Aku kehilangan hati. Pagi itu aku ingat betul hatiku masih aku simpan rapat-rapat, rapat sekali. Sehingga aku yakin tak akan ada yang mengambilnya. Tapi hari itu saat rapat, aku tak sengaja duduk di depan seorang laki-laki bermata sayu, berkulit bersih. Sekilas menatapku. Aku duduk tepat di depannya, jelas sekali aku bisa menikmati wajah tampannya dan sorot matanya yang tajam, namun sendu.
Hampir satu jam rapat itu berlangsung dengan aneka dialog dan pertanyaan yang membosankan. Sesekali aku ikut terlibat di dalam pertanyaan dan menjelaskan ini itu untuk mengurangi kebosanan saja. Laki-laki bermata sayu itu hanya diam, acuh-tak acuh. Entah bosan, entah pula tak perduli dengan isi rapat. Dia hanya manggut-manggut setiapkali ada penjelasan dari pak Dika, sang sekretaris. Seakan-akan sudah paham terhadap tragedi maupun tradisi di kampusku. Kampus cemara, kampus mewah, kampus mepet sawah, candaan teman-teman kuliahku.
Di pohon cemara ini biasanya menjadi tempat melamun dan mengunci hati, sejak aku kuliah dulu. Aroma tanah sawah di samping kampus selalu kuhirup pelan-pelan, sebagai aroma terapi untuk sekadar melonggarkan sesak nafas pada himpitan luka di dada. Aku rasakan sedikit lega ketika hentakan-hentakan rasa tak mampu membuka hatiku. Kunci hati seringkali aku simpan di bawah rerimbunan daun cemara yang mengering, kadang juga di tepian danau dekat rumah. Aah.. damai rasanya, tanpa satu cerita.
Kriiiiingg…kriiiiiiiinggg….krriiiiiiiiinnngggg….tersentak aku dengan salah satu dering hp. Baru tersadar aku masih di ruang rapat. Kulihat laki-laki bermata sayu tadi tergopoh-gopoh mengangkat telepon, seperti ada rasa menyiksa di sudut matanya, meski suaranya terkesan pelan dan lembut, ada nada yang dipaksakan. Bukan nada do re mi yang aku kenal. Tapi nada lain yang kutahu itu menyisakan nada bisu, tanpa irama bahkan nada itu sendiri.
Kenapa aku harus memperhatikan laki-laki bermata sayu itu? Pikirku gusar. “Telepon dari siapa, Pak Syahid? Dari si muda ya?” suara berat pak Umar menyerocos begitu saja di tengah-tengah lamunanku. Laki-laki bermata sayu itu hanya melirik sekilas, kemudian tersenyum. Senyum yang dipaksakan. Sudah paham rupanya mereka berdua, satu sama lain. Seperti sahabat karib namun diformalkan di forum itu. “Ooohh… Pak Syahid namanya,” gumamku lagi. Aku catat, ada setitik asa di sana.
“Mungkin ini saja dulu, ya yang bisa kita bicarakan. Lain kali kita sambung lagi,” salam penutup dihaturkan tergesa-gesa oleh Pak Dika. Sepertinya ada tugas lain yang masih menunggunya. Seperti yang kutahu, beliau orang sibuk. Bukan sok sibuk seperti diriku. Tapi aku yakini aku juga sibuk. Sibuk memegang kunci hati yang saat ini aku bawa ke dalam rapat. Sebelum beranjak, kusempatkan lagi menata hati. Aku takut tertinggal di meja rapat itu.
Ya Tuhan…benar saja apa yang aku takutkan. Benar-benar terjadi. Keesokan harinya aku kebingungan mencari hati. Aku tak pernah lupa menguncinya. Aku cari ke semua penjuru rumah. Aku buka buku satu persatu, mungkin saja terselip di antara agenda harianku. Tetap tak ada. Aku tercenung. Mengingat-ingat, aku taruh mana hatiku itu. Sekilas aku ingat kemarin, hati itu masih aku rapikan di ruang rapat. Aku sempat melihat laki-laki bermata sayu menatapku.
“Kau terlambat rupanya hari ini, aku melihat hatimu ada yang membawanya kemarin. Terjatuh di antara daun-daun cemara di depan ruanganmu. Tunggu saja Pak Syahid. Dia yang kemarin menemukan hatimu,” tutur Pak Umar panjang lebar. Teman kerjaku, tak jauh dari ruanganku.
Kuikuti kata-kata Pak Umar, duduk sambil memainkan hp butut di depan ruangan kerjaku. “Aaah… akhirnya datang juga. Oh ya, siapa namanya sudah? Ah ya, Pak Syahid,” pikiranku berdialog menyambut kedatangan Pak Syahid. Kelebat bayangannya sempat kulihat di antara pohon-pohon cemara yang mulai rimbun di halaman kampus.
“Maaf, pak! Apa bapak kemarin yang menemukan hatiku?” kataku sambil mendekatinya. Tak kuasa aku membalas tatapannya. Hanya menunduk sambil melihat ujung sepatuku yang tak sempat aku sikat. Kulihat ada noda saos sedikit menempel di sana. Merah, seperti warna hatiku yang sempat aku ingat ketika aku buka. Beberapa tahun yang lalu. Setelah itu aku menguncinya sekuat-kuatnya. Tapi kenapa masih saja harus terjatuh dari tempatnya. Itu yang tak bisa aku pahami. Keteledoran yang benar-benar tak kusengaja. Entah apa takdir yang menghilangkannya. Entahlah.. kutepis pikiran-pikiran masalalu yang begitu gelap untuk aku raba kembali.
“Iya benar, aku yang menemukannya dan mengambilnya. Tapi maaf, aku tak bisa mengembalikannya lagi padamu. Aku sudah menyimpannya. Menyatu dengan hatiku,” papar lelaki yang kukenal bermata sayu. Tegas dan dalam sekali suaranya di telingaku.
“Kau tak keberatan bukan?” sambungnya sambil kembali menatapku.
Aku terdiam. Seharusnya laki-laki bermata sayu itu tak bertanya seperti itu. Tak tahukah dia, sejak pertama kali kulihat dia di rapat itu, aku merasa kunci hatiku hilang, seseorang mengambilnya. Aku hanya berharap kunci itu laki-laki bermata sayu itu yang menemukannya. Hanya dia, bukan yang lain. Dan ternyata bukan kunci itu yang dia ambil, juga hati ini. Yach..hanya Pak Syahid, laki-laki bermata sayu.
“Mengapa kau terdiam? Kau ikhlas kan memberikan hati ini untukku?” ia mengganti pertanyaannya. Ada seulas senyum di bibirku, merekah, gundah, dan pasrah. Aku tetap diam, hanya mengangguk sambil mencoba menatapnya. Memberanikan diri melihat mata sayu itu, aku lihat ada hatiku.
“Sekarang gantian ya, aku yang akan mengunci hatimu dalam hatiku…hanya untukku…”
Daun cemara yang mulai mengering perlahan luruh menutupi kunci hatiku. Sudah kutemukan tempat untuk kusimpan kunci itu bersama hatiku, padamu. [*]
Kampusku, Februari 2015
Oleh: Tika Suhartatik
Pernah belajar dan berproses di LPM Retorika. Sekarang menjabat Sekretaris Prodi PBSI STKIP PGRI Sumenep.