Meski baru sebulan usia perkawinanku bersama Borges, tapi di saat-saat tertentu bersamanya, aku sudah merasakan tidak nyaman. Sesungguhnya bagiku sendiri, apa yang kualami ini bukan sesuatu yang mengejutkan. Karena menjelang pernikahan dulu sudah aku cemaskan – bagaimana jika hal ini sungguh-sungguh terjadi. Mungkin benar apa yang selama ini sering kudengar tentang pemikiran – jika aku memikirkan sesuatu akan terjadi, justru akhirnya benar-benar terjadi? Konsep pemikiran itu biasanya akan didukung dengan alasan: tak akan ada asap jika tak ada api – tak akan ada pemikiran seperti itu jika aku tak pernah melakukan sesuatu yang berhubungan dengan yang terjadi itu. Ah, tapi ada banyak orang juga yang mengatakan hal semacam itu hanya kebetulan saja.
Jujur, sepekan sebelum aku dinikahi Borges, aku memberanikan diri mencoba mengubah diriku menjadi manusia tanpa kelamin, yang sesungguhnya keinginan itu sudah ada sejak lama. Sejak aku kecil. Sejak aku ingin menjadi pengemudi truk ketika ada orang yang bertanya tentang cita-citaku. Sejak aku mengalami sesuatu dari orangtua, yang nantinya kutahu, sesuatu itu adalah ketidakpedulian jiwa.
Pada saat aku berubah menjadi manusia tanpa kelamin itu, aku seperti terlahir baru. Aku seperti dapat merasakan ada banyak jenis gairah tiba-tiba muncul di tubuhku lalu menguatkan aku. Aku, laksana mendapat sebuah pengakuan sebagai manusia terkuat. Ibaratnya akulah yang layak menakhlukkan berapa pun saingan dalam sayembara tanding untuk mendapatkan upeti dari sang penguasa. Jika pada saat itu Borges tidak segera meneleponku, mungkin aku telah menjadi manusia tanpa kelamin abadi. Bisa jadi Borges akan menamainya sebagai aib.
“Kamu sudah siap, Sayang?”
Pertanyaan Borges lewat ponsel itu langsung menyadarkan aku, hingga tanpa kupikirkan lagi aku ingin segera kembali menjadi aku yang semula. Dan entah kenapa, setelah itu aku merasa bersalah. Aku tidak mengerti rasa bersalah itu kepada siapa? Apakah kepada Borges? Apakah kepada diriku sendiri? Apakah kepada semua khalayak? Atau kepada Tuhan? Tapi di sisi lain, ilusiku tentang bermacam gairah itu begitu kuat mencengkram di otakku. Bahkan di setiap diamku, keinginan untuk menjadi manusia tanpa kelamin terus merongrong.
***
“Kamu sakit?”
Itulah pertanyaan Borges di suatu malam, sesaat setelah dia turun dari puncak permainannya. Dia melepas tubuhku setelah dengusan yang panjang. Aku bilang permainannya karena aku merasa dia seperti bermain sendiri. Dia tidak sedang bertempur denganku. Aku hanya menyediakan sarana tanpa kumiliki sensasinya.
Aku menjawab dengan gelengan kepala lemah.
“Kuantar ke dokter?”
Aku menggeleng lagi.
Malam itu adalah awal kedinginanku dan tak memakan waktu lama sampai kepada keadaan aku benar-benar beku. Bahkan keganasan Borges selama ini pun akhirnya juga kandas oleh kebekuanku itu. Borges tak mampu lagi menjadi lelaki tangguh di hadapanku. Borges loyo lalu terlihat putus asa.
Sesungguhnya aku yang lebih dulu putus asa. Aku bingung harus menempuh cara apa. Aku bingung harus bersikap bagaimana? Dalam puncak kebingunganku itu, aku nekat melakukannya, merubah diriku menjadi manusia tanpa kelamin di rumah itu. Rumah kami berdua. Dan lagi-lagi, apa yang kucemaskan terjadi, Borges melihat semuanya. Dia melihat diriku yang tanpa kelamin. Dia jatuh tak sadarkan diri.
Setelah Borges benar-benar sadar, aku segera meninggalkannya. Aku minta maaf padanya karena aku tak bisa menjadi istri yang baik. Ah, jangankan menjadi istri yang baik, menjadi istri tanpa adanya prediakat baik itu pun tak pernah mampu.
Aku benar-benar pergi meninggalkan Borges dan hidup menjadi manusia tanpa kelamin. Sesaat setelah lepas dari Borges hidup ini menawarkan berbagai beribu ilusi kenikmatan. Dan benar adanya, aku sangat menikmatinya. Kenikmatan-kenikmatan yang kubayangkan sebelumnya semuanya hadir di depan hidungku. Sampai-sampai aku menganggap bahwa sepertinya aku telah menemukan apa kebahagiaan itu.
Hanya satu yang membuatku sedikit risih. Sejak aku menjadi manusia tanpa kelamin ini, entah kenapa aku tidak lagi membutuhkan pakaian lagi. Aku merasa tidak butuh kain untuk menutupi tubuhku lagi. Mungkin lebih tepatnya, aku tidak memerlukan lagi kain untuk menutupi alat kelamin. Benar juga. Untuk apa kain penutup? Bukankah aku sudah tidak berkelamin lagi? [*]
Oleh: Cerpen Yuditeha
Aktif di Komunitas Sastra Alit Surakarta. Tinggal di Jaten, Karanganyar.