Sejak dulu, kerukunan umat beragama di Indonesia selalu dirawat, sebab beragam keyakinan dan agama mewarnai tanah yang menjadi bagian dari Asia Tenggara ini. Tapi itu ternodai dengan munculnya sebuah gerakan yang tidak mencerminkan adanya nilai kerukunan umat beragama. Misalnya, perusakan tempat ibadah yang di baliknya tersemat label agama tertentu. Bila ditelisik lebih jauh, setidaknya persoalan di atas muncul ke permukaan akibat adanya radikalisasi agama.
Radikalisasi agama umumnya disebabkan pemahaman atau (lebih jauh lagi) penafsiran yang tidak utuh terhadap ajaran agama. Penafsiran yang tidak utuh itu kemudian memunculkan anggapan bahwa hanya agamanyalah yang paling benar, sementara agama lain salah. Hal itu lalu diwujudkan dalam bentuk aksi anarkis dengan merusak tempat ibadah agama orang lain.
Sebenarnya pemerintah sudah mencanangkan konsep untuk menjaga kerukunan umat beragama, tepatnya pada era tahun 1970-an. Konsep pemerintah itu dikenal dengan sebutan ‘Tri Kerukunan Umat Beragama’. Isinya adalah kerukunan intern umat beragama, kerukunan antar umat beragama, dan kerukunan antara umat beragama dengan pemerintah. Hal itu lahir dari kesadaran akan fakta bahwa Indonesia terdiri dari berbagai agama dan keyakinan.
Konsep kerukunan intern umat beragama ini untuk menjamin perbedaan pandangan (madzhab) dalam satu agama yang sangat berpotensi melahirkan konflik. Sebut saja Islam, di dalamnya ada banyak madzhab, juga ada banyak ormas keagamaan yang berbeda. Perbedaan sumber penghayatan antar madzhab terbukti mendorong terjadinya disharmonisasi inter agama, dan pada akhirnya melahirkan konflik. Karenanya, ukhuwah islamiyah menjadi sangat penting untuk terus dijadikan pijakan, sehingga meski berbeda madzhab dan penafsiran, akan tetap hidup rukun dan berdampingan.
Sementara konsep kerukunan antar umat beragama didesain guna mendorong saling menghargai antar penganut agama dan keyakinan yang berbeda. Hal itu memang perlu ditumbuh-kembangkan agar tidak ada rasa saling curiga, sebab hal itu hanya akan memicu timbulnya niat mengganggu ketentraman hidup pemeluk agama lain. Dengan konsep itu pula, kehidupan antar pemeluk agama dan penganut keyakinan yang berbeda akan terhidar dari belitan konflik.
Sedangkan konsep kerukunan antara umat beragama dengan pemerintah semata-mata untuk membuka ruang komunikasi seluas-luasnya bagi keduanya untuk menjaga kondusifitas negara dari dalam. Diharapkan, sinergisitas antara umat agama yang biasanya diwakili pemuka agama dengan pemerintah akan memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa.
Sekarang yang perlu diperhatikan adalah upaya merawat dan berusaha mengaplikasikan tri kerukunan umat beragama itu dalam kehidupan sehari-hari perlu dimaksimalkan. Kita ketahui bersama bahwa konsep itu dirumuskan dengan teliti dan bijak agar tidak terjadi pengekangan atau pengurangan hak-hak manusia dalam menjalankan kewajiban dari ajaran-ajaran agama yang diyakininya. Karenanya, sangat tidak elok bila konsep itu dirusak hanya demi kepetingan tertentu.
Ketika kondusifitas di dalam negara terjamin, maka akan berimbas pada meningkatnya rasa nasionalisme. Umat beragama akan semakin merasa sangat memiliki dan menyintai negara yang udaranya terhirup tiap detik, jika keamanan dan ketentraman tidak terusik oleh sesuatu apa pun, lebih-lebih yang ditimbulkan oleh isu keagamaan.
Mewaspadai Rongrongan Nasionalisme
Adanya kelompok tertentu yang hendak memecah-belah NKRI, juga kelompok yang ingin mengubah asas negara, perlu diwaspadai. Kelompok itu kini terus berusaha untuk eksis ke permukaan dengan berbagai cara. Ada yang ingin mengubah sistem pemerintahan yang sudah berjalan menjadi khilafah, juga ada yang menghendaki berdirinya negaranya Islam. Menariknya, kelompok yang ingin memecah-belah NKRI ini memakai simbol agama untuk memuluskan rencananya. Cara apa pun dilakukan, termasuk tindak kekerasan, sehingg terkesan memaksakan kehendak.
Upaya kelompok itu sudah terkategori merongrong nasionalisme yang sudah terbangun. Sebab, jika misi yang dibawa sudah merasuki alam pikiran seseorang, maka nasionalisme yang ada akan pudar perlahan. Celakanya, kelompok itu kini tampaknya sudah banyak pengikut. Dengan kata lain, mereka sudah berhasil memecah NKRI dari dalam. Banyak orang tidak menganggap Pancasila sebagai asas negara, meski mereka masih berdiri di tanah Indonesia.
Sebagian masyarakat yang masih kokoh nasionalismenya berupaya mengonter gerakan kelompok itu melalui berbagai forum diskusi, maupun lewat tulisan di media massa. Bahkan juga terjun langsung ke masyarakat untuk berdiskusi dengan berbagai elemen tentang kewajiban mempertahankan kesatuan NKRI. Isu nasionalisme menjadi senjata yang mesti ditancapkan dalam pikiran tiap kepala yang ditemui.
Dan upaya itu akan lebih sempurna bila sigap ketika melihat aksi anarkis dengan mengkomunikasikan langsung kepada negara. Selain itu, juga menjadi motor gerakan deradikalisasi untuk mengajak kelompok itu kembali mengakui Pancasila sebagai asas negara, karena bagaimana pun kelompok itu juga masih warga negara Indonesia.
Peran negara juga sangat signifikan untuk memperkokoh nasionalisme pada tiap warga negaranya. Salah satu yang dilakukan (barangkali) adalah memasukkan pentingnya menjaga nasionalisme dalam materi-materi pelajaran di bangku sekolah hingga perguruan tinggi. Tapi perlu disadari, kelompok-kelompok itu kini semakin mengakar. Negara tampaknya perlu memikirkan cara lain untuk menjaga keutuhan NKRI. [*]
Oleh: M. Muhri
Ketua PC GP ANSOR Kabupaten Sumenep