Presiden Joko Widodo secara resmi telah menandatangani Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang atau Perppu tentang kebiri. Peraturan ini diberi nomor Perppu No.1 tahun 2016 tentang perubahan kedua UU No.23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Hukuman kebiri diatur dalam Pasal 81 ayat 7 dan Pasal 82 ayat 6 yang menyatakan dapat para pelaku kekerasan seksual akan dikenai tindakan berupa kebiri kimia dan pemasangan cip.
Dalam keterangannya Jokowi mengatakan bahwa Perppu ini untuk mengatasi kegentingan yang diakibatkan kekerasan seksual terhadap anak. Sebab, belakangan ini semakin meningkat signifikan. Jokowi menambahkan kekerasan seksual merupakan kejahatan luar biasa (extra-ordinary) yang membutuhkan penanganan khusus salah satunya dengan “kebiri”.
Secara pribadi penulis sangat mengapresiasi langkah yang diambil presiden Jokowi dengan munculnya Perppu kebiri ini. Bagi penulis ini bisa menjadi langkah maju dalam penanganan kasus kekerasan seksual di Indonesia. Namun meski demikian penulis perlu mengingatkan bahwa Perppu Kebiri jangan dijadikan sebagai senjata utama dan satu-satunya dalam penanganan kekerasan seksual. Pasalnya menurut hemat penulis hukum kebiri hanya akan menyasar pada sisi individual dan psikologi masyarakat, tidak langsung sampai pada sisi sosial yang notabene menjadi penyebab utama maraknya aksi kekerasan seksual di tanah air.
Penulis juga mengingatkan bahwa tujuan dari diterbitkannya Perppu Kebiri punya potensi besar untuk gagal. Tentunya kita tidak lupa dengan kegagalan negara dalam menekan angka penyebaran narkoba meski hukuman mati terhadap pengedar dan bandar narkoba saat ini mulai diberlakukan. Hal tersebut terjadi karena hukuman mati hanya sampai pada aspek psikologi sementara sisi lain yaitu aspek sosial-ekonomi diabaikan. Penulis tentunya berharap Perppu Kebiri tidak akan bernasib sama dengan pemberlakuan hukuman mati pada pengedar narkoba.
Berpijak pada hal itulah maka penulis menekankan bahwa kekerasan seksual bukanlah fenomena yang muncul begitu saja dan bukan pula sekadar karena seorang laki-laki tidak bisa menahan hasrat seksualnya. Sehingga kebijakan dalam memerangi kekerasan seksual harus pula didasarkan pada hal tersebut.
Menurut penulis semakin maraknya kekerasan seksual muncul akibat munculnya kontruksi sosial di tegah masyarakat yang cenderung mendeskreditkan kaum hawa. Kita bisa melihat di berbagai ruang baik ruang nyata maupun dalam media kaum perempuan selalu ditempatkan sebagai kaum nomor dua, kaum lemah, kaum tertindas, sebagai objek dan stigma negatif nan rendah lainnya.
Salah satu penyebab munculnya kontruksi sosial yang mendiskriminasi perempuan adalah adanya budaya patriarki yang dianut begitu kuat oleh masyarakat Indonesia. Dalam tatanan budaya patriarki perempuan selalu mengalami diskriminasi dimana perempuan selalu ditempat sebagai kelas bawah dan kurang bahkan tidak diperhitungkan dalam sistem sosial masyarakat.
Sebagai akumulasi dari budaya tersebut kaum laki-laki pada akhirnya ditempatkan sebagai penguasa baik dalam keluarga maupun dalam masyarakat yang memungkinkan para kaum laki-laki melakukan eksploitasi terhadap perempuan. Akibat dari kontruksi ini perempuan pada akhirnya muncul sebuah anggapan yang menempatkan perempuan sebagai korban ideal atau dengan kata lain perempuan mengalami yang namanya viktimisasi. Inilah yang pada akhirnya memunculkan eksploitasi seksual terhadap perempuan, salah satunya lewat tindakan kekerasan seksual semisal aksi pemerkosaan.
Berdasarkan paparan diatas maka secara tegas penulis menyatakan bahwa Perppu Kebiri tidak bisa dijadikan sebagai alat satu-satunya dalam memerangi tindak kekerasan seksual. Dibutuhkan upaya lain untuk mendukung Perppu ini. Oleh karena itu meski Perppu Kebiri ini diterapkan, penulis menilai keberadaan Perppu ini tak akan serta merta dapat mengubah kontruksi anak (perempuan) dalam masyarakat yang notabene menjadi penyebab utama dari terjadinya kekerasan seksual. Lagipula jika kita mengacu pada aspek hukum sebenarnya saat ini kita memiliki lembagalembaga plus hukum yang menaunginya sebut saja Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Anak dan Komnas HAM nyatanya hingga hari ini kekerasan seksual tak kunjung dapat diakomodir dan dikurangi.
Beranjak dari fakta tersebut maka penulis sekali lagi menegaskan bahwa Perppu Kebiri tidak bisa dijadikan solusi tunggal dalam mengentaskan kekerasan seksual. Bagi penulis pemerintah harus pula melakukan rekontruksi sosial terhadap citra perempuan guna menciptakan kesetaraan gender dalam sistem sosial masyarakat. Stereotip-stereotif negatif dan viktimisasi yang selama ini membelenggu dan mendeskreditkan kaum perempuan harus segera di hapuskan. Memang mengubah kontruksi sosial bukanlah hal yang mudah karena kontruksi sosial yang mensubordinasikan perempuan sudah mendarah daging dalam masyarakat. Dibutuhkan sebuah sinergisitas antara pemerintah, penegak hukum, dan khususnya masyarakat (keluarga) untuk mewujudkannya.
“Anak adalah investasi terbesar dari bangsa kita. Oleh karena itu kita harus bergandeng tangan dalam melindungi anakanak kita dari segala bentuk aksi kekerasan seksual”.
Semoga tulisan ini menjadi inspirasi bagi kita semua. [*]
Oleh: Firman Situmeang
Penulis adalah Mahasiswa Sosiologi USU