Rindu itu seperti permen karet. Habis manis lidahmu ingin segera menendangnya keluar; tapi sayang, lidahmu terlanjur gemas mengunyahnya. Kau tahu, lidahmu akan segera mengalah saat itu. Begitulah konsepku tentang rindu yang lengket-lengket bila sepih menyala. Tentang rindu pula temanku Reinard bilang, “sebagaimana luka, rindu juga butuh sedikit betadine untuk menyembuhkannya.” begitulah. Rindu itu ruwet. Labil. Mudah datangnya, susah pulangnya. Ah, sudahlah. Kita tinggalkan rindu yang entah-berantah ini. Aku ingin mengajak kalian berkunjung ke kampungku. Di sana ada seseorang lelaki yang ingin kujumpakan dengan kalian. Tahulah, aku anak kampung yang paling gemar memamerkan kampungku. Terutama kepada kalian, teman-temanku yang memerah bila di sebut anak kampung.
Baiklah kita mulai tentang lelaki itu.
Namanya Thomas. Lelaki berkulit legam yang teguh prinsipnya. “Saya tak akan percaya sebelum melihat.” Begitulah Thomas. Selalu merasa mata adalah indera paling terpercaya. Tentang ini aku teringat seorang teman, “tatapan adalah puisi yang paling mematikan dan senyuman adalah syair yang paling binal.” Mungkin ada hubungannya. Ah, tapi itu Cuma tebakanku.
Mari kita kembali. Orang-orang di kampungku punya julukan pada lelaki ini, “lelaki subuh pulang petang.” Ceritanya, ia selalu mendahului fajar setiap harinya ketika berangkat dari rumah ke sawah dan baru pulang saat cahaya senja benar-benar lenyap. Ya, Thomas adalah lelaki yang hemat kata dan ringan tindak. Inilah yang paling dikagumi orang-orang kampungku. Ia bahkan tak percaya pada planning yang panjang-panjang dan bertali-tali. Bagi dia, tindak dan tindak. Itulah yang dipercaya sesuai prinsip hidupnya. Ia Selalu dapat dipercaya dan dapat diandalkan terutama dalam hal kerja tangan. Meskipun dia sesungguhnya bukanlah warga asli di kampungku itu. Tapi dia lelaki yang loyal dalam keluarga dan masyarakat.
Ceritanya begini. Thomas adalah pemuda tampan dari kampung seberang dan berasal dari keluarga taat adat-istiadat. Ayahnya malah seorang kepala suku yang sangat terhormat di kampungnya. Di kampung itu adat-istiadat adalah agama. Dosa bila kau menentang. Berbeda dengan kami yang menganut budaya matriarkat, mereka sangat memegang teguh pada budaya patriarkat. Dalam budaya mereka, adalah tabu bila seorang perempuan yang memimpin lelaki. Maka di kampungnya pemuda-pemuda hanya boleh kawin dengan gadis sesama penganut patriarkat. Sebab bila pemudanya kawin dengan gadis dari lawan budayanya, dipercaya dia akan mendapat kualat dari leluhur dan derarajatnya terlempar menjadi lelaki yang tak berhaga. Seperti yang kau duga, Thomas adalah pemuda pembangkang yang teguh pada prinsip hidupnya sendiri, “saya tak akan percaya sebelum melihat,” meskipun ia tak menolak habis adat-istiadat itu. Baginya aturan itu harus memberi kebahagiaan kepadanya. Maka ketika saudara-saudaranya menjunjung agung perintah adat dan juga ayahnya, dia malah menjadi pemuda pembongkar yang melawan arus. Lelaki itu menyelingkuhi ayahnya, juga adat yang sudah amat lama dihidupi di kampungnya. Dia telah memilih kekasih seorang gadis dari kampung sebelah. Kampungku. Kampung yang menganut system matriarkat; wanita sebagai kepala keluarga. System yang menjadi anti dari system mereka, terutama soal kawin-mawin.
Sudah pasti. Lelaki itu ditentang habis oleh keluarganya, orang sekampung, dan lebih-lebih ayahnya yang kepala suku itu. “kalau kau masih keras kepala, ayah akan penggal kepalamu. Biar semua orang tahu kalau adat itu tabu dilanggar.” Begitulah ayahnya. Tetapi kalian tahu, jejaka ini Thomas. Lelaki yang teguh prinspnya, “saya tak akan percaya sebelum melihat.” Lelaki yang tak pegang rencana dan ocehan yang bertali-tali. Dia akan memperjuangkan cintanya yang dibilang terlarang itu. Cinta pada gadis yang katanya telah membuat dia tak bisa nyenyak tidur seperti orang yang habis meneguk kopi bercangkir-cangkir. Cinta yang memberi dia kebahagiaan. Sebab tentang kualat dan kutukan, “saya tak akan percaya sebelum melhat”, itulah dia.
Sikap lelaki ini telah mendatangkan gunjingan-gunjingan miring di kampungnya. Tentu teling ayahnya telah terbakar olehnya dan amarahnya meledak-ledak.
Satu hari. Oleh dengki gelap yang menyala-nyala di hati, disusunlah niat membunuh pengkhianat yang membuat malu itu. Klewang berkilat-kilat disiapkan ayahnya dengan getar berang. Matanya memerah seperti orang sehabis bangun dari tidur panjang. Giginya getar-getar seperti mengunyah jagung goreng. Berdiri-duduk, berdiri-duduk, tak karuan. Jam-jam berlalu, Thomas tak juga muncul-muncul. Ibunya yang mencium bau maut itu telah menyelamatkan Thomas dengan memaksa karena lelaki itu merasa tak berdosa. Tapi apalah bisa, cinta dan air mata ibunya telah mengalahkan keras hatinya. Larilah lelaki itu ke kampung perawan kecintaaannya dan hiduplah di sana.
Tiga hari sudah, Thomas tak muncul-muncul. Maka pada hari ketiga itu, oleh perintah ayahnya, dibuatlah upacara adat pelepasan. Tepatnya ritual pengusiran dan mengirim kutuk.
Ketika senja sudah mengintip, dibuatlah upacara itu. Seekor babi merah jantan dibawa oleh tetua adat ke sebuah pohon beringin besar di batas kampung. Dilafalkanlah sejumlah tutur adat dengan teriak-teriak melengking. Lalu babi itu ditikam-tikam hingga keluar darah-darah. Babi yang belum mati itu diusir pergi jauh dari kampung sebagai tanda Thomas, lelaki pembangkang itu telah dikutuk dan diusir pergi dari kampung, dan mulai saat itu dia tak lagi menjadi orang kampung lahirnya sendiri. Selesai tentang kampung patriarkat. Kampung yang telah menghapus darah lahir seorang anak manusia dari tanahnya.
Thomas di kampung matriarkat.
Lelaki malang itu menikahi juga Magdalena, gadis pujaannya itu. Upacaranya sederhana saja. Hanya ada tebe dan likurai sebagai hiburannya; hiburan yang sekarang hampir punah itu.
Aku tahu, pasti kalian bertanya-tanya tentang belis. Begini, di kampung matriarkat tak ada belis. Kasarnya, belis adalah persembahan dirimu, karena di sini sistemnya kawin masuk. Maka mudah saja lelaki itu, “cinta telah mendapatkanku seutuhnya, maka inilah aku.”
Hari-hari berdatangan. Lelaki itu diam-diam dalam hati menanti-nanti kutukan yang dimakikan padanya dahulu. Tahun-tahun datang dan berlalu. Kutukan-kutukan derita itu tak pernah ada. Bahkan hingga buah cintanya telah beranak tiga yang subur-subur. Kutukan itu seolah hanya kata-kata mentah dari ayahnya dan adat-istadat entah-beranta itu. Dia kini tak lagi memusingkan kutukan itu. Ia memilih menikmati hidupnya bersama keluarga kecilnya dengan prinsip hidupnya sendiri; dan kalian tahu, aku. Aku adalah putera pertamanya. Ya, lelaki pembongkar kematangan konsep adat-istiadat yang kaku itu, dia adalah ayahku. Rinduku padanya telah merebus aku hingga mulutku berbusa-busa menceritakannya padamu. lelaki itu telah berpulang tiga tahun lalu, sebelum ia mengecap janjiku padanya, “aku akan menjadi orang sukses kelak.” Dari matanya aku menangkap jawabnya, “saya tak akan percaya sebelum melihat.” Maka kutulis syair ini di detik-detik ajalnya,
Lelaki di tepi kubur, kaukah itu Thomas?
Katamu, kau tak akan percaya sebelum melihat
Lalu mengapa kau terburu-buru melafal langkah ke tepi kubur?
Bukankah lidahmu selalu ingin mengecap madu dari bunga yang mekar di musim semi?
Coretan hitam pada nisan yang masih berbau cat,
Namamu itukah Thomas?
Kau bilang ingin mencucur matamu dulu baruralah kau meneguk,
Lalu mengapa terburu-buru sebelum memetik semi?
Lihatlah, musim-musim sudah merapat ke ujung angin.
Ah Thomas,
Kau lelaki lupa,
Dan namamu adalah lautan Tanya.
Tahun-tahun berlalu. Kini banyaklah jejaka dari kampung patriarkat yang mengadu asmara di kampung kami. Tak ada lagi gentar. Kutuk yang melampaui cinta tak lagi diimani. Sebab cinta adalah kutukan termulia, yang didiberikan oleh Yang Maha Kuasa kepada manusia, agar tak ada lagi batas anatara manusia. [*]
Cerpen: Ervan Mau
Mahasiswa STFK Ledalero dan anggota komunitas Arung Sastra Ledalero