang sampai tertawa.
Ohya, perkenalkan, namaku Dedi. Usiaku dua puluh tahun. Sulung dari tiga bersaudara. Sebenarnya bukan sulung sih. Aku anak kembar. Kembaranku bernama Dea. Aku yang lahir duluan. Makanya, aku mengaku sulung. Meski, konon, yang lahir belakangan sepantasnya menjadi kakak. Karena konon, dan hanya konon, kakak selalu mengalah kepada adiknya.
Senjakala seperti ini adalah jadwalku menjaga toko kecil-kecilan milik Emak. Sedari tadi aku duduk di depan kios sambil membaca buku atau majalah. Sesekali aku hanya duduk diam memperhatikan setiap orang yang lewat dan berharap mereka akan mampir untuk sekadar membeli sabun atau sebatang rokok kretek.
Di antara sekian pemandangan yang paling kutunggu ketika menjaga toko adalah saat si Mamat dan kawan-kawannya datang bergerombol berlarian di depan kios. Apalagi saat ibunya berteriak-teriak memanggilnya. Tak jarang memang aku tertawa terpingkal-pingkal. Karena, jujur saja, aku pikir, Mamat itu hampir mirip denganku pas kecil dulu. Jadi, setiap kali melihatnya, seolah aku melihat diriku sendiri di masa lalu.
“Dedi! Ingat! Tidak perlu berlari! Ayah tidak mau melihatmu jatuh dan terluka seperti kemarin lagi!” Kata-kata itu masih terngiang di kepalaku. Saat itu, ayah memperingatkanku agar tidak berlari ke masjid. Hari kemarin, kakiku tersandung batu. Tubuh mungil gempalku jatuh mencium jalan yang berdebu hingga terluka.
Aku mengangguk. “Baik, Ayah.” Lantas, aku berjalan pelan sebelum akhirnya Komar, teman ngajiku, mengajakku lomba lari. Dasar anak bandel, aku tak menghiraukan pesan ayah. Aku pun berlari dan kudengar teriakan ayah jauh di belakang sana. Tak sampai sepuluh detik, kakiku tersandung batu lagi. Aku terjerembab jatuh. Saat kucoba tuk berdiri, aku tak bisa. Lutut dan telapak tanganku berdarah. Luka kemarin semakin parah. Beberapa saat kemudian, ayah datang dan langsung menggendongku.
“Mas Dedi? Mas? Mas?” Seseorang melambai-lambaikan tangannya di depan wajahku. “Mas melamun ya?” Ia bertanya. “Beli obat nyamuk, Mas. Dua biji,” ujarnya tanpa menunggu jawaban dariku.
Aku segera beranjak masuk ke dalam kios. Di benakku, masih terlintas bayang sosok ayah yang menggendongku sampai ke rumah.
Ah, Ayah. Dedi dulu bandel,Ya? Maafkan Dedi ya, Yah. Semoga Ayah cepat pulang. Dedi kangen Ayah.
Dea
Di dalam rumah, aku sibuk menyiapkan bekal untuk nanti malam. Emak membantuku mengambilkan lauk, memasukkannya ke dalam plastik, lantas mengumpulkannya dengan nasi yang telah dibungkus dan memasukkannya ke dalam ranselku.
Perkenalkan. Namaku Dea. Satu-satunya gadis di antara tiga bersaudara. Aku kembaran Dedi. Tapi, Dedi laki-laki. Kami serupa, tapi tak sama. Meski, kata Nenek, betapapun ketidaksamaan kami, pasti batin kami saling berkaitan. Alasannya, karena kami kembar.
Beda sama Dedi yang bertugas menjaga toko milik keluarga, aku bekerja di sebuah supermarket di kecamatan. Kebetulan, minggu ini dapat bagian jaga malam. Jadi, mau tidak mau aku harus membawa bekal sendiri.
“Sudah dimasukkan semua barang-barangnya, Dea?” Emakku bertanya. Tangannya menjulurkan ransel merah hati padaku.
“Sudah, Mak. Brosur-brosur yang dititipkan Bos Besar juga sudah Dea masukin kok,” jawabku.
Emak menatapku sepintas. “Hati-hati di jalan ya, Nak. Ingat Allah. Jangan lupa dzikir di jalan. Takut-takut ntar kesambet setan.”
Aku meraih tangan wanita berkepala empat itu yang badannya mulai melar. “Iya, Mak. Dea ingat kok.” Kucium punggung tangannya. “Dea berangkat dulu ya, Mak. Assalamualaikum!”
“Waalaikum salam! Hati-hati loh Dea!”
Aku membalas dengan senyuman sambil beranjak keluar. Di luar, kudapati Dedi sedang meladeni pembeli gadis SMA yang belakangan kudengar ternyata naksir padanya.
“Aku berangkat kerja dulu, Ded,” ujarku.
“Okey!” Sahut kembaranku.
Akhirnya, aku berjalan keluar hingga ke mulut gang. Di sana, sudah ada angkot menunggu. Aku mempercepat langkah. Dalam hitungan detik, aku sudah berada di dalam kendaraan umum itu. “Bismillah…,” ucapku seraya memejamkan mata.
Di saat itulah, Yah, kulihat dirimu hadir. Dulu, kaulah yang selalu mengantarku ke mana pun aku pergi. Kaulah yang menjagaku. Kapan kau akan pulang, Yah? Dea ingin sekali ditemani Ayah lagi.
Day
Aku Day. Aku anak bungsu. Aku masih duduk di kelas dua SD. Setiap menjelang maghrib begini, aku disuruh mengaji ke masjid oleh Emak. Katanya, aku harus bisa mengaji agar bisa bertemu dengan Ayah. Padahal, aku tidak suka mengaji di masjid. Teman-temanku selalu mengolok-olokku karena ayahku tak pulang-pulang. Aku kesal sekali saat mereka bilang ayahku tak akan kembali ke rumah lagi. Jadi, tak jarang aku berkelahi dengan mereka hanya karena mereka mengata-ngatai ayahku.
Ayah. Kapan Ayah akan pulang? Aku sebal pada teman-temanku yang selalu menggangguku. Kata mereka, aku tak punya ayah. Padahal, kata Emak, kalau Day bisa mengaji, Day akan bertemu dengan Ayah.
Ayah. Ayah kapan pulang? Day ingin sekali melihat wajah Ayah. Day ingin sekali diteriaki agar tidak berlari saat pergi ke masjid seperti yang diceritakan Mas Dedi. Day ingin sekali diantar dan ditemani ke mana saja seperti yang diceritakan Mbak Dea.
Ayah. Ayah kapan pulang? Day sungguh rindu pada Ayah. Meski, Day tak bisa ingat apa-apa tentang Ayah. Kata Emak, Ayah pergi ketika Day masih bayi.
Ayah, kapan pulang?
Cerpen: Faris Maulana Akbar
Lahir di Bangkalan, 11 Mei 1995. Menempuh pendidikan di perguruan tinggi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.