SUMENEP-Siapa sangka, Ahmad Fauzi yang kini menjadi Wakil Bupati Sumenep mendampingi A. Busyro Karim itu, dulu ternyata sempat bingung dalam memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari.
Dalam kesempatan menutup acara sekolah menulis yang digelar Komunitas Jurnalis Sumenep (KJS), Koran Madura dan Lembaga Rumah Ilmu, Ahmad Fauzi mengungkapkan bahwa setelah lulus dari Madrasah Aliyah ia sempat mengalami masa-masa galau. Ia sempat bingung bagaimana cara agar bisa mandiri dan tidak menjadi pengangguran.
“Akhirnya, waktu itu saya menjadi pedagang beras. Ya, itu pekerjaan yang mungkin tidak bisa kita bayangkan,” ujarnya sambil terkekeh mengenang masa-masa sulitnya.
Diakuinya, berdagang beras sebenarnya tidak membuatnya enjoy, sebab hal itu dirasa bukan jatidirinya yang sebenarnya. “Mungkin bukan karena saya melihat pekerjaan berdagang itu tidak mulya, tapi lebih karena dunia saya memang bukan di situ. Apalagi waktu itu saya merasa tidak akan pernah kaya bila saya tetap di situ, sebab untungnya tidak seberapa,” ungkapnya sembari terbahak.
Karena merasa bisa punya pekerjaan yang lebih bagus daripada berdagang beras, akhirnya Fauzi berangkat ke Jakarta. Ia mencoba mengais rezeki di kota besar tersebut dengan rencana yang sebenarnya belum matang dari awal.
Di Jakarta, Fauzi mengaku mengerjakan apa saja secara serabutan untuk bisa bertahan hidup. “Pokoknya apa saja, yang kalau saya kerjakan di Sumenep pasti saya malu,” jelasnya sambil tersenyum.
Masa itu, menurut Fauzi dijalaninya selama kurang lebih 4 tahun. “Terakhir saya menjadi sales barang-barang perabotan rumah tangga dan bangunan. Dan saya kembali merasa itu bukan saya yang sebenarnya. Saya merasa masih bisa lebih baik dari itu,” ucapnya.
Singkat cerita, suatu ketika tanpa sengaja ia membaca sebuah koran. Di dalamnya ia menjumpai peluang untuk bisa menulis opini. “Saya jadi teringat bahwa dulu saya pernah ikut pelatihan menulis dan bahkan menjadi redaktur buletin saat sekolah. Karenanya saya kemudian mencoba menulis untuk Koran tersebut. Saya pergi ke rental komputer, mengetik di sana, saya kirimkan lewat email, dan Alhamdulillah tulisan itu ditolak,” katanya disambut tawa para peserta.
Beberapa kali Tulisan Fauzi tidak dimuat, namun ia tidak pernah putus asa. Ia mencoba mengkaji kekurangannya dan memperbaikinya hingga benar-benar dimuat.
Dari situlah ia kemudian kenal dengan para redaktur koran tersebut dan ia diterima menjadi karyawan di dalamnya. Diakuinya ia banyak belajar dari perusahaan tersebut. Dari cara menulis hingga bagaimana menata relasi. “Saat itu saya ditugaskan stanby di kementerian BUMN yang memiliki 1000 lebih perusahaan. Di situlah saya berkesempatan untuk menata relasi dengan sebagian perusahaan-perusahaan tersebut,” jelasnya.
Menjadi wartawan terus ia jalani hingga pada satu waktu ia merasa sudah bisa mendirikan sendiri perusahaan media. Dan mulailah ia menata sebuah perusahaan media surat kabar mingguan dengan nama Media Indonesia.
Menurutnya, media tersebut tidak menjadi media dengan gaya oposisi. Tidak mencari-cari kesalahan atau mengecam. Ia justru menjadi media yang bisa menjadi mitra perusahaan-perusahaan BUMN agar program-programnya bisa diterima oleh masyarakat. “Tentu tanpa kehilangan fungsi kontrolnya. Kita tetap mengkritik, mengingatkan dan mengoreksi bila memang ada yang perlu dikoreksi. Intinya kita menjadi mitra kritis tapi yang solutif,” tegasnya.
“Lama-lama,” lanjut Fauzi, “mungkin para direktur yang memang sudah kenal lama dengan saya itu merasa berhutang budi. Mereka nanya sama saya, apa sih yang bisa mereka berikan pada saya sebagai ucapan terimakasih. Saya ditawari iklan, Advertorial dan segala macem. Tapi saya menolak karena media saya memang dirancang tidak ada iklan dan advertorial. Media itu kita hidupi dengan usaha percetakan,” jelasnya.
Bila mau, mereka saya tawari kerjasama dalam bidang cetak mencetak. Kebetulan sebelum itu saya memang mendirikan sebuah usaha percetakan bersama seseorang investor. “Usaha itu kemudian maju dan bahkan saya bisa membuat perusahaan lain berupa perusahaan yang bergerak di bidang periklanan dan masih ada beberapa lagi,” ucapnya.
Kini, setelah ia terpilih menjadi Wakil Bupati Sumenep, ia mengaku sudah tidak harus mengontrol perusahan-perusahaannya tersebut setiap hari. Sebab masing-masing sudah punya manajeman yang rapi. Ia bisa mengawasinya 3 bulan atau bahkan 6 sekali.
“Salah satu hikmah dari perjalanan hidup saya yang mungkin bisa jadi bahan renungan adalah bahwa kita tidak boleh puas dengan capaian yang kita dapat. Harus terus bekerja keras dan jujur. Selain itu yang perlu digaris bawahi adalah bahwa semua yang saya capai saat ini adalah karena keahlian menulis yang dulu saya pelajari pertama kali saat masih di bangku Madrasah Aliyah. Karena itu, cintailah ilmu, belajar dan teruslah menulis,” pungkas Fauzi disambut tepuk tangan para peserta sekolah menulis. (beth)